Ceknricek.com
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
****
Begitu penggalan puisi Chairil Anwar berjudul “Aku”. Sastrawan ini menyebut dirinya sebagai binatang jalang. Duh, sudah binatang, jalang pula. Sudah barang tentu, Chairil tidak sedang bermaksud menganggap kedua orang tuanya, ibu yang melahirkannya, sebagai binatang. Tidak.
Lagi pula, rasanya tidak ada orang yang dengan senang hati disebut binatang. Toh begitu, tidak sedikit orang yang memberi nama anak-anak mereka dengan nama binatang. Sebut saja Gajah Mada, yang jadi Patih Majapahit itu. Ada Kasman Singodimedjo, Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR. Dan banyak lagi.
Dalam khazanah bahasa Melayu, binatang digunakan sebagai perlambangan. Sebut saja, kuda tunggangan, katak dalam tempurung, anjing menyalak bukit dan seterusnya. Sebagian adalah perumpamaan.
Sumber: Kabarsurabaya
Hanya saja dari nama-nama yang ngetop itu tak ada tokoh bernama “kodok”. Nah, boleh jadi inilah yang menjadikan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, enggak sudi disebut “kodok” oleh Zikria Dzatil dalam statusnya di Facebook.
Risma menganggap olokan tersebut sama dengan merendahkan kedua orang tuanya. “Kalau saya kodok berarti orang tua saya kodok. Saya tidak ingin orang tua saya direndahkan," pekiknya, Rabu (5/2). Inilah salah satu dalih mengapa Risma menyeret Zikria ke penjara, kendati kemudian mencabut laporannya itu ke polisi.
Seperti yang sudah terjadi, polisi menangkap Zikria di kediamannya, di Perumahan Mutiara Bogor Blok E-6/24, Kelurahan Katulampa, Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat.
Zikria dijerat dengan menggunakan UU ITE, Ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. Risma adalah kader partai penguasa. Ia rupanya ingin mengatakan bahwa dirinya bukan “kodok”. Risma adalah banteng.
Sumber: Wartakota
Rasanya, Risma sedang baper alias bawa perasaan. Ia mencari-cari dalih untuk membenarkan tindakannya memidanakan rakyat kecil. Rakyat yang serba terbatas. Rakyat yang harusnya punya hak untuk mengkritik pejabat publik.
Kader PDI Perjuangan, biasanya sangat bangga disebut “banteng”. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, memekik: “Banteng …” tatkala memanggil kader PDIP dalam berbagai kesempatan kampanye. Pekikan itu biasanya disambut dengan sukacita peserta kampanye
Baca Juga: Terkait Pilgub Jakarta, Risma Serahkan Kepada Kehendak Tuhan
"Kemarin ini keren kan, ketika saya hanya bilang, setop banteng merumput,” ucap Megawati saat berpidato di pembukaan Kongres V PDI Perjuangan di Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, 8 Agustus 2019. Pernyataan Mega itu terkait kabar pindahnya posko pemenangan Prabowo-Sandiaga ke Solo, Jawa Tengah, yang notabene adalah 'kandang banteng'. Dia memerintahkan para kader partai banteng moncong putih untuk berhenti 'merumput'.
Sumber: Istimewa
Kalimat seperti itu sudah biasa di kalangan PDIP. Risma juga kader “Banteng”. Kedua orang tua Risma tidak serta merta menjadi banteng pada saat ini.
Pendukung Joko Widodo juga dengan senang hati disebut “cebong”. Begitu juga pendukung Prabowo. Rela disebut “kampret”. Mereka yang disebut cebong atau kampret ini kedua orang tuanya bukanlah kodok maupun kelelawar. Jadi harusnya tidak ada masalah. Politik itu mestinya asyik-asyik saja. Pemimpin mestinya enggak baperan. Jangan dikit-dikit tersinggung.
Bagi Risma, meniru sikap Jokowi, Prabowo Subianto, juga Anies Baswedan jauh lebih baik. Bisa dibayangkan berapa banyak rakyat kecil akan masuk bui jika ketiga pemimpin bangsa ini baperan. Ketiga pejabat ini nyaris saban hari dirisak di media sosial. Meme menghina yang ditujukan kepada mereka bertebaran. Enggak percaya? Googling saja. Jokowi santai. Prabowo berlagak pilon. Anies asyik dengan tugasnya. Semua asyik saja. Mereka sadar, itu adalah risiko menjadi pemimpin. Kualitas mereka sudah teruji.
Keistimewaan Kodok
Kembali ke kodok. Manusia adalah mahluk yang paling sempurna. Itu pasti. Namun kodok juga tidak buruk-buruk amat. Kodok merupakan salah satu hewan yang mendapatkan pembahasan khusus di dalam Islam. Binatang yang selalu riuh rendah suaranya kala musim hujan ini, merupakan binatang yang istimewa.
Pada sebuah hadis sahih disebutkan Nabi Muhammad bersabda: “Berilah keamanan bagi kodok (jangan dibunuh), karena sesungguhnya suaranya yang kalian dengar adalah tasbih, taqdis dan takbir. Sesungguhnya hewan-hewan meminta izin kepada Rabb-nya untuk memadamkan api dari Nabi Ibrahim, maka diizinkanlah bagi kodok. Kemudian api menimpanya maka Allah menggantikan untuknya panas api dengan air”.
Sumber: Merdeka
Kodok tak mungkin menjadi manusia. Begitu juga Risma. Biar dibilang kodok oleh seluruh rakyat Surabaya sampai Bogor sekalipun, tidaklah mungkin ia berubah menjadi kodok. Risma terlalu besar untuk menjadi kodok. Lagi pula, kalau jadi kodok, Risma tidak akan mungkin bisa menjadi walikota. Apalagi memenjarakan rakyat kecil.
Risma jelas tidak peka bahasa. Ada yang bilang manusia adalah hewan yang berakal. Jika pikiran digunakan, manusia berbeda dengan binatang.
Sikap Risma yang baperan itu tidak pantas ditunjukkan seorang pemimpin. Selain itu, Risma juga terlalu "genit". Sering kali ia menunjukkan kelakuan aneh-aneh. Pada satu hari ia tampak sibuk mengatur lalu lintas. Pada hari lainnya, kedapatan menyapu jalan. Lalu, membersihkan gorong-gorong. Risma lupa, bahwa ia dipilih rakyat untuk menjadi walikota. Bukan tukang sapu jalan, apalagi mengatur lalu lintas. Semua itu ada petugasnya masing-masing. Risma diharapkan melahirkan karya besar menjadikan Surabaya tempat yang nyaman bagi warganya.
Baca Juga: Wali Kota Tri Rismaharini Jadi Tamu Kehormatan Forum Perempuan Turki
Tak sedikit nitizen memuji Risma karena kelakuannya itu. Namun, ada juga sejumlah warganet yang tak tahan untuk tidak berkomentar. Mereka memasang status yang berisi kritik. Ada yang mengoloknya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Celakanya, kritik itu mendapat respon Risma secara negatif. Dia menyeret olokan itu sebagai penghinaan kepada TKW. Itu dianggap merendahkan martabat TKW. Lucu. Padahal bisa saja orang berpendapat sebaliknya: memuliakan TKW menjadi sederajat walikota?
Sumber: PortalIslam
Lantaran sikap baper ini, Risma lupa bahwa dirinya adalah pejabat publik. Pejabat publik harus siap dipuji, tapi harus siap juga dihina.
Risma memang tak sehebat Jokowi, Prabowo, maupun Anies. Tapi setidaknya Risma mestinya paham bahwa kritik dan hinaan adalah risiko pejabat publik. Rakyat boleh mengkritik pejabat tinggi berdasarkan pada azas kebebasan berpendapat yang diatur undang-undang. Mengkriminalisasi rakyat yang mengkritik jelas mengabaikan hak demokrasi warga negara.
Risma nyaris merusak demokrasi. Perubahan sikapnya yang memaafkan lalu mencabut laporannya ke polisi cukup melegakan. Sudahlah, jangan adigang, adigung, adiguna. Enggak usah mentang-mentang bisa menjebloskan orang ke penjara lalu kehilangan nurani dan kecerdasan.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar