Putar Haluan Para Penambang  | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Kumparan

Putar Haluan Para Penambang 

Ceknricek.com -- Jajaran direksi PT Aneka Tambang Tbk diisi wajah baru. Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), Badan Usaha Milik Negara atau BUMN ini merombak tiga jajaran direksinya. Kini, direktur utama dijabat oleh Dana Amin. Dia menggantikan Arie Prabowo Ariotedjo. Direktur keuangan dijabat Anton Herdianto menggantikan Dimas Wikan Pramuditho. Selain itu, pemegang saham juga menghendaki pengangkatan Risono menjadi Direktur Pengembangan Usaha menggantikan Sutrisno S. Tatetdagat. 

Putar Haluan Para Penambang
Sumber: MNC

Direktur Niaga Aneka Tambang, Aprilandi Hidayat Setia, mengatakan pergantian direksi ini tidak lepas dari adanya rencana transformasi bisnis perseroan, yakni hilirisasi. Makum saja, muai Januari 2020 pemerintah akan menutup keran ekspor bijih nikel. Kebijakan baru ini membuat Antam harus memutar haluan, fokus pada bisnis hilirisasi. “Dengan kondisi yang menantang ini maka perusahaan menyiapkan strategi-strategi ke depannya,” ujar Aprilandi usai RUPSLB di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (19/12).

Saat ini Antam tengah menggarap proyek pembangunan pabrik feronikel Haltim (P3FH) dengan kapasitas produksi sebesar 13.500 ton nikel dalam feronikel (Tni). Konstruksi Pabrik ditargetkan memasuki fase commisioning pada 2020. Hingga kuartal III 2019, realisasi konstruksi proyek telah mencapai 98%.

Dua Isu Besar

Bukan hanya Antam yang fokus ke hilir. Petambang lainnya juga begitu. Apalagi kini perkembangan hilirisasi sering tak terduga. Kini ada dua isu besar yang mengiringi program hilirisasi. Pertama soal perubahan pengenaan besaran royalti. Kedua soal pemilik kewenangan hilirisasi pertambangan. 

Perubahan mengenai pengenaan royalti termuat dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. PP itu sendiri sekaligus mencabut beleid serupa yang sebelumnya ditetapkan dalam PP No. 9 Tahun 2012.  

Perubahan besaran pengenaan royalti itu berupa kenaikan dan penurunan terhadap ekspor produk-produk pertambangan. Kenaikan royalti terjadi untuk produk-produk pertambangan yang diekspor dalam keadaan masih mentah atau ore. Bijih besi misalnya, jika dalam PP No. 9 Tahun 2012 dikenai royalti sebesar 3% per ton dari harga jual, maka dalam PP No. 81 royaltinya naik menjadi 10%.  

Putar Haluan Para Penambang
Sumber: Seputarenegri

Baca Juga: Keputusan Radikal Bahlil: Menutup Keran Ekspor Nikel

Sebaliknya, royalti produk tambang yang merupakan hasil olahan atau permurnian justru mengalami penurunan. Nickel matte atau ferronickel (FeNi) mengalami penurunan, dari 4% menjadi 2% per ton dari harga jual. 

Berdasarkan Pasal 19 PP No.81 Tahun 2019, tarif royalti tersebut sedianya mulai berlaku 30 hari sejak diundangkan. Jika PP ini resmi diundangkan pada 25 November, maka penerapan tarif royalti baru sudah bisa dilakukan mulai 25 Desember 2019. Nah, lantaran hari itu sudah masuk liburan, beleid ini dinyatakan efektif per 1 Januari 2020.

Tujuan pemerintah mengubah besaran pengenaan royalti itu jelas agar para pengusaha pertambangan bersedia melakukan pengolahan atau hilirisasi produk pertambangannya terlebih dahulu sebelum diekspor. Jadi ada peningkatan nilai tambah atas produk-produk hasil tambang yang dikeduk. 

Kontraproduktis

Para pelaku tambang sendiri menyikapi beragam atas beleid yang sudah diteken Presiden Jokowi ini. Para penambang nikel yang berada di hulu merasa keberatan atas kenaikan besaran royalti itu. "Ini sangat memberatkan kami bagi para penambang nikel,” kata Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). 

Keberatan penambang itu tak lepas dari harga tata niaga nikel di pasar domestik. Dengan kadar nikel 1,7% saja, kenaikan royalti 5% dari harga jual per ton pada bijih nikel berakibat penambahan beban biaya sekitar US$3 per ton. Royalti itu sendiri berdasarkan harga patokan mineral (HPM), sedangkan harga jual bijih nikel di lapangan, bisa berbanding dua atau tiga kali lebih rendah.

Putar Haluan Para Penambang
Meidy Katrin Lengkey, Sumber: Patar

Penambang baru bisa menerima kenaikan royalti jika harga tata niaga nikel di pasar domestik dibenahi oleh pemerintah, sehingga HPM dan harga jual lapangan bisa sesuai. “Kalau saja harga jual mengikut HPM, kami tidak keberatan untuk membayar kewajiban royalti buat negara,” tambah Meidy. 

Para penambang nikel memang pemain di sektor hulu pertambangan. Mereka umumnya tidak memiliki smelter untuk mengolah hasil tambangnya sendiri. Mereka hanya bisa menjual hasil tambangnya ke perusahaan pemilik smelter. Sayangnya, harga jual itu yang tidak sesuai dengan HPM.

Baca Juga: Holding BUMN Pertambangan Butuh Dirut yang Berkomitmen

Selain memberatkan penambang yang tak memiliki smelter, kenaikan royalti itu juga bisa memberatkan pemilik smelter yang tak memiliki tambang. Untuk mendapatkan pasokan bahan baku, pemilik smelter akan membeli produk nikel dengan harga yang sudah dibebani kenaikan royalti. Makanya, kenaikan royalti belum tentu mendorong proses hilirisasi, malah akan menjadi kontraproduktif lantaran harga menjadi tidak kompetitif. 

Putar Haluan Para Penambang
Sumber: Republika

Sementara, perusahaan tambang yang memiliki smelter, menganggap positif kenaikan royalti sejumlah produk tambang. Antam yang memiliki smelter sejak 2010 jelas diuntungkan.  “Perusahaan mengapresiasi langkah pemerintah mengubah komposisi royalti komoditas nikel untuk tujuan hilirisasi,” tutur Dede Izudin, Plh SVP Corporate Secretary Antam. 

Kegembiraan Antam lantaran ferronikel merupakan salah satu produk andalan mereka. Laporan per kuartal Antam memperlihatkan, dalam sembilan bulan pertama tahun ini feronikel merupakan komoditas dengan nilai penjualan terbesar kedua Antam. Nilai penjualan feronikel mencapai Rp3,61 triliun atau 15% persen dari total penjualan bersih Antam. 

Penurunan royalti ferronikel dari 4% menjadi 2% jelas akan menurunkan biaya setoran yang harus dikeluarkan oleh Antam. Alhasil, ada biaya dari sisa royalti yang bisa masuk ke kantong perseroan untuk melakukan kegiatan usaha yang lain.  

Perebutan Kewenangan

Isu besar kedua terkait hilirisasi adalah perebutan kewenangan hilirisasi itu sendiri. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Lapangan Kerja (CLK) yang masuk dalam bundle Omnibus Law akan memindahkan kewenangan hilirisasi pertambangan dari Kementerian ESDM ke Kementerian Perindustrian (Kemperin).

Pengalihan itu terjadi lantaran proses hilirisasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM dinilai berjalan lamban. Salah satu indikasinya, jumlah smelter (nikel) yang sudah eksisting baru berjumlah 11. Padahal program kewajiban membangun smelter sudah dimulai sejak 2014 lalu.

Selain itu, pengalihan kewenangan juga dimaksudkan untuk mengintegrasikan hilirisasi tambang dengan kebijakan industrialisasi. Semangatnya adalah menciptakan kemudahan berusaha agar kebijakan industrialisasi, termasuk minerba, terintegrasi di Kemperin.

Kementerian ESDM sendiri menganggap bahwa pemindahan kewenangan hilirisasi  baru sebatas wacana. “Belum diputuskan. Pembahasan omnibus law terkait penarikan ini masih panjang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat," kata Yunus Saefulhak, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM.

Putar Haluan Para Penambang
Yunus Saefulhak, Sumber: Istimewa

Baca Juga: Usulan ke Menteri BUMN 

Menurut Yunus, sekalipun nanti benar-benar terjadi pengalihan kewenangan, ada sejumlah hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, jika kewenangan hanya dibatasi hingga proses pengolahan, maka bisa menghambat peningkatan nilai tambah (PNT) mineral. Sebab, kewenangan untuk mewajibkan pemegang izin usaha pertambangan melakukan PNT masih berada di Kementerian ESDM. 

Kedua, ada potensi penurunan penerimaan negara jika pemurnian tak lagi masuk dalam proses tambang. Ketiga, terkait skala keekonomian perusahaan. Keempat, menimbulkan inefisiensi perizinan usaha, karena perusahaan harus mengantongi dua izin, yakni izin penambangan sampai pengolahan serta izin pemurnian.

Kebijakan tambang ini memang terasa sering berubah-ubah alias tak konsisten. Dilarang, lalu dibuka lagi. Ujung-ujunganya, sejumlah perusahaan tambang sepertinya tak terlalu memaksakan diri untuk membangun smelter. Selain karena butuh dana besar, pembangunan smelter juga menyusahkan.

Kebiasaan para penambang selama ini mencari gampangnya saja. Keduk, jual. Mereka hanya cari untung saja.

Terkait pemindahan kewenangan hilirisasi, jika Kemenperin mengambil sektor ini sebaiknya semua proses hilirasisi hasil bumi lainnya, seperti minyak dan gas juga diserahkan kepada Kemenperin. Kedua hasil bumi itu seharusnya diolah dulu sebelum dijual. Jadi, jangan yang enak-enak saja yang diambil.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait