Ceknricek.com -- Pada 10 Maret 1965, sore hari di Singapura suasana mendadak berubah mencekam. Sebuah bom meledak di gedung Hongkong and Shanghai Bank yang sekarang dikenal dengan Mac Donald House, di kawasan Orchard Road, Singapura.
Akibat peristiwa itu, tiga orang tewas, dan setidaknya 33 orang lainnya terluka. Tiga hari kemudian pelaku peledakan bom tersebut tertangkap saat sedang melarikan diri dari Singapura. Mereka adalah Usman alias Janatin, dan Harun alias Tohir. Dua orang Anggota Korps Komando (KKO, sekarang Marinir) Angkatan laut Republik Indonesia.
Konfrontasi Ganyang Malaysia
Tiga tahun sebelum peledakan bom, tepatnya tahun 1962, Indonesia terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu, sebutan untuk Malaysia, Negeri Jiran yang resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.
Foto: Istimewa
Pertikaian dua negara serumpun ini dipicu penolakan Indonesia, lewat Sukarno yang pada saat itu menjabat sebagai presiden. Ia tidak senang dengan tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, Brunei Darussalam yang terletak di Pulau Borneo atau Kalimantan bagian utara dan berdampingan dengan NKRI.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Bom Bali I Duka Terdalam Bangsa
Menurut Sukarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Federasi Malaya, bagi Sukarno, hanyalah negara boneka Inggris (Hellwig & Tagliacozzo, The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, 2009:345).
Hingga satu pekan kemudian, di Yogyakarta pada 23 September 1963, dengan lantang sang penyambung lidah rakyat itu menyerukan “Ganyang Malaysia” di hadapan puluhan ribu rakyat. Seruan penuh wibawa dari bung besar ini tentu saja membuat darah muda Usman dan Harun yang saat itu baru diterima di Marinir menggelegak dan langsung mengajukan diri sebagi sukarelawan dalam operasi Komando Mandala Siaga.
Operasi Militer yang dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani memberikan dua misi penting kepada Usman dan Harun, yakni melakukan aksi sabotase di Singapura yang pada saat itu menjadi bagian penting dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.
Menurut laman Singapore Infopedia, Usman dan Harun tiba di Singapura pada 10 Maret 1965 pukul 11.00. Berbekal 9-11 kg bom berbahan nitrogliserin, dua orang anggota KKO yang menyamar menjadi masyarakat biasa itu masuk ke bangunan Mac Donald House. Bahan peledak itu lalu diletakkan di dekat lift, setelah dinyalakan sumbunya, mereka berdua lalu pergi meninggalkan gedung tersebut dengan menggunakan bus.
Foto: Istimewa
Baca Juga: Sejarah hari Ini: Kediktatoran Thanom dan Pemberontakan Mahasiswa Thailand
Bom pun kemudian meledak menjelang petang. Ledakannya merusak pintu lift dan puluhan toko di sekitarnya. Ledakan juga merusak puluhan kendaraan roda empat di kawasan padat yang di dalamnya terdapat puluhan orang sipil itu.
Garis Tipis Pahlawan atau Teroris
Pada 20 Oktober 1965 pengadilan Singapura memvonis hukuman mati Usman dan Harun dengan tuduhan melakukan sabotase dan menyebabkan meninggalnya 3 orang warga sipil. Mereka meringkuk di penjara Changi selama masa persidangan.
Foto: Istimewa
Berbagai upaya ditempuh pemerintah Indonesia untuk membebaskan mereka, namun upaya-upaya tersebut mengalami kegagalan. Hingga tiga tahun kemudian, tepat hari ini, 51 tahun yang lalu, 17 Oktober 1968, pukul 06.00 pagi pemerintah Singapura melaksanakan hukuman gantung kepada Usman dan Harun.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Tragedi Angke, Pembantaian Orang China di Batavia
Hari itu juga jenazah keduanya langsung dipulangkan ke Indonesia. Ratusan ribu rakyat turut mengiringi pemakaman Usman dan Harun dengan suasana haru. Pemerintah juga menganugerahi mereka tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar pahlawan Nasional saat dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara militer.
Foto: Istimewa
Bagi sebagian rakyat Indonesia, Usman dan Harun barangkali memang dianggap sebagai pahlawan bangsa. Namun, di sisi lain, lebel teroris sulit juga diingkari dari diri mereka atas aksi nir kemanusiaan yang telah dilakukan sekalipun mengatasnamakan perang.
BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.