Sejarah Hari Ini: Konferensi Meja Bundar dan Status Quo Papua Barat | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Sejarah Hari Ini: Konferensi Meja Bundar dan Status Quo Papua Barat

Ceknricek.com -- Tepat pada tanggal hari ini, 70 tahun lalu, 23 Agustus 1949, Konferensi Meja Bundar dimulai di Den Haag, Belanda. 

Konferensi yang berlangsung hingga 2 November 1949 itu, merupakan langkah awal Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda.

Masalah muncul ketika di penghujung rundingan, Mr. Van Maarseveen (Menteri Wilayah Seberang Laut Belanda) menyatakan, wilayah Irian Barat bukan bagian dari Indonesia secara etnis dan kultural.

Silang Pendapat di KMB 

Sebelum berangkat ke Belanda, delegasi Republik dan BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal, (Komite yang dibuat Belanda untuk membuat RIS)  telah sepakat soal Irian Barat. Keduanya sama-sama berpendirian bahwa Irian Barat harus dimasukan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).  

Pada 23 Agustus 1949, konferensi dimulai. Hatta dan wakilnya Mr. Mohammad Roem dari delegasi republik kemudian membahas status, kesepakatan ekonomi, serta kesepakatan sosial dan militer dengan delegasi Belanda yang diketuai Mr. Van Maarseveen (Menteri Wilayah Seberang Laut), serta dihadiri oleh peninjau dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Konferensi Meja Bundar dan Status Quo Papua Barat
Sumber: Urusan dunia

Setelah masing-masing perwakilan menyampaikan pendapatnya sendiri lewat perdebatan sengit terkait utang pemerintah Belanda dan status Papua (dulu Irian) Barat. Akhirnya, intervensi PBB meyakinkan kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dicapai untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia.

Delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda. Namun, Papua Barat kembali menjadi masalah kedua, yang menyebabkan perundingan menjadi buntu. Pihak Indonesia berpendapat, wilayah Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Namun, pihak Belanda menolak karena Papua Barat tak mempunyai ikatan dengan Indonesia. 

Baca Juga: Mengenang Gaung 64 Tahun Konferensi Asia Afrika

Dalam KMB, sesungguhnya Belanda belum mau mengakui kekalahan sepenuhnya terhadap Indonesia. Untuk melepaskan daerah jajahan yang sangat berharga, diperlukan undang-undang yang disetujui mayoritas duapertiga anggota Parlemen Belanda yang ketika itu dikuasai golongan konservatif. 

“Dalam praktiknya itu berarti dua hal: dipertahankannya Papua Barat dalam kekuasaan Belanda dan pengaturan peralihan kedaulatan yang melindungi kepentingan ekonomi Belanda,” tulis Robert Elson, dalam The Idea of Indonesia. Dengan dikuasainya Irian Barat, maka akan kembali menegakkan harga diri Belanda sebagai salah satu negara Imperialis terbesar di dunia. 

Prioritaskan Kedaulatan

Hatta, sebagai ketua perwakilan nampaknya memahami hal tersebut, terkait keengganan Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Oleh karena itu, ia tidak melanjutkan perdebatan lebih jauh. Lagi pula, ia tidak ingin mengorbankan kesepakatan perundingan yang  telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik. Misi pengakuan kedaulatan baginya merupakan hal terpenting, sedangkan masalah Irian barat dapat diselesaikan di lain hari. 

Konferensi Meja Bundar dan Status Quo Papua Barat
Sumber: Istimewa

Hal ini berbeda dengan pandangan Ida Anak Agung Gde Agung, perwakilan Negara Indonesia Timur (NIT) yang berpandangan bahwa dipisahkannya Irian Barat dari RIS bertentangan dengan mandat yeng telah diberikan padanya. Hatta pun tidak menampik hal tersebut, namun ia menambahkan jika perundingan KMB berakhir dengan kegagalan maka mereka akan pulang ke Indonesia dengan kegagalan alias tanpa pengakuan kedaulatan. 

Anjuran serupa juga disampaikan oleh delegasi Republik di bidang militer, Kolonel T.B. Simatupang kepada kelompok BFO. Menurut Simatupang, keadaan militer Republik Indonesia juga sedang mengalami kekurangan logistik peluru dan persenjataan. Dengan demikian apabila terjadi perjuangan bersenjata lewat pengakuan kedaulatan secara fisik kondisi tersebut akan menyulitkan pemerintah.

Konferensi Meja Bundar dan Status Quo Papua Barat
Sumber: Slideshare

Hingga akhirnya, pada 31 Oktober, Merle Cochran dari UNCI Badan Perdamaian yang mengawasi sidang KMB membentuk suatu panitia kecil. Anggotanya terdiri dari Prof. Dr. Supomo (mewakili Republik), Mr. S. Blom (mewakili Belanda), dan Ide Anak Agung Gde Agung (wakil BFO). Panitia ini bertugas merancang formula untuk memecahkan masalah Irian Barat. 

Pada dini hari 1 November 1949, tercapailah kompromi mengenai status Irian Barat yang dapat diterima semua pihak. Isinya: Irian Barat berada dalam status quo di bawah penguasaan Belanda dan perundingan akan dilanjutkan kembali setahun kemudian. Keesokan harinya, naskah piagam penyerahan kedaulatan telah dirampungkan. 

Dengan status quo nya, pemerintah Belanda secara aktif melakukan perluasan wilayah eksplorasi di Irian Barat dengan membangun berbagai pos-pos pemerintahan. Kenyataan yang mesti di terima ini bertentangan dengan cita-cita Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke. Maka setelah itu, dimulailah perjuangan mengintegrasikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia dan melahirkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969 yang memandai sejarah baru di Papua bagian Barat.

BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait