Ceknricek.com -- Masalah halal-haram adalah perihal prinsipil bagi pemeluk Islam. Soalnya, agama ini mengajarkan apa yang terhampar di bumi ini tidak otomatis halal untuk dimakan atau digunakan. Bahkan, tidak semua makanan halal otomatis baik karena yang dinamakan halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Itu agaknya yang menjadi sebab kata halal—dalam konteks makan—sering kali disertai dengan kata thayyib(a).
Kata thayyib menurut bahasa berarti lezat, baik, sehat, tenteram, dan paling utama. Ini berarti yang thayyib adalah “yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya (kadaluarsa), tidak juga bercampur dengan najis“. Thayyib juga dapat berarti “yang mengundang selera yang hendak memakannya dan tidak membahayakan fisik, akal, dan jiwanya”.
Sumber: Infobank
Nah, lantaran itu kalangan Muslim memprotes keras saat Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito menerbitkan peraturan menteri perdagangan (permendag) yang menghapus syarat halal bagi impor unggas. Kewajiban sertifikasi halal itu awalnya sudah tercantum dalam Permendag 59 Tahun 2016. Namun, pada beleid yang baru, Permendag 29/2019 Pasal 16, justru menghapus kewajiban tersebut.
Beleid ini konon diterbitkan sebagai jawaban atas tuntutan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akibat kekalahan Indonesia dalam sengketa impor unggas dengan Brasil. Jika benar begitu, maka putusan WTO tersebut jelas berpotensi melanggar hak-hak konsumen Muslim.
Bila aturan tersebut diterapkan, warga Muslim terancam tidak lagi mendapatkan perlindungan untuk memperoleh daging impor halal, baik daging unggas maupun daging merah. Sebab, aturan tersebut akan berimplikasi hukum bagi semua produk hewan dan turunannya.
Potensi
Data Organization of Islamic Cooperation menyebut Indonesia masuk dalam lima besar importir produk halal dunia bersama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Mesir. Negara-negara ini telah merepresentasikan 42% terhadap total impor makanan halal secara global. Pada 2017, Indonesia mengimpor sekitar US$19,5 miliar produk-produk halal dari negara lain. Negara pertama dengan nilai impor terbesar adalah Arab Saudi, yakni mencapai US$21 miliar.
Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Penduduk Muslim negeri ini sebanyak 215 juta atau 13% dari penduduk dunia. Jumlah ini adalah potensi yang sangat besar dalam mengembangkan sektor ekonomi syariah. Baik di subsektor makanan halal, fesyen, kosmetik halal, travel halal, rekreasi, dan farmasi halal maupun keuangan syariah.
Laporan State of Global Islamic Economy Report, juga menyebut Indonesia termasuk 15 negara yang memiliki pangsa terbesar dari pengeluaran konsumsi di sektor ekonomi syariah. Pengeluaran konsumsi penduduk Muslim Indonesia mencapai 10,4% dari total seluruh pengeluaran ekonomi syariah global yang didominasi pengeluaran makanan halal.
Sumber: Newscentraasia
Baca Juga: Siap Nggak Siap Label Halal
Potensi industri halal Indonesia secara global mencapai US$2 miliar pada 2016. Diproyeksikan hingga 2022, potensi bisnis halal mencapai US$3,1 miliar. Sementara, total konsumsi ekonomi halal di negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) mencapai US$1,8 triliun.
Selain itu, Indonesia juga menjadi pasar bagi produk wisata, industri obat dan kosmetik halal, serta fesyen syariah global.
Kemendag naga-naganya kurang sensitif membaca kepentingan konsumen, terutama konsumen Muslim. Kini, kebutuhan produk halal menjadi mendesak di tengah meningkatnya kesalehan Muslim Indonesia. Tanda-tanda itu bisa dirasakan dengan munculnya fenomena “hijrah” di tengah masyarakat kita. Hijrah adalah bahasa Arab yang bermakna “migrasi”.
Hijrah, sering digunakan untuk merujuk pada Muslim yang “dilahirkan kembali” atau mereka yang menjalani transformasi spiritual untuk meninggalkan gaya hidup sekuler, hedonistis, atau berdosa. Mereka menjadikan Islam sebagai bagian yang lebih besar dari kehidupan mereka. Ringkasnya, berislam secara kafah atau utuh: tidak setengah-setengah.
Sumber: Tempo
Fakta-fakta itu mestinya menjadi pijakan bagi pemerintah untuk mengembangkan produk halal. Tidak mewajibkan halal bagi masuknya daging impor adalah kekeliruan.
Nah, lantaran desakan banyak pihak, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjanjikan akan kembali mencantumkan kewajiban label dan sertifikat halal pada setiap produk yang masuk ke Indonesia dalam permendag itu. “Harus memenuhi persyaratan halal,” janjinya, menjelang akhir bulan lalu.
Pusat Syariah
Pada 17 Oktober nanti kewajiban sertifikasi halal akan mulai diterapkan, seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Sertifikasi ini mencakup bahan baku, lokasi, tempat dan alat dalam penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
Sumber: Minanews
Industri makanan dan minuman menjadi yang pertama dikenakan kewajiban ini karena dinilai paling siap dan berkenaan langsung dengan masyarakat. Adapun produk kosmetika dan farmasi akan menyusul.
Namun, hingga kini, kesiapan pemerintah masih diragukan, baik dari sisi infrastruktur maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Peraturan Menteri Agama (Permenag) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur lebih detail soal mekanisme hingga biaya sertifikasi juga belum dirilis.
Penerapan kewajiban label halal ini adalah salah satu kemajuan yang patut disyukuri. Kemajuan yang sama juga terjadi di luar negeri. Fakta ini terlihat dari peningkatan volume industri halal global yang pada 2015 mampu mencapai US$3,84 triliun dan diperkirakan meningkat lagi hingga US$6,38 triliun pada 2021.
Baca Juga: Bukan Sekadar Label Halal
Pertumbuhan yang menjanjikan ini memicu berbagai negara di dunia untuk berlomba memanfaatkan peluang dan berupaya menjadi pemain utama di industri halal global. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada negara dengan penduduk mayoritas Muslim, tetapi juga bergulir di negara-negara lainnya, seperti Inggris, Jepang, Tiongkok, Korea, dan Thailand.
Inggris mengembangkan dirinya sebagai pusat keuangan syariah di Barat. Kemudian, Malaysia memiliki visi menjadi pusat industri halal dan keuangan syariah global pada 2020. Thailand mempunyai visi menjadi dapur halal dunia.
Di Singapura, terdapat pujasera halal dan di Korea Selatan terdapat sekitar 150 restoran bersertifikasi halal.
Sumber: Islammidia
Melihat besarnya peluang bisnis halal, Indonesia mestinya terus berupaya untuk menjadi leader bisnis halal, terutama di Asia Tenggara. Di sektor pariwisata, Indonesia punya 1.000 destinasi wisata. Ini perlu dikembangkan dan dikolaborasikan dengan produk-produk domestik halal kita.
Untuk menjadi pemegang pasar halal di Asia Tenggara maupun global memang tidak mudah. Perlu peran besar dari pemerintah untuk menciptakan regulasi dan strategi secara komprehensif. Tidak hanya kompetisi, tetapi juga perlunya kolaborasi dalam rangka meningkatkan industri halal.
Di sisi lain, ada kesan bahwa selama ini Indonesia tidak benar-benar membangun industri halal, melainkan hanya mengurusi sertifikasi saja. Mengembangkan dan mendorong kemajuan industri halal tidak bisa hanya dengan sertifikasi semata. Perlu ada political will yang besar terhadap industri halal.
Terbitnya Permendag yang menyelingkuhi konsumen Muslim –walau nantinya akan diubah-- memberi indikasi bahwa Kemendag kurang jeli dalam membaca potensi negeri ini. Padahal harusnya untuk membangun industri halal diperlukan kerja lintas sektoral minimal antara Kementerian Agama, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustian. Kita tentu berharap, pada pemerintahan mendatang hal-hal naif seperti itu tak lagi terjadi.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.