Ceknricek.com--Profesi Dokter, Dokter gigi, dan Tenaga Kesehatan lain diatur oleh dan tunduk pada negara melalui sebuah Lembaga Negara yang disebut Konsil Kedokteran dan Konsil Tenaga Kesehatan. Selama ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dibentuk sebagai amanat UU 29-2004 tentang Praktek Kedokteran, dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan kedokteran dan menjaga mutu pelayanan kedokteran (dalam Bab III, ada 22 Pasal terkait Konsil). Konsil ini bertanggung jawab kepada Presiden selaku Kepala Negara, dan tentu saja tidak boleh tunduk kepada perorangan termasuk Menkes.
Dalam UU 29-2004 Pasal 6, jelas tertera bahwa Konsil Kedokteran mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktek kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Pada Pasal 14 tentang keanggotaan, disebutkan bahwa keanggotaan KKI ditetapkan oleh Presiden atas usulan Menkes berdasarkan atas usulan dari organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan dokter, dokter gigi, dan rumah sakit pendidikan (semuanya merupakan representasi dari Civil Society di bidang kedokteran dan kesehatan).
Sudah semestinya bahwa Konsil adalah sebuah Lembaga Negara yang berkedudukan di bawah Kepala Negara, bukan di bawah Menteri. Konsil ini bekerja demi kepentingan bangsa dan negara demi tercapainya amanat konstitusi untuk menghadirkan kesehatan bagi seluruh rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas dasar inilah Konsil Kedokteran bisa menjadi lembaga kontrol yang mandiri dalam bidang layanan kesehatan, dan tidak terkooptasi oleh Menkes maupun Mendiknas. Contohnya seperti saat Konsil meminta Dirjen Dikti untuk melakukan Moratorium Pembukaan Fakultas Kedokteran baru beberapa tahun yang lalu.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait UU Kesehatan, Pasal 725 disebutkan bahwa bahwa Konsil adalah Lembaga non struktural yang membantu Menkes. Terkait keanggotaan, dalam Pasal 728 ayat 3 disebutkan bahwa keanggotaan konsil diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan Menteri. Tidak ada lagi klausul “berdasarkan atas usulan dari organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan dokter, dokter gigi, dan rumah sakit pendidikan”, sebagaimana sebelumnya ada di Pasal 14 UU 29-2004.
Bahkan tertulis dalam Pasal 731 RPP sebagai berikut : “Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan, pemberhentian pimpinan dan anggota konsil serta organisasi, tata kerja, alat kelengkapan konsil, dan sekretariat konsil diatur dengan Peraturan Menkes”. Jelas terbaca secara kasat mata upaya untuk mendegradasi kedudukan dan peran Konsil Kedokteran dan Konsil Tenaga Kesehatan ini dari sebuah Lembaga Negara yang keanggotaannya merupakan representasi Civil Society terkait bidang layanan kesehatan, menjadi sebuah lembaga pembantu Menkes yang keanggotaannya tidak lagi representasi dari Civil Society, melainkan Petugas Menkes.
Terkait kedudukan dan peran Kolegium Bidang Ilmu Kedokteran
Tugas Konsil dalam bidang pendidikan adalah menetapkan standar pendidikan dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis, yang kewenangan ini selanjutnya akan dilimpahkan kepada Kolegium Ilmu Kedokteran dan Kolegium Bidang Ilmu sesuai dengan aturan perundang-undangan serta aturan pelaksanaaannya.
Sesuai dengan UU No 29-2004 Pasal 1 butir 13, Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh Organisasi Profesi (OP) untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut. Kolegium memiliki tugas utama untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis. Keanggotaan kolegium adalah para Gurubesar Bidang Ilmu tersebut dan para pengelola pendidikan bidang ilmu yang terdiri atas Ketua Program Studi dan ketua Departemen/Institusi Pendidikan Dokter Spesialis terkait.
Keberadaan kolegium juga mengacu pada UU No. 20-2013 tentang Pendidikan Kedokteran, yang menyebut Fakultas Kedokteran sebagai penyelenggara program pendidikan bersama dengan Rumah Sakit Pendidikan berkoordinasi dengan Kolegium sebagai bagian dari Organisasi Profesi.
Jelas terlihat disini adanya pengakuan Negara atas peran kelompok masyarakat terpelajar yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis yang telah memilih yang paling terpelajar diantara mereka, yaitu para Gurubesar Bidang Ilmu untuk mengampu, mengelola dan mengembangkan pendidikan spesialis tersebut. Rasanya tidak mungkin ada yang lebih baik dan lebih pantas dari kelompok Guru Besar Bidang Ilmu ini dalam mengampu dan mengelola pendidikan spesialis, bahkan Presiden sekalipun, apalagi seorang Menkes yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran.
Dalam RPP UU 17-2023, Pasal 732 butir 1 menyatakan bahwa untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan, setiap kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan dapat membentuk kolegium. Pasal 733 menyatakan bahwa Kolegium bertanggung jawab kepada Menkes melalui Konsil. Pasal 734 butir 1 menyatakan bahwa Kolegium diangkat dan diberhentikan oleh Menkes, dan pada butir 3 disebutkan keanggotaan kolegium dipilih melalui seleksi oleh panitia seleksi yang ditunjuk oleh Menkes.
Lagi-lagi terlihat upaya untuk mengkerdilkan peran dari kelompok terpelajar dalam Civil Society yaitu Perhimpunan Dokter Spesialis dan para Gurubesar Bidang Ilmu ini dan menggantikannya dengan para petugas Menkes, sebuah pola fikir yang naif dan kembali ke zaman Jahiliyah. Para Gurubesar Bidang Ilmu yang terhimpun dalam pelbagai Kolegium Ilmu Kedokteran dan Kesehatan tersebut selama ini secara mandiri dan independent telah menyusun berbagai standar pendidikan, standar kompetensi, sampai standar praktek profesi yang mengikuti perkembangan global tapi tetap menampung kearifan lokal. Seluruh standar-standar tersebut bahkan telah disahkan oleh Konsil dan tertuang dalam lembaran negara RI.
Etika Profesi dan Disiplin Profesi Bukan tanggungjawab Menkes
Etika Profesi dan Disiplin Profesi adalah dua hal yang berbeda. Etika profesi adalah ketentuan tentang benar dan salah dalam pelaksanaan profesi, dengan berlandaskan pada nilai-nilai moral. Pedoman terkait etika profesi hanya bisa disusun oleh anggota profesi itu sendiri, bukan oleh orang lain. Orang lain di luar profesi medis tidak akan pernah tahu apakah keputusan yang diambil dokter masih sesuai atau sudah menyimpang dari etika profesi. Bahkan sesama dokter dengan bidang spesialisasi yang berbeda akan sulit mengenali terjadinya pelanggaran etik profesi dalam bidang spesialisasi yang berbeda. Sebagai spesialis Bedah Saraf, saya tidak pernah tahu kapan seorang pasien dengan penyempitan pembuluh darah koroner Jantung itu perlu dilakukan operasi bypass jantung, atau cukup dengan dipasang ring jantung, atau bahkan hanya perlu pemberian obat-obatan saja.
Adanya kesadaran anggota profesi akan keharusan menjaga kepercayaan masyarakat dan melindungi publik (dari praktek profesi yang menyimpang, yang mencari keuntungan dengan menipu dan memanfaatkan ketidak-tahuan masyarakat), maka setiap OP mengatur dan membatasi perilaku anggotanya dengan sebuah regulasi etik.
Sekali lagi, jangan dicampur adukkan antara kewenangan pemerintah untuk mengatur (government to govern) dengan hak dari organisasi apapun, termasuk OP Kesehatan, untuk menyusun regulasi internal terkait etika profesinya. Dalam profesi apapun (Notaris, Arsitek, Akuntan, Psikolog) semua ketentuan terkait pedoman etika profesi disusun oleh OP itu sendiri, bukan oleh pemerintah ( https://himpsi.or.idi>kode-etik , https://iaiglobal.or.id>files , https://www.ini.id>images , https://iai.or.id>kode_etik ). Majlis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) adalah Lembaga Otonom dalam kepengurusan PB-IDI yang bertugas mengawal dan menjaga Etika Profesi Dokter serta menyelesaikan pelanggaran Etika ini secara internal.
Terkait dengan etika profesi, Pasal 737 RPP UU 17-2023 menyebutkan “Dalam rangka penegakan disiplin dan etika profesi, dibentuk Majlis. Majlis menegakkan disiplin berdasarkan butir-butir penegakan disiplin yang diatur oleh Menkes”. Dalam pasal 741, dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, wewenang, persyaratan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan majlis serta mekanisme penegakan disiplin diatur dengan peraturan Menteri. Terlihat jelas disini adanya kerancuan berfikir atau logical fallacy dari siapapun yang menyusun RPP ini, yang tidak bisa membedakan antara Etika Profesi dan Disiplin Profesi.
Dengan logical fallacy tersebut di atas, pernyataan Pasal 737 bahwa “Majlis menegakkan disiplin berdasarkan butir-butir penegakan disiplin yang diatur oleh Menkes” dan “Majlis dibentuk untuk penegakan disiplin dan etika profesi”, bisa memberi kesan seolah Menkes ‘Playing God’, orang yang paling tahu dan paling berkuasa menentukan Benar dan Salah mulai dari urusan nilai moral (etika profesi) sampai pada tatalaksana pengobatan penyakit yang spesifik (disiplin profesi).
Disiplin Profesi adalah ketentuan berupa pedoman tatalaksana pelayanan medis, yang biasanya tersusun dalam bentuk standar pelayanan yang spesifik untuk setiap jenis penyakit. Selama ini, Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), yang anggotanya ada dokter, dokter gigi dan ahli hukum adalah lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmunya, untuk selanjutnya memberikan sanksi. MKDKI adalah Lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dibentuk berdasarkan UU 29-2004 tentang Praktek Kedokteran (ada 16 pasal, pasal 55-70), dan bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran.
MKDKI adalah sebuah Lembaga pengadilan profesi, yang punya kewenangan yang sama dengan pengadilan, untuk menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin ilmu, dan tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke pengadilan (Pasal 66 ayat ayat 3 UU 29-2004). MKDKI bisa memberikan sanksi disiplin berupa pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR/ SIP, dan atau kewajiban untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan tambahan. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika maka pengaduan ini akan diteruskan pada organisasi profesi (MKEK).
Keanehan lainnya adalah Pasal 421 UU No.17-2023 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemda mempunyai kewenangan pengawasan disiplin profesi dan etika profesi. Etika profesi dalam bidang spesialis tertentu tidak mungkin bisa dinilai oleh dokter lain diluar profesi spesialis itu. Mana mungkin Pejabat Pemda bisa atau mampu memahami etika profesi sebagaimana Majlis Etik perhimpunan spesialis? Upaya Menkes untuk mengambil alih seluruh peran dari Civil Society terkait tatakelola dokter dan nakes ini selain tidak sesuai dengan demokrasi, juga tidak terjadi di negara otoriarian seperti China (https://www.ncbi.nlm.nih.gov>pmc) dan Cuba (https://journalofethics.ama-assn.org).
Campur tangan yang terlalu dalam soal urusan Etika Profesi dan Disiplin Profesi ini bahkan menjadikan Menkes seolah sebagai ‘Wakil Tuhan’ (Playing God), yang paling tahu dan bisa menentukan benar dan salah dalam persoalan Nilai Moral seorang dokter atau tenaga kesehatan.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim