Ceknricek.com -- Tepat tanggal hari ini, 16 Agustus 1945, para pemuda ‘menculik’ Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Tidak hanya mereka, penculikan itu turut membawa serta Ibu Fatmawati dan Guntur Sukarno Putra yang pada saat itu masih bayi. Mereka ditempatkan di rumah milik seorang petani Tionghoa Djiau Kie Siong.
Satu Hari Sebelum
15 Agustus, 1945 sore itu suasana Jakarta diliputi ketidakpastian terkait kabar menyerahnya Jepang terhadap Sekutu setelah peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki beberapa hari sebelumnya.
Meskipun demikian, pihak resmi otoritas Jepang di Jakarta belum juga memberi konfirmasi lewat radio yang biasa mengudara, dikerenakan sehari sebelumnya siaran di radio sudah berhenti.
Atas alasan inilah, para pemuda aktivis di Jakarta yang yakin bahwa Jepang telah menyerah segera mengambil inisiasi untuk memproklamirkan kemerdekaan. Namun, silang pendapat membuat para "orang tua" macam Sukarno dan Hatta, masih enggan bergerak tanpa kejelasan resmi dari Jepang.
Sebab itulah Soebadio kemudian menemui Hatta di rumahnya sore itu. Saat itu ia sedang menekuri rancangan proklamasi yang akan dirapatkan PPKI keesokan harinya. Adu mulut pun tak dapat dihindarkan karena Hatta tidak mau menyegerakan proklamasi.
“Tindakan yang akan engkau adakan itu bukanlah revolusi, tetapi putsch, seperti yang dilakukan dahulu di Muenchen tahun 1923 oleh Hitler, tetapi gagal,” timpal Hatta sebagaimana ia tulis dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2010: 78).
Rupa-rupanya tidak hanya Hatta yang didesak untuk segera menyegerakan proklamasi. Bung Karno pun turut kena desakan pemuda. Malam harinya ia didatangi oleh Wikana, Soebadio, Suroto Kunto, dan D.N Aidit sebagai perwakilan pemuda di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur.
Baca Juga: Napak Tilas Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Wikana dan para pemuda kemudian mendesak Bung karno untuk segera mengobarkan revolusi malam itu juga. Massa sudah siap dengan bantuan dari Peta dan Heiho yang menunggu semua komando. Kalau pun harus pecah kontak dengan Jepang, juga jadilah.
Kendati demikian, Soekarno dan Hatta yang pada saat itu sedang berada di rumahnya tetap bersikukuh hati mengobarkan revolusi dengan mengambil risiko bentrok dengan Jepang dan membuang waktu percuma.
Setelah terjadi percekcokan yang sengit antara mereka, Bung Hatta akhirnya angkat bicara. Dengan dingin ia menolak rencana Wikan dan kawan-kawan. Hatta bahkan menyarankan untuk mencari pemimpin lain saja jika ingin mengobarkan revolusi jika itu memang kemauan mereka.
Para pemuda itu akhirnya diam tak bisa menjawab. Mereka sadar tidak ada tokoh lain yang punya wibawa dan kekuatan politik untuk mengobarkan revolusi selain Soekarno dan Hatta. Konfrontasi itu pun berakhir, dan mereka bubar.
Apakah semuanya berhenti disini? Ternyata tidak.
Peristiwa Penculikan
Sepulang dari rumah Soekarno, Wikana kemudian menemui kawan-kawan pergerakan yang lain di asrama Cikini 71. Mereka membeberkan semua omongan Soekarno dan Hatta di hadapan aktivis-aktivis pemuda lintas golongan yang menunggu di sana.
Di asrama itul juga akhirnya mereka menerima telegram pernyataan kiasar Hirohito yang meminta damai kepada Sekutu. Kontan saja hal tersebut semakin membuat tekad mereka untuk mengobarkan revolusi menemukan pembenarannya.
Kabar tersebut barangkali belum sampai ke Soekarno-Hatta atau anggota PPKI yang lainnya. Pemerintah Jepang mungkin tidak ingin para tetua dari panitia persiapan kemerdekaan yang dijanjikan oleh Dai Nippon itu mengetahui kekalahan mereka di perang Pasifik.
Akhirnya, disusunlah rencana untuk segera ‘mengamankan’ Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang dengan membawa mereka ke Rengasdengklok. Tempat itu dipilih dianggap aman dan letaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta.
Romo Mangun, di dalam novelnya Durga Umayi menulis narasi sejarah itu dengan apik dan trengginas lewat narator utamanya, Tiwi, seorang gadis belia yang ikut membantu di rumah Pegangsaan.
“Maka terkejutlah Tiwi suatu pagi di bulan Agustus itu, ia mendengar seru sedan kesah gelisah orang-orang di dapur yang mengkhawatirkan nasib Bung karno dan Ibu Fat yang masih menyusui bayi kok diculik. Bahkan menurut desas-desus dari jalan Diponegoro, Bung Hatta juga diculik.”
Memang, dengan sedikit keributan yang direkayasa oleh mereka, Wikana cs akhirnya mendatangi Soekarno dan mengatakan bahwa para pemuda yang tak sabar ingin melakukan revolusi telah melakukan pemberontakan di beberapa wilayah.
Dengan alasan kekhawatiran Jepang akan menuduh Dwitunggal sebagai provokator, mereka meminta keduanya untuk bersembunyi di luar kota untuk sementara waktu. Maka, pada subuh hari itulah, 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, Ibu Fatmawati, dan Guntur yang belum genap setahun (dan kelupaan membawa susu botol) menginap di rumah petani Tionghoa Djiau Kie Siong.
Kembali ke Jakarta
Ketika malam berganti dan pagi, di Jakarta terjadi gegeran antar kalangan anggota PPKI karena dua pucuk pimpinan mereka tidak datang dalam rapat yang diagendakan sebelumnya.
Setelah dicek di rumah masing-masing, kedua tokoh itu pun tidak ada di rumah. Sementara itu pihak militer Jepang yang diduga menyembunyikan mereka tidak tahu juga di mana Dwitunggal itu berada.
Baca Juga: Napak Tilas Tempat Pembuangan Sang Proklamator
Akhmad Subardjo, salah seorang anggota PPKI pun meyakini bahwa menghilangnya Soekarno-Hatta ada hubungannya dengan pertengkaran mereka dengan kelompok pemuda di malam sebelumnya. Karena itulah ia kemudian mencari Wikana untuk mencari tahu.
Subardjo yang pada pagi harinya juga telah mendengar kabar terkait menyerahnya Jepang pada Sekutu, kemudian memutuskan untuk mencari mereka dengan menemui Wikana setelah sebelumnya melaporkan pada pihak Angkatan Laut Jepang, Laksamana Tadhasi Maeda.
Sementara itu, di Rengasdengklok, Soekarno-hatta hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Agaknya mereka masih percaya bahwa di Jakarta memang benar-benar terjadi pemberontakan. Hatta yang sekadar ingin tahu situasi, meminta Sukarni untuk menelepon teman-temannya di Jakarta.
Entah benar-benar menelpon atau hanya berpura-pura, Sukarni kemudian mengatakan bahwa dirinya tidak dapat melakukan kontak dengan Jakarta. Hatta pun menimpali dengan gamblang bahwa pemberontakan itu sudah gagal.
Semuanya kemudian menjadi jelas dengan datangnya Subardjo ke Karawang di sore harinya. Dikatakan bahwa Jakarta aman-aman saja dan Jepang benar-benar sudah meminta damai kepada Sekutu. Inilah kemudian yang menjadi titik balik melunaknya Soekarno kepada para pemuda.
Dengan pertimbangan tersebut Dwitunggal pun segera berjanji untuk segera merealisasikan proklamasi dan selekasnya kembali ke Jakarta, malam itu juga untuk mempersiapkan rapat persiapan proklamasi yang akan diproklamirkan keesokan harinya, 17 Agustus 1945.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini