Pilih Siapa? Yang Mampu, Jujur dan Berani | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Pilih Siapa? Yang Mampu, Jujur dan Berani

Ceknricek.com-- Beberapa waktu yang lalu rakyat Indonesia yang memenuhi syarat telah mendapat kesempatan untuk menentukan siapa yang dipercaya paling mampu untuk mengurus negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Berbahagialah rakyat yang saban sekian tahun sekali (di Indonesia 5 tahun sekali, sedangkan di Australia tergantung pertimbangan perdana menterinya, namun maksimal tidak boleh lebih dari 3 tahun), mendapat kesempatan (di Australia mendapat kewajiban mendatangi tempat pemungutan suara - TPS) untuk menentukan pilihannya. Dikatakan "kewajiban mendatangi TPS" karena memang itulah yang terjadi. Pokoknya seorang warga negara Australia yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)/Electoral Roll, wajib mendatangi TPS agar namanya dicoret dari daftar. Apakah setelah itu, di dalam TPS, ia menggunakan hak pilihnya atau tidak, hanya Tuhan yang tahu

Kalau saya dimintai nasehat siapa yang harus dipilih di antara ke-3 pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang bertarung memperebutkan jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, maka nasihat saya adalah "Yang Mampu,Jujur dan Berani!" atau "Yang Jujur, Mampu dan Berani!". Ketiga faktor ini laksana lepat dengan daun, tidak dapat dipisahkan dan payah untuk memberikan peringkat mana yang harus lebih diutamakan. Ketiga-tiganya diperlukan.

Syukur bahwa sebagian besar media di Indonesia ternyata cukup adil dan objektif dalam meliput kampanye ketiga pasangan dan mencoba memberikan pendalaman mengenai masing-masing pasangan dengan mengandalkan kupasan para ahli, hingga semoga rakyat yang berhak memberikan suara mampu menentukan pilihan mereka berdasarkan pertimbangan siapa yang mereka anggap paling layak diberi tanggung jawab untuk mengurus nasib bangsa.Akhirnya yang terpilih sebagaimana telah diduga semula adalah pasangan Prabowo-Gibran.

Jelas, tidak mungkin meniadakan para pemilih yang semata-mata menurutkan kata hati mereka dan sama sekali tidak bersedia atau mampu bersusah payah mempertimbangkan pasangan yang paling sesuai untuk beban tugas yang menunggu. Mereka lebih memilih karena pertimbangan emosional ketimbang rasional. Namun, kita dan siapa pun sebenarnya tidak dapat berbuat sesuatu apa untuk memaksa mereka yang emosional agar rasional. Demokrasi sudah terlanjur memberikan hak suara kepada mereka, yang sama nilainya di kotak suara dengan suara pemilih yang telah bersusah payah mengkaji segala keterangan dan penerangan yang dihimpun sebelum menyimpulkan pilihannya. Atau seperti yang suka dikemukakan banyak orang, dalam demokrasi suara seorang pengemis yang buta huruf sama nilainya dengan suara seorang ilmuwan roket atau ahli bedah otak.

Memilih itu memang tidak mudah dan dapat membawa penyesalan.

Ada sebuah kerajaan kecil di Afrika bagian selatan. Di negara itu, sang raja saban tahun harus memilih seorang istri muda. Pada waktu yang telah ditetapkan, sejumlah besar gadis berusia 15 tahun akan memperagakan kebolehan mereka menari dengan telanjang dada di depan sang raja yang kemudian diwajibkan harus memilih salah seorang di antaranya untuk menjadi istri mudanya. Jadi, kalau sang raja bertahta selama 20 tahun, maka istrinya akan berjumlah 20 orang.

Ketika diwawancarai oleh seorang wartawan Barat, sang raja menolak anggapan banyak orang asing bahwa dia adalah  lelaki yang paling beruntung di permukaan bumi ini.

"Sama sekali tidak!", begitu ia menegaskan.

Dikatakannya, hidupnya penuh penyesalan. Ia menjelaskan, "Saban tahun, begitu saya menjatuhkan pilihan pada salah seorang di antara para penari itu - dan pilihan ini tidak lagi dapat diubah-ubah karena telah ditetapkan dalam adat istiadat kerajaan - saya ditimpa penyesalan yang amat sangat. Saya akan galau dan risau kenapa tidak pilih itu tadi yang lebih tinggi sedikit, atau itu yang agak gemukan atau dan atau...."

Biasanya, menyusul pemilihan itu ia akan dirundung depresi atau kemurungan hingga sama sekali tidak bernafsu atau bergairah untuk "menikmati" istri barunya itu. Dan ini terjadi saban tahun dan saban kali.

"Tahun depan niscaya akan terjadi hal yang sama," katanya sedih kepada wartawan Barat itu.

Begitulah kenyataannya, memilih bukanlah hal yang mudah. Oleh sebab itu dalam petuah orang tua-tua kita diingatkan agar "jangan pilih-pilih tebu, takut nanti terpilih ruasnya (yang keras)".

Di Indonesia, bagi para pemilih yang emosional, tidak ada masalah, karena mereka sejak semula sudah tahu siapa yang akan mendapatkan suara mereka. Kalau nanti hasil pilihan mereka itu ternyata membebani negara dan rakyat, maka biasanya akan dicari-cari kambing hitamnya. Bukan pilihan mereka yang tidak mampu, melainkan ada sabotase.

Memang, seperti dikemukakan seorang kawan saya dari Medan, orang Indonesia dari sejak masih ingusan sudah diajari bagaimana menyalahkan orang lain. "Ketika seorang anak terjatuh karena berlari terlalu cepat, atau tersandung sesuatu, pokoknya karena kesalahannya sendiri, maka orang tuanya akan mencoba menghibur si anak dengan mengatakan bahwa lantainya yang nakal, dan lantai itu pun akan dipukul. Bukan si anak diajari agar lain kali lebih awas dan hati-hati."

Dan karena dari kecil sudah  teranja-anja maka sampai besar terbawa-bawa. Kita memang tidak diajari bahwa "tangan mencencang, bahu memikul" alias mengaku bertanggung jawab atas perbuatan kita.

Celakanya dalam sebuah demokrasi, kendati kita tidak memilih yang terpilih namun segala akibatnya harus ditanggungkan bersama, seandainya yang akhirnya mendapat kepercayaan mayoritas rakyat itu ternyata tidak mampu atau tidak jujur atau dua-duanya. Itulah kekurangan demokrasi. Kita harus ikut menanggungkan kekeliruan orang lain, kalau "orang lain" itu memang lebih banyak dari kita.

Celakanya lagi ialah, sekiranya pemilihan presiden di Indonesia harus dua putaran - yang berarti biaya yang sangat, sangat besar, dan yang terpilih ternyata tidak mampu atau tidak jujur atau tidak berani atau ketiga-tiganya, maka inilah yang disebut dalam pepatah kita "sudah jatuh dihimpit tangga,"atau "arang habis besi binasa."

Tidak mengherankan kalau pemimpin Inggris Sir Winston Churchill (1874-1965) mengatakan "Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, namun bentuk-bentuk lainnya bahkan lebih buruk lagi." Kalau begitu, demokrasi adalah "yang terbaik di antara yang terburuk."

Syukur pernah ada Orde Baru yang menjuluki pemilu sebagai pesta demokrasi. Hitung-hitung pemilihan presiden ini, dan pemilihan legislatif, adalah pesta dan kalau memang harus dua kali berpesta, tentunya lebih baik, biarpun habis dana segudang. Bukankah ada yang pernah mengingatkan: Hati-hati apa yang kamu dambakan. Bagaimana kalau sampai menjadi kenyataan? Wallahu a'lam.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait