Ceknricek.com -- Saling tunjuk hidung sebagai penyebab atau pencetus COVID-19 belakangan ini, antara Amerika Serikat dan kawan-kawan di satu pihak serta Cina di pihak lain, mengingatkan kita akan permainan sewaktu kecil yang konon dapat menebak atau menerka siapa gerangan sumber dari bau busuk (kentut) yang menyentak hidung ketika sekelompok anak-anak sedang berkerumun.
“Dang dang tut tali uwa-uwa siapa kentut ditembak raja tua..”
Belakangan ini “tembakan raja tua” itu silih berganti menyasar Cina dan Amerika. Presiden Amerika Trump dengan gaya khas blak-blakan langsung menuding Cina, yang sebaliknya, melalui salah seorang pejabat tinggi Kementerian Luar Negerinya ,Zhao Lijian menuntut agar Amerika jujur dan terbuka .
Keadaan memang memanas, begitu rupa hingga seorang ahli strategi Australia menyarankan kepada Perdana Menteri Australia Scott Morrison agar menggalang kerjasama dengan sekutu-sekutunya, termasuk Presiden Joko Widodo, demi membendung langkah-langkah ekspansi Cina.
Ternyata pemerintah Australia juga tidak mau ketinggalan kereta api, dan ikut menjadi “raja tua” dengan mengarahkan bidikannya ke hidung Cina. Dalam hal ini, pihak oposisi Partai Buruh yang biasanya lebih cenderung untuk “tampil beda” dari pemerintah, ternyata sejalan dengan pandangan menteri-menteri senior PM Scott Morrison.
Sumber: Istimewa
Beda dari ketegasan dan kelantangan yang dikumandangkan Presiden Amerika Donald Trump yang tanpa tedeng aling-aling menuding Cina, pejabat-pejabat tinggi Australia lebih diplomatis, ibarat “pukul anak sindir menantu”.
Menteri Luar Negeri Australia yang dalam kabinet sebelumnya memangku tanggungjawab pertahanan, Marise Payne, tidak blak-blakan mengatakan bahwa dia tidak mempercayai Cina, melainkan hanya menyatakan bahwa keprihatinannya cukup tinggi berkenaan dengan transparansi Cina terkait kasus berjangkitnya wabah virus corona.
Oleh sebab itu alangkah baiknya kalau secara mancanegara dilakukan peninjauan secara transparan. Semuanya transparan agar menjadi jelas duduk kasusnya, kata Menlu Marise Payne yang dikenal selalu sangat rapih dan bergaya setiap tampil di depan umum laksana seorang peragawati yang akan ikut pameran busana.
Baca juga: Si Corona:Kecil-kecil Cabai Rawit
Laksana gayung bersambut kata berjawab jurubicara politik luar negeri Partai Buruh Penny Wong, seorang keturunan Cina asal Malaysia, mengamini pernyataan Menlu Marise Payne, dan mengatakan, “Umat manusia ingin memahami asal usul COVID-19, dan umat manusia berhak dan pantas kalau ingin memahami hal tersebut.”
Menteri Perdagangan Simon Birmingham memperingatkan kalangan bisnis/pengusaha Australia agar “jangan meletakkan semua telur mereka dalam satu keranjang” – peribahasa Inggris yang memperingatkan agar jangan bergantung pada satu pihak atau satu strategi saja.
Memang sejak tampilnya COVID-19 sering terdengar canangan agar di masa depan Australia jangan mengandalkan hanya Cina sebagai lawan dagang utamanya. Karena dengan demikian “Apabila Cina bersin, Australia bisa langsung masuk angin.”
Sumber: Istimewa
Menteri Dalam Negeri Peter Dutton yang sempat positif virus corona, juga tidak mau ketinggalan dan mengatakan “Cina punya kewajiban terhadap sanak saudara para korban virus ini di Australia untuk menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, agar di masa mendatang pandemi ini jangan sampai terulang.”
Segala ini berkaitan dengan anggapan bahwa Cina sebenarnya kurang berterus terang ketika mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di Wuhan dan berapa jumlah korban jiwa yang sesungguhnya.
Ternyata, sebagaimana dilaporkan kantor berita Associated Press, media resmi Cina akhirnya buka-bukaan. “Memang jumlah korban jiwa yang sesungguhnya akibat COVID-19 di Wuhan adalah 50% lebih tinggi dari yang dilaporkan sebelumnya. Kekeliruan terjadi karena pada waktu itu keadaan memang sangat kritis dan memberatkan hingga pihak berwenang terkait kewalahan dalam menghadapi dan menanganinya,” kata pihak resmi Cina.
Partai Buruh Australia yang beroposisi menyuarakan persetujuanya dengan sikap yang dikemukakan pemerintah Australia. Pimpinan Oposisi Australia Albert Albanese menyentuh “kurangnya demokrasi” dan transparansi di Cina yang menerapkan sistem satu partai. “Transparansi dibutuhkan bukan saja agar segala yang telah terjadi dapat diuraikan, melainkan terlebih penting lagi, pencegahan dapat kiranya dilakukan di masa depan supaya musibah seperti ini jangan sampai terulang.”
Baca juga: Negara, Warga Negara dan Corona
Di pihaknya PM Scott Morrison sempat menyuarakan “keheranannya” bahwa “pasar basah” di Wuhan sudah dibuka kembali setelah di tutup selama lebih dari dua bulan. (Pasar basah secara tradisional menjual hewan hidup dan daging di tempat terbuka. Hewan-hewan tersebut meliputi unggas, ikan, kalong, reptil, dan babi, musang, anjing, bajing, kelinci, kadal,bahkan kera, trenggiling dan banyak lagi.)
Sebagaimana diketahui, virus corona diyakini berjangkit di pasar basah Wuhan.
“Keheranan” PM Scott Morrison itu (yang ditafsirkan sebagai suatu bentuk sentilan dan bahkan kecaman) disambut oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Australia Arthur Calvahouse Jr. Ia mengatakan, adalah penting agar kedua negara demokrasi ini bahu membahu untuk bersama-sama mengungkapkan asal usul virus corona ini.
Dalam tulisannya di sebuah koran Australia, Dubes AS itu mengatakan “harus ada pertanggungjawaban yang layak dan lengkap tentang apa yang seharusnya dilakukan sejak awal sebelum wabah itu menjadi pandemi.”
Tidak ayal lagi tekanan kini kian bertubi menghimpit Cina agar memberikan penjelasan yang sebenar-benarnya tentang sumber dan asasl usul virus ini. Namun umumnya negara-negara “demokrasi” Barat menghendaki, apabila memang Cina berkenan dan penyelidikan dilakukan untuk mengungkapkan asal usul virus ini, maka yang melakukannya bukanlah Badan Kesehatan Dunia – WHO – yang citranya sudah cemar paling tidak di mata Presiden Amerika Donald Trump. WHO dianggap pro Cina.
Sumber: Istimewa
Yang digadang-gadang agar menjadi “pengusut” kasus ini adalah sebuah kelompok mancenegara mandiri dan mumpuni. Cuma belum jelas apakah Cina berkenan. Sementara itu, seorang pakar strategi Australia, Peter Jennings, dalam tulisan di sebuah koran Australia menilai Partai Komunis Cina sedang gigih berusaha agar Cina nanti tampil lebih kuat secara strategis di kawasan Asia-Pasifik dibanding Amerika Serikat setelah badai COVID-19 ini berlalu.
Sejak beberapa waktu ini Cina telah mengerahkan perangkat militernya di sekitar Taiwan. Koran bahasa Inggris Partai Komunis Cina – The Global Times – baru-baru ini menulis: “Seandainya persoalan Taiwan ini sampai mencetuskan pertarungan antara Cina dan Amerika, biar apa pun kesudahannya, yang pasti Taiwan harus membayar ongkos yang tidak terperikan mahalnya. Taiwan tidak ada peranannya di dunia ini.”
Baca juga: Lockdown: Laksana Mengandangkan Harimau Ganas
Kata Peter Jennings, ternyata Beijing mahir dalam memanfaatkan badai virus ini dan mengesankan kepada dunia bahwa dirinya adalah juru selamat karena kemampuan dan kesediaannya mengirimkan peralatan medis dan tenaga ahli ke berbagai negara dalam “upaya menanam budi”, sekaligus menggembar-gemborkan bahwa otoriterisme (komunisme?) dapat lebih berjasa dalam melawan virus corona ketimbang Amerika dan banyak negara demokrasi lainnya.
Oleh sebab itu ahli strategi Peter Jennings menyarankan agar PM Morrison perlu berbicara dengan Presiden Donald Trump, dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Presiden Joko Widodo, Perdana Menteri Inggris Borris Johnson dan siapa pun lainnya yang bersedia ikut serta dalam suatu upaya membendung secara terkoordinir oportunisme militer RRC. Khusus mengenai Presiden Joko Widodo, rasanya akan berat hati untuk bergandengan tangan dengan Australia guna membendung Cina mengingat kedekatan Indonesia selama ini dengan Beijing.
Foto: Gary Ramage
Namun dari ucapan-ucapannya selama ini berkenaan dengan kehebohan badai virus corona ini, PM Scott Morrison, serta menteri-menterinya, terkesan masih ingin menjaga agar hubungan dengan lawan dagang terpenting Australia ini, Cina, tetap dan terus terpelihara, karena setelah nanti badai berlalu, urusan perut sejengkal niscaya harus mendapat perhatian utama.
Bagaimana pun,Australia telah dan akan terus menggelontorkan begitu banyak dana, ratusan miliar dolar, dalam upaya memelihara kesejahteraan rakyatnya di tengah tengah krisis yang melanda sekarang ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa “demi kemakmurannya” maka Australia selama ini memang sangat bergantung pada Cina. Begitu pula demi kepulihannya nanti.
Statistik-statistik akan menunjukkan sejelas-jelasnya bagaimana Cina merupakan lawan dagang terbesar Australia. Bahan ekspor utama Australia ke Cina adalah biji besi dan batu bara senilai lebih dari $120 miliar (dolar Australia) setahun – sebanding 30% dari semua ekspor Australia ke luar negeri (Badan Siaran Australia – ABC).
Bukan itu saja, melainkan juga Australia memasok “jasa-jasa pendidikan” senilai $32,4 miliar, sama seperti 8% dari seluruh ekspor negara ini (pemasukan ini bersumber dari para mahasiswa Cina yang menuntut ilmu di Australia). Itulah bahan-bahan baku dan jasa-jasa pelayanan yang dipetik Cina dari Australia.
Dalam kurun waktu 2017-18, Cina merupakan lawan dagang terbesar Australia yang menyumbangkan $194,6 miliar dolar dalam impor-ekspor. Jumlah ini lebih besar dari gabungan nilai perdagangan Australia di satu pihak, dengan Amerika Serikat dan Jepang yang mencapai “hanya” $147,8 miliar (ABC).
Karenanya Australia juga harus hati-hati dan tahan-diri jangan sampai terlanjur menyakiti hati Cina. Bukankah segala yang telah dibelanjakan selama krisis COVID-19 ini nantinya harus diganti. Dan nampaknya Cina masih akan merupakan sumber pendapatan yang cukup besar bagi Australia. Bak kata pepatah kita: “Syariat palu-memalu, hakikat balas membalas” (Baik dibalas dengan baik, jahat dibalas dengan jahat). Bukankah begitu? Wallahu a’aam.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.