Ceknricek.com -- Rencana akuisisi PT Bank Permata, Tbk. oleh Bank Mandiri (Persero) Tbk., tidak akan semulus yang dibayangkan. Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan telah melakukan due diligence dengan Standard Chartered Bank (SCB) dan Astra International. Keduanya masing-masing menggenggam 45% saham Bank Permata. “Kami mulai negoisasi. Kalau cocok harganya jalan, kalau tidak ya tidak juga,” ujar Kartika.

Sumber : PMLDaily
Bank Permata merupakan hasil penggabungan lima bank di bawah pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank-bank yang dikawinkan itu adalah Bank Bali Tbk., Bank Universal Tbk., PT Bank Prima Express, Bank Artamedia, dan Bank Patriot.

Sumber : SWA
Bank Bali ditunjuk menjadi Bank Rangka dan pada 1 Februari 2002 berganti nama menjadi Bank Permata, sedangkan empat bank lainnya sebagai bank yang menggabungkan diri.
Rupanya, perjalanan bank ini meninggalkan masa lalu yang belum tuntas. Buktinya, Rudy Ramli, salah satu pemegang saham Bank Bali dari keluarga Djaja Ramli, belum rela bank ini dimiliki SCB. Dia menganggap kepemilikan SCB di Bank Permata adalah misteri. Ia curiga ada bos lain yang menggunakan SCB untuk menguasai Bank Permata.

Sumber : Istimewa
Lantaran itu Rudy Ramli menyatakan keberatan atas usaha pemindahan kepemilikan saham Bank Permata. “Amat sangat keberatan,” tandas Rudy dengan wajah serius. Dia berharap otoritas yang berwenang menggunakan kekuasaannya untuk mencegah transaksi tersebut terjadi.
Eks Dirut Bank Bali ini menyampaikan sejumlah alasan utama mengapa transaksi itu harus dicegah. Apa saja itu? “Pertama soal transparansi,” jelas Rudy. Bahwa siapa pun yang ingin memiliki aset di Indonesia hendaklah transparan dan jelas siapa pemiliknya, dan asal dananya. “Keduanya itu dilanggar oleh SCB dengan vulgar,” tandasnya.
Rudy mengaku menemukan kejanggalan pada annual report SCB 2006, dan beberapa tahun berikutnya. Pada laporan tahunan itu terdapat kejanggalan dalam transaksi pengambil alihan Bank Permata. Ada kalimat “no capital commitment” tertuang pada annual report SCB tersebut.
No Capital Commitment
Apa yang dimaksud dengan no capital commitment? Berdasarkan peraturan transparansi yang berlaku di Indonesia, siapa pun yang ingin membeli bank di Indonesia harus jelas dengan menanda tangani deklarasi yang menyatakan dirinya adalah “the ultimate shareholder dari institusi yang akan dibelinya”.
“Dengan ditemukannya dokumen itu, kami keluarga besar eks Bank Bali, sangat meragukan bahwa SCB telah menandatangani deklarasi yang menyatakan dirinya adalah ultimate shareholder dari Bank Permata,” katanya.
Kalau pun ternyata dokumen deklarasi ultimate shareholder itu ada atas nama SCB, menurut Rudy, maka SCB patut dicurigai telah melakukan kebohongan publik dengan mengaku sebagai ultimate shareholder.
SCB wajib menjelaskan dengan menyertakan dokumen pendukung, apa maksud dari kalimat “no capital commitment” yang tertuang pada annual reportnya tersebut. Sesuai asas keterbukaan dan hukum anti-money laundry.
Jika ternyata nantinya terbukti SCB telah melakukan fronting dan kebohongan publik, atau adanya peristiwa SCB tidak menandatangani pernyataan sebagai ultimate shareholder, maka transaksi pengambil alihan Bank Permata wajib dipertanyakan oleh otoritas yang berwenang.
Keadilan dan Kebenaran
“Alasan kedua adalah soal keadilan dan kebenaran,” lanjut Rudy. Bank Bali, menurut Rudy, sedari awal adalah bank sehat yang mampu bertahan dari krisis 1997-1998, karena pengelolaan manjemennya yang sangat baik. Namun, terjadi rentetan peristiwa yang mengindikasikan telah terjadi usaha pelemahan terhadap Bank Bali, yang berakibat bank ini harus masuk BTO yang artinya triliunan uang negara hilang untuk restrukturisasi.
Lebih miris lagi, katanya, saat SCB membeli Bank Permata dari BPPN, uang yang dibayarkan tidak sampai separuh dari biaya yang ditanggung pemerintah untuk melakukan restrukturiasi.
Dia menyebut SCB hanya mengeluarkan Rp2,77 triliun, padahal biaya rekap yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp11,89 triliun. Artinya, penjualan Bank Permata menimbulkan kerugian negara sebesar Rp9,12 triliun.

Sumber : CNN
Rudy lalu bercerita rangkaian peristiwa yang dramatis tentang nasib Bank Bali. “Bank Bali adalah bank sehat yang dibuat sakit,” kenangnya.
Pinjaman Money Market
Pada akhir 1997, menurut Rudy, Bank Bali dan beberapa bank sehat lainnya seperti Panin terus-menerus diminta BI agar menghidupkan lagi pinjaman money market yang waktu itu mandek karena krisis. “BI sampai mohon-mohon atas nama negara, demi menyelamatkan negara,” tuturnya.
Awalnya Bank Bali menolak, karena harus melindungi uang nasabahnya. Bank Bali akhirnya luluh setelah BI menyatakan akan menjamin dana pinjaman money market yang gagal bayar.
Bank Bali lalu mengucurkan dana pinjaman money market pada saat itu, padahal perjanjian bailout belum ditanda tangani. “Ini dilakukan, semata-mata karena percaya pada BI, dan kondisi nasional yang memang krisis,” tambah Rudy lagi.
Namun, pada bulan Januari 1998, saat perjanjian itu ditandatangan, ada satu pasal yang menyatakan bahwa pinjaman tersebut diakui hanya jika sebelumnya telah dilaporkan terlebih dulu oleh peminjam. “Ini pasal sangat aneh, dan cenderung kebalik. Karena normalnya, si pemberi pinjamanlah yang melaporkan. Hal ini menambah kerepotan bagi tim Bank Bali, namun dengan usaha keras kami berhasil mengatasinya,” ujarnya.
Pada waktu penagihan berlangsung, lanjut Rudy lagi, Bank Bali terus dipersulit dengan berbagai alasan yang mengada-ada. Seperti tanggung jawab bukan di BI, tapi sudah dipindah ke BPPN, di BPPN yang bertanggung jawab belum ditunjuk, sedang ada pindahan kantor, datanya hilang, dan lain sebagainya, hingga akhirnya dianggap penagihan yang dilakukan Bank Bali sudah lewat batas waktu.
“Peristiwa tagihan yang macet ini mengundang banyak calo yang merasa mampu menagihkan utang, mulai dari Bos Bank Pikko, sampai PT EGP yang kita semua tahu,” jelasnya.
Selanjutnya Rudy bercerita, untuk menambah modal Bank Bali, ia selaku wakil keluarga pemegang saham mayoritas bank ini mencari investor strategis yang dapat membackup Bank Bali dari segi permodalan. Dalam proses ini ditunjuk JP Morgan sebagai penasihat keuangan.
JP Morgan menebar undangan investasi pada 25 potential buyer, yang di antaranya ada SCB. Dari 25 yang diundang, 20 hadir termasuk SCB, untuk melakukan due diligence awal, dengan melihat dataroom. “Dari sana, yang menyatakan minat untuk melanjutkan, hanya tiga, yaitu: ABN AMRO, GE Capital, dan Citibank,” katanya. “Dari sini sudah jelas bahwa SCB sedari awal tidak ada minat terhadap Bank Bali.”
Singkat cerita, Rudy melanjutkan, GE Capital keluar sebagai pemenang untuk merekapitulasi Bank Bali. “Seusai GE Capital diumumkan sebagai pemenang, sesuai prosedur, kami laporkan hasil tersebut ke BPPN, BI, dan ke menteri keuangan. Namun, kami tidak mendapat respons apa pun dari otoritas. Tak ada penolakan ataupun penerimaan. Semua diulur ulur sampai menjelang batas waktu yang ditetapkan oleh BPPN,” ujarnya.
Sehari menjelang jatuh tempo yang ditetapkan BPPN, Rudy memaksa masuk bertemu Deputi BPPN Farid Hariyanto. Di sana, Farid menolak GE, dan dengan santai dia memberi alasan bahwa, “dia tidak suka GE”. Farid menyodorkan SCB sebagai pengganti. “Dari sini jelas sekali kejanggalannya. SCB yang tadinya tidak minat kenapa tiba-tiba minat? Dan kenapa dia harus didahulukan?”
“Saat itu kami mencoba mengajukan calon lain, yaitu ABN AMRO. Farid setuju menemui kami di Hotel Dharmawangsa pada hari yang sama, pada malam hari jam 21.00 WIB. Dia datang sangat terlambat, dan mendengarkan presentasi kami dengan ogah-ogahan. Besoknya, kami diberi kabar, bahwa ABN AMRO ditolak juga oleh BPPN,” lanjutnya lagi.
Lalu, kenapa Bank Bali akhirnya menerima SCB? “Kami terpaksa,” ujar Rudy. Itu terjadi ketika keesokan harinya, manajemen Bank Bali dipaksa menandatangani perjanjian rekapitulasi dengan SCB di Bank Indonesia. “Sepanjang hari itu kami terus tek-tok dengan BPPN tentang perjanjian rekapitulasi dengan SCB. Semua usulan pasal yang disampaikan SCB sangat tidak fair dan kami harus melakukan revisi di sana-sini, namun selalu ditolak oleh SCB. Hari itu adalah deadline rekapitulasi, dan jika tidak ada, kami akan masuk BTO (Bank Take Over),” tutur Rudy.
Tidak ada pilihan lain, kata Rudy, pemilik Bank Bali datang ke BI untuk penandatanganan kerja sama rekap. “Namun di sana, kami kembali dikejutkan bahwa kami harus menandatangani kertas kosong. Dalam artian, hanya ada halaman belakang berisi kolom tanda tangan, tanpa ada halaman isi dari surat perjanjian,” katanya.
Kami sempat bingung dan mau protes, namun Farid Harianto yang saat itu hadir, memberi kami kode berupa tatapan mengancam, yang kami artikan: tanda tangan atau BTO. Dalam keadaan terdesak kami terpaksa menandatangani kertas kosong.
SCB masuk dan diberi waktu tiga bulan untuk melakukan due diligence. Ini hal yang sangat aneh lagi. Pemain baru, masuk detik terakhir dan diberi waktu tiga bulan untuk due diligence. “Jika memang waktu tiga bulan diperbolehkan, bukannya ini berarti Bank Bali tidak perlu menandatangani kerja sama rekap dengan SCB saat itu?”
Esoknya, isi perjanjian yang tidak kami ketahui itu baru di-fax ke kantor Bank Bali. Isinya: SCB akan menjadi strategic investor bagi Bank Bali; SCB menempatkan 20% biaya rekapitulasi dalam escrow account, sebesar US$50.000.000; SCB Akan melakukan due diligence selama tiga bulan, dan berhak mendapat akses ke seluruh data Bank Bali, dan melakukan wawancara pada semua personelnya; jika SCB mundur dari deal ini, Bank Bali wajib membayar ganti rugi sebesar US$2,5 juta. “Jadinya mereka bebas mundur tiap saat, dan supaya mereka tidak mundur, Bank Bali harus terus menyenangkan mereka dong?”
Menciptakan Keresahan
Selama proses due diligence, SCB tampak sekali sangat sengaja menimbulkan keresahan di dalam tubuh Bank Bali. Mereka, misalnya, memanggil satu persatu karyawan dan melakukan wawancara teror yang menimbulkan keresahan di ruang tertutup. Pertanyaan yang diajukan seperti siapa yang harus dipecat?
“Apa kamu mampu mengganti posisi si A atau si B? Kalau saya pecat bos kamu, kamu mau ga gantiin dia? Ini perbuatan sangat tidak pantas oleh orang yang baru melakukan tahap due diligence awal,” tutur Rudy.
Mereka secara tidak sopan mendatangi berbagai divisi Bank Bali, dan seenaknya memerintah ini itu pada karyawan, seolah mereka sudah yang punya. Mereka mengangkut bertroli-troli data rahasia Bank Bali keluar tanpa pemberitahuan yang jelas. Ini menimbulkan keresahan.
Perilaku tersebut sempat mendapat protes keras manajemen, dan akhirnya mereka minta maaf, namun terus mengulanginya secara sporadis. “Manajemen BB mencoba bertahan dan mentolerir karena selain ancaman BTO dari BPPN, kami juga tidak mau bayar US$2,5 juta sebagaimana yang disebut dalam perjanjian itu,” ujar Rudy.
Setelah mengacau selama tiga bulan, Rudy melanjutkan, tim SCB tiba-tiba menjadi bersahabat dan kembali mencoba membaiki pemegang saham Bank Bali dengan mengatakan due diligence berjalan lancar, kerja sama akan segera terealisir, dan semua akan berjalan normal. Sebagai tanda iktikad baik, SCB mengundang karyawan Bank Bali untuk menghadiri pesta peresmian kerja sama mereka, dengan dihadiri langsung oleh CEO SCB saat itu, yaitu Rana Talwar.
Selama makan malam itu, Rana Talwar terus berlaku ramah, namun diam-diam SCB mengirimkan rekomendasi BTO pada BPPN, dengan alasan yang mengada-ada dan langsung diterima oleh BPPN.
Besoknya para pemegang saham Bank Bali, dalam hal ini keluarga Ramli sudah dilarang menginjakan kakinya di Bank Bali. Dan SCB ditunjuk BPPN untuk mengelola sementara Bank Bali sampai proses rekapitulasi rampung.
“Di sini jelas sekali sebuah cara yang sangat terencana dan sistematis, untuk menusuk dari belakang Bank Bali, dan mengambil alihnya dengan biaya murah. Celakanya, perbuatan ini tampak sekali mendapat dukungan dari BPPN,” simpul Rudy.
Setelah SCB berkuasa, mereka kembali mengacau dengan memboroskan resource Bank Bali dengan menyewa rumah mahal, gaji setinggi langit. Konon, menurut Rudy, 60 tim SCB di Bank Bali gajinya lebih tinggi dari 6.800 karyawan bank ini. Tunjangan ekspatriat yang mahal, pesta-pesta mahal di hotel mewah, dan berbagai pemborosan lainnya, akhirnya mengundang kemarahan karyawan, berujung pada demonstrasi besar-besaran yang mengakibatkan SCB akhirnya ditendang dari Bank Bali.
Anehnya, setelah sekian banyak kasus yang terjadi, SCB masih diizinkan untuk membeli Bank Permata. Dengan harga di bawah biaya rekap pula. “Lebih busuk lagi, setelah perbuatan biadab yang mereka lakukan, mereka membeli Bank Permata dengan status kepemilikan yang tidak jelas, dan sumber dana yang tidak jelas juga. Mereka anggap apa negara ini? Siapa ultimate shareholder dari Bank Permata?” tanya Rudy.
Rudy mengingatkan kejahatan yang tidak ditindak cenderung diulangi, maka dari itu, ia mengatakan keluarga besar eks Bank Bali meminta kepada negara untuk menghentikan transaksi pengambilalihan Bank Permata oleh Bank Mandiri.

Sumber : Vibiznews
Rudy juga meminta harus diungkap siapa sesungguhnya dalang dari kasus Bank Bali. Siapa ultimate shareholder dari Bank Permata, yang begitu hebatnya meminjam tangan bank besar skala SCB sebagai kacungnya, juga mengatur-atur aparat negara, untuk turut dalam konspirasi busuk ini.
Kemudian setelah ditemukan, pemerintah harus memberikan hukuman seberat-beratnya agar memberikan efek jera dan juga efek takut bagi mereka yang mencoba mengulanginya di kemudian hari.