Pindah Ibu Kota, Ganti Ibu Tiri | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Twitter @jokowi

Pindah Ibu Kota, Ganti Ibu Tiri

Ceknricek.com -- Pindah Ibu kota tak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan lokasi istana presiden pun sudah ditetapkan. Pada Selasa (17/12), Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi calon Ibu Kota baru itu di Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur. Ia mengajak sejumlah menteri untuk kepentingan itu. Ia menunjuk sebuah dataran tinggi puncak bukit sebagai lokasi calon istana presiden dibangun.

Presiden Jokowi bilang pemerintah sudah menyiapkan lahan seluas 256 ribu hektare. Secara spesifik yang akan dijadikan kawasan Ibu Kota seluas 56 ribu hektare. "Tapi yang akan dikerjakan terlebih dahulu, yaitu kawasan pemerintahan 5.600 hektare, kluster pemerintahan, yang nanti kita berharap juga paralel dengan pembangunan kluster kesehatan, kluster pendidikan, riset dan inovasi, financial center," ujar Jokowi, kepada awak media. "Jadi yang jelas lokasinya sangat mendukung sekali untuk sebuah kota yang smart city, complex city, kemudian green city," lanjutnya.

Tak hanya sampai di situ. Kini pemerintah tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara. Presiden Jokowi mengatakan, draf RUU itu akan diserahkan kepada DPR pada Januari 2020. Rencananya, draf tersebut akan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun depan.

Sumber: tribunnews

Bersamaan dengan pembentukan RUU Ibu Kota Negara, pemerintah juga akan membentuk badan otorita selaku pelaksana tugas langsung pembangunan Ibu kota baru. Jokowi menargetkan badan otorita sudah terbentuk pada akhir tahun ini. "Tapi kalau terlambat, Insya Allah awal Januari (2020) sudah selesai semua kok. Calon (kepala badan otorita) banyak, tapi belum diputuskan," ungkapnya.

RUU tentang Ibu Kota Negara telah masuk ke dalam 50 Prolegnas prioritas DPR RI tahun 2020. RUU tersebut paling diprioritaskan pemerintah disamping dua omnibus law, yakni RUU tentang Cipta Lapangan Kerja dan RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian.

Hanya saja, pindah Ibu Kota bukan masalah sepele. Tak cukup hanya dengan satu UU. Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, mengatakan UUD 1945 perlu diamendemen untuk mewadahi keinginan itu. Sebab, menurut Bambang, apabila Ibu Kota baru negara hanya didasarkan pada payung hukum berupa undang-undang, rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Ibu Kota juga berpotensi dibatalkan melalui perppu. Ini apabila presiden setelah Jokowi nanti berpandangan bahwa pemindahan Ibu Kota tak diperlukan.

Baca Juga: Nilai Nol Pindah Ibu Kota

Sumber: Okezone

Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah, mengatakan setidaknya terdapat sembilan undang-undang yang harus direvisi untuk memindahkan Ibu Kota. Namun, apabila masyarakat mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan, maka pemindahan Ibu Kota pasti dibatalkan.

Ahmad Basarah. Sumber: Istimewa

Oleh karena itu, menurut politikus PDI Perjuangan itu, selain menghidupkan kembali GBHN sebagai arah pembangunan bangsa, diperlukan pasal pada konstitusi demi menjaga program pemerintah yang sudah ada.

Kurang Matang

Kekhawatiran para politisi itu bukan isapan jempol belaka. Sampai kini rencana ambisius Jokowi ini banyak yang menentang. Pro dan kontra di tengah masyarakat masih terjadi. Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, masih mempertanyakan soal ini. Ketua Umum Partai Demokrat ini menganggap rencana pindah Ibu Kota tidak transparan.

"Konsepnya seperti apa? Timeline-nya seperti apa? Berapa besar biaya yang digunakan? Dari mana anggaran itu diperoleh? Apakah betul ada pemikiran untuk menjual aset-aset negara dan bahkan utang ke luar negeri untuk membiayainya?," tutur SBY saat berpidato di Jakarta Convention Center, Rabu (11/12). "Hal-hal inilah yang ingin kami dengar. Saya yakin rakyat Indonesia juga ingin mendengar dan mengetahuinya," lanjutnya.

Sumber: Kompas

Pemindahan Ibu Kota adalah suatu mega proyek bagi negara. Oleh karena itu, SBY menyarankan pemerintah agar benar-benar menyiapkan secara matang. "Kami pelajari, dalam APBN 2020 belum secara gamblang dan signifikan dicantumkan anggaran awal untuk pembangunannya," ujarnya.

Banyak hal yang harus disiapkan. SBY tidak ingin Indonesia gagal memindahkan ibu kota hanya karena perencanaan yang tak matang. Terlebih, saat ini kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik. "Banyak contoh di dunia, negara yang berhasil dan juga yang gagal dalam membangun Ibu Kota yang baru. Tentu kita ingin menjadi negara yang berhasil dalam membangun Ibu Kota baru ini," tuturnya.

Foto: Ashar/Ceknricek.com

SBY juga pernah berencana memindahkan ibu kota saat masih menjabat sebagai presiden. Kala itu, dia ingin memindahkan ke wilayah Jawa Barat, bukan Kalimantan. Namun, rencana itu dibatalkan setelah dipikirkan selama 2 tahun. Pertimbangannya adalah ketiadaan anggaran untuk menunjang pemindahan ibu kota negara. Di sisi lain, banyak sasaran pembangunan yang lebih mendesak. “Di samping itu, ada faktor lingkungan (amdal) yang tidak mendukung, yang tentu tidak boleh kami abaikan," tuturnya.

Pada Selasa (17/12),  Direktur Riset Roda Tiga Konsultan, Muh Taufiq Arif, juga merilis survei terbaru. Salah satu hasil survei itu mengungkap bahwa mayoritas responden tidak setuju Ibu Kota Jakarta pindah ke Kalimantan. "Sebanyak 38,3% responden menolak wacana Ibu Kota negara dari Jakarta pindah ke Kalimantan Timur," katanya.

Roda Tiga. Sumber: Kompas

Survei Roda Tiga Konsultan dilakukan terhadap 1.200 responden dengan margin of error 2,89 persen. Survei digelar pada 26 November hingga 5 Desember 2019 dengan menggunakan metode stratified systemic random sampling.

Baca Juga: Ibu Kota Baru

Tak hanya itu, Taufiq menjelaskan bahwa responden juga menolak jika pemindahan Ibu Kota dilakukan dengan menggunakan APBN. "Hasil survei menunjukkan bahwa 44,6% publik menolak pemindahan ibu kota pakai APBN," katanya. Sedangkan 56,2% responden juga tak setuju ada investor asing di pemindahan Ibu Kota. “Hanya 11,4% yang setuju," kata Taufiq.

Biaya untuk memindahkan Ibu Kota 1.000 km ke utara selama 10 tahun diperkirakan mencapai Rp466 triliun. Sekitar 19% dari kebutuhan dana itu merupakan hasil kemitraan publik-swasta dan investasi swasta. Pengaturan itu dapat menciptakan "perangkap utang" terutama jika kota ini tidak berkelanjutan secara ekonomi.

Ekonom pemenang Nobel Prize, Paul Romer, berpendapat bahwa menciptakan kota-kota untuk kelas elite pada awalnya bekerja dengan baik bagi investor yang membangun blok apartemen dengan laba tinggi. Namun, Romer menunjukkan bahwa kota-kota sukses adalah kota yang menjadi rumah bagi orang-orang dari berbagai latar belakang, yang berkumpul karena berbagai alasan.

Sumber: Reuters

Kota-kota baru dapat berfungsi jika mereka berlokasi di pusat transportasi, misalnya, tempat orang berkumpul untuk bertukar barang dan ide. Contohnya, Khorgos, yang berkembang dengan cepat di perbatasan Tiongkok-Kazakhstan di Jalur Sutra Baru, tempat yang dulunya merupakan dataran tinggi yang kosong. Di Eropa, kota Lille yang bersejarah di Prancis Utara sekarang menjadi pusat jaringan kereta berkecepatan tinggi Eropa, dan menjadi pusat investasi serta kreativitas.

Kajian

Bappenas telah membuat kajian tentang ibu kota baru ini. Hasilnya, positif saja. Pemindahan ibu kota ke lokasi baru di luar Jawa menurut Bappenas, tidak akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian nasional.

Efek positif tersebut disebabkan adanya penggunaan dari sumber daya potensial yang selama ini masih belum termanfaatkan. Pemindahan Ibu Kota negara ke wilayah di luar Pulau Jawa menurut Bappenas, tidak akan menyebabkan kontraksi ekonomi di wilayah lain jika lokasi alternatif ibu kota memiliki sumber daya yang memadai dan keterkaitan aktivitas ekonomi positif di wilayah lain.

Baca Juga: Calon Ibu Kota di Lahan Konsesi Sukanto Tanoto

Hanya saja, hasil kajian INDEF berbeda. Lembaga ini telah mengkaji dampak kebijakan pemindahan ibu kota negara terhadap indikator makro ekonomi pembentuk GDP riil, yaitu konsumsi riil, investasi riil, pengeluaran pemerintah riil, volume ekspor dan volume impor.

Berdasarkan kalkulasi, menurut INDEF, pemindahan Ibu Kota negara ke Kalimantan Timur ternyata berdampak terhadap perlambatan ekonomi hampir di semua provinsi di Indonesia, kecuali provinsi Kalimantan Timur saja.

Selain itu, konsumsi rumah tangga riilnya meningkat sebesar 0,24%, tetapi untuk level nasional justru sebaliknya, mengalami penurunan sebesar 0.04%. Ini menunjukkan bahwa rencana pemindahan tersebut tidak memberikan harapan yang baik untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara nasional. Artinya pemindahan Ibu Kota negara ke Kalimantan Timur perlu dipertimbangkan lagi apabila pemerintah mau mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga dalam pembentukan GDP riil dan GNE riil.

Sumber: Tempo

Selanjutnya, dampaknya terhadap investasi riil juga demikian polanya, tidak jauh berbeda dengan konsumsi riilnya. Pemindahan Ibu Kota hanya berdampak positif pada Provinsi Kalimantan Timur sebesar 0,20%, dan satu provinsi tetangganya, yaitu Provinsi Kalimantan Utara sebesar 0,02%.

Namun semua provinsi selain keduanya, sebanyak 32 provinsi investasi riilnya menurun, bernilai negatif, dengan nilai bervariasi dan sangat kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan dampaknya terhadap nasional maka ide pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur bukan ide yang prospektus dalam mendorong GDP riil melalui investasi, karena ternyata tidak memberikan dampak apa-apa, hanya bernilai nol.

INDEF mengungkap untuk indikator pengeluaran pemerintah tentu terkena dampak dengan rencana ini. Dimana pada level nasional akan berdampak meningkatkan pengeluaran pemerintah sebesar 0.34%, dan terhadap provinsi Kalimantan Timur itu sendiri sebesar 16.12%.

Sumber: Tempo

Namun demikian, untuk provinsi lainnya indikator ini bernilai nol, tidak berdampak apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa pemindahan ibu kota meskipun dengan skema non-rightsizing, tetap akan terjadi government expenditure yang signifikan meningkat baik level Kalimantan Timur itu sendiri, maupun nasional.

Dampaknya yang lain adalah terhadap neraca perdagangan, yakni volume ekspor dan volume impor. Hasil temuan menunjukkan secara signifikan pemindahan Ibu Kota negara akan menurunkan volume ekspor pada level nasional sebesar 0.01%.

Penurunan ini kontribusi dari menurunnya volume ekspor di level regional, terutama provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan secara signifikan. Di antaranya, Kalimantan Timur itu sendiri turun sebesar 0,13%, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sama turun sebesar 0,01%, dan Kalimantan Utara turun sebesar 0,02% dan Kalimantan Utara turun sebesar 0,04%. Sedangkan provinsi lainnya justru sebaliknya kian meningkat volume ekspornya dengan nilai bervariasi dan sangat kecil, kisaran 0,01 %-0,03%.

Baca Juga: Ibu Kota Baru di Tanah Prabowo

Sumber: Kompas

Selain volume ekspor yang terdampak, juga terhadap volume impor. Dimana volume impor hampir semua provinsi di Indonesia terdampak turun, kisaran 0.01%-0.05%, kecuali dua provinsi yang ada di pulau Kalimantan, yaitu bernilai positif, artinya meningkatkan volume impor. Seperti Kalimantan Timur sendiri naik sebesar 0.22%, diikuti oleh Kalimantan Utara naik sebesar 0.02%. Namun, pada level nasional volume impor ini turun sebesar 0.01%. Hal ini menunjukkan bahwa neraca pembayaran dari selisih volume ekspor dan volume impor saling meniadakan, tidak memberikan apa-apa terhadap pertumbuhan GDP riil dimana besarannya sama.

Proyek pindah Ibu Kota kelihatan sudah terang, namun penuh misteri. Pertanyaan SBY patut segera dijawab. Konsepnya seperti apa? Timeline-nya seperti apa? Berapa besar biaya yang digunakan? Dari mana anggaran itu diperoleh? Apakah betul ada pemikiran untuk menjual aset-aset negara dan bahkan utang ke luar negeri untuk membiayainya? Jangan biarkan pindah Ibu Kota serasa ganti ibu tiri.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait