Ceknricek.com -- Hari ini, 56 tahun yang lalu tepatnya pada 12 Desember 1963, Republik Kenya mendeklarasikan kemerdekaan dari Britania Raya. Bangsa Afrika Timur ini pun terbebas dari penindasan kolonial. Meski begitu, jalan demokrasi di negeri ini masih jauh dari selesai.
Satu dekade sebelum kemerdekaan Kenya, pada tahun 1952, terjadi sebuah pemberontakan yang dikenal dengan nama Mau Wants Uprising atau pemberontakan Mau Mau yang sempat mengguncang koloni Inggris di Kenya.
Pada pemberontakan ini, Inggris tidak hanya menghabiskan sekitar GB£55 juta untuk menekan pemberontakan, tapi juga melakukan pembantaian terhadap warga sipil, mengurung mereka dalam kamp konsentrasi dan menangguhkan kebebasan sipil di beberapa kota.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Proklamasi Kemerdekaan Timor Timur dari Portugal
Perang pun berakhir dengan pemenjaraan dan eksekusi banyak pemberontak, tetapi Inggris juga memahami bahwa segala sesuatunya telah berubah secara permanen, sebagaimana ditulis History.com pada 8 Agustus 2019.
Dari sinilah kemudian pemerintah kolonial memperkenalkan reformasi yang memudahkan warga Kenya memiliki tanah dan menanam kopi, tanaman penghasil uang utama yang sebelumnya disediakan untuk para pemukim Eropa.
Tidak hanya itu, warga Kenya juga diizinkan untuk dipilih sebagai anggota Dewan Legislatif mulai tahun 1957, setelah gerakan nasionalis yang meluas digaungkan di wilayah tersebut. Inggris yang sudah tidak mampu secara finansial dan militer untuk mempertahankan jajahan juga melakukan negosiasi kemerdekaan pada 1960.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: India Merdeka Dari Inggris
Dari hasil perjanjian ini berhasil menyerukan Dewan Legislatif dengan 66 kursi, dengan 33 kursi disediakan untuk warga kulit hitam Kenya dan 20 untuk kelompok etnis lainnya. Jomo Kenyatta, mantan pemimpin Uni Nasional Afrika Kenya yang telah dipenjara Inggris atas tuduhan palsu setelah Pemberontakan Mau Mau, kemudian dilantik sebagai Perdana Menteri pertama Kenya pada 1 Juni 1963 dalam persiapan untuk transisi menuju kemerdekaan.
Masalah Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, kolonialisme ternyata masih memiliki dampak tersendiri bagi republik Kenya serta menimbulkan permasalahan baru. Salah satunya akibat pembagian batas teritorial berdasarkan kepemilikan wilayah kekuasaan bangsa Eropa (Partition of Africa) yang terpecah dalam dua kelompok yang berbeda.
Saat Perang Dunia I, Inggris telah membagi sebagian wilayah timur, Jubaland yang secara eksklusif dihuni oleh etnis Somali di selatan Somalia kepada Italia, karena telah bergabung dengan pihak sekutu, sedangkan bagian barat Jubaland tergabung dalam teritori British East Africa dengan nama Northern Frontier District.
Pasca kemerdekaan, etnis Somali lalu hanya mendiami bagian timur laut Kenya dan memegang 6 persen dari total populasi Kenya dan memicu konflik etnis Somali akibat perang, Shifta War (1963-1968), maupun narasi "permusuhan" yang diarahkan kepada kelompok Somali, sebagaimana ditulis Greaty Fitraharani dan Arfin Sudirman dalam Warisan Kolonisasi Inggris di Kenya: Kekerasan Struktural terhadap Etnis Kenya Somali di Kenya (2017).
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Lebanon Merdeka dari Prancis
Pertempuran dengan pemberontak etnis Somalia baru berhenti pada 1969, setelah Kenyatta melembagakan pemerintahan satu partai, dan ia memimpin pemerintahan yang korup dan otokratis hingga kematiannya pada tahun 1978, dan digantikan oleh Daniel arap Moi.
Demokrasi dan keadilan di Kenya terus bergulir di negara itu hingga mereka baru melembagakan konstitusi pada 2010, di mana tiga tahun kemudian, pada 2013, putra Kenyatta, Uhuru, kemudian menjadi presiden Kenya setelah sebelumnya menjadi Menteri Pemerintah Lokal di bawah pemerintahan Daniel arap Moi.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Thomas Rizal