Sifat Kolonial RUU KUHP | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Tempo

Sifat Kolonial RUU KUHP

Ceknricek.com -- Ada dua makna kolonial dalam perundang-undangan. Pertama, sebuah Undang-Undang (UU) disebut bersifat kolonial, jika UU tersebut diciptakan pada masa penjajahan atau zaman kolonial. Pengertian ini merujuk kepada waktu lahirnya sebuah UU. Kendati banyak isi dari sebuah UU yang dibuat pada era kolonoal bersifat universal, tetapi tetap saja UU itu disebut UU kolonial. Contohnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). UU ini dikatagorikan UU kolonial karena dibuat pada masa penjajahan Belanda, padahal sebenarnya banyak ketentuan KUHP yang bersifat universal. Misalnya, sebagaimana norma universal, pembunuhan, pencurian atau perkosaan dalam KUHP juga merupakan tindakan kriminal

Makna kedua, sebaliknya, walaupun sebuah UU dilahirkan oleh pemerintah yang merdeka dan berdaulat, tetapi kalau UU itu mengandung jiwa kolonial, masih termasuk katagori UU kolonial. Makna kolonial disini, tidak dilihat dari kapan waktu UU tersebut dilahirkan, tetapi diukur dari apakah jiwa UU yang dilahirkan bersifat kolonial atau tidak. Artinya, meski dilahirkan di era paska kemerdekaan, jika jiwa UU itu sama dengan jiwa UU yang dilahirkan pada zaman kolonial, tetap mendapat cap UU kolonial. Contoh, jika isi UU mengatur penguasa tidak boleh dikencam atau dikritik, walaupun lahir di abad ke 21 sekalipun, tetap menjadi UU kolonial.

Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP kalau segera disahkan, memang lahir setelah Indonesia merdeka dan bahkan setelah reformasi. Walaupun demikian, jika diperiksa isinya, RUU KUHP tetap merupakan RUU bermakna kolonial. Masih banyak jiwa dari pasal-pasal RUU KUHP yang bersifat kolonial. Salah satu contoh yang paling kontroversial “ngototnya" para perancang RUU KUHP untuk tetap memasukan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden. Filosofi tetap dipertahankannya pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP sama sebangun dengan filosofi yang dipakai pemerintah kolonial: presiden sebagai simbol negara, merupakan sesuatu yang suci, dan oleh karena itu tidak boleh dianggap dihina atau dicemarkan oleh siapapun.

Sumber: Sindonews

Baca Juga: DPR Prioritaskan Rancang RUU Penyadapan dan KUHP

Pesannya jelas, jangan sekali-kali mengecam dan mengkritik presiden jika tidak mau menerima risiko masuk penjara. Pesan yang juga di dengung-dengungkan oleh para penjajah sebelumnya. Baik pada zaman kolonial maupun zaman kini, jiwa UU seperti ini menyulitkan tumbuhnya demokrasi.

Di sebagian besar dunia, penghinaan terhadap presiden sudah tidak lagi diklasifikasi tindak pidana, melainkan sudah dialihkan ke hukum perdata. Di Timur Leste saja, sebagai negara yang merdeka belakangan, penghinaan kepada presiden atau penguasa, sudah dimasukan ke dalam hukum perdata. Pilihan mengalihkan penghinaan terhadap presiden menjadi perdata sangat masuk akal. Jika penghinaan presiden ditempatkan sebagai perbuatan kriminal, seseorang yang dituduh menghina presiden, hampir tidak dapat meloloskan diri dari jerat penjara. Aparat hukum, pastilah berpihak kepada penguasa, terutama presiden. Dengan segala cara, orang yang menjadi terdakwa menghina presiden, dapat dipastikan masuk penjara.

Kendati penghinaan terhadap presiden dalam RUU KUHP sudah dijadikan delik aduan, tetapi dalam praktik sangat sulit aparat hukum tidak berpihak kepada presiden selaku pengadu. Perpindahan pasal penghinaan kepada presiden dari delik biasa ke delik pengaduan dalam RUU KUHP sejatinya dapat kita pandang sebagai upaya “penyelundupan” hukum pidana belaka.

Ancaman Terhadap Kemerdekaan Pers

Ketentuan ancaman pidana terhadap penghinaan presiden mudah dimanfaatkan oleh presiden petahana, siapapun orangnya, untuk membungkam lawan-lawan politiknya secara legal formal. Adanya ketentuan ini memungkinkan presiden melakukan pengaduan dan pasti pengaduan itu ditindaklanjuti oleh para aparat hukum dengan ujungnya orang diadukan masuk penjara. Bersaman dengan itu, walaupun dibantah oleh para perancangnya, dalam praktiknya pasal ini kelak juga bakal menjadi ancaman buat kemerdekaan pers. Berita dan laporan pers yang dipandang menyudutkan presiden akan dengan mudah diadukan sebagai penghinaan, padahal UU Pers dengan jelas menyebut terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor, bredel dan pelarangan siaran.

Baca Juga: Dianggap Masih Multitafsir, YLBHI Minta Penundaan RUU RKUHP

Sumber: Era Baru

Dengan begitu, penerapan pasal penghinaan terhadap presiden cenderung menciptakan peluang munculnya otoritarisme kekuasaan. Dalam kerangka inilah RUU KHUP soal penghinaan terhadap presiden dapat disebut berjiwa kolonial. Itulah sebabnya sangat beralasan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan pasal penghinaan terhadap presiden dari KUHP tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal itu, jika RUU KUHP yang lahir di era kemerdekaan, jika tidak mau tetap disebut KUHP kolonial, harus tegas "membuang” pasal-pasal yang berjiwa kolonial, terutama pasal penghinaaan presiden.

Sumber: Indonesia.go.id

Opini Bebas, Fakta Suci

Para perancang RUU KUHP perlu memahami, dalam negara merdeka orang bebas beropini. Seseorang tidak boleh ditangkap, ditahan apalagi dipenjara karena opininya, betapapun kerasnya opini itu. Salah satu indikator sebuah negara tidak bersifat kolonial ialah terdapatnya kemerdekaan beropini, termasuk terhadap presidennya sendiri. Mereka yang mengecam atau mengkritik presiden tidak boleh dikriminalisasikan, apalagi oleh presidennya sendiri melalui delik aduan. Jika RUU KUHP masih mempertahankan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden, tak pelak lagi RUU KUHP dapat diberi cap RUU KUHP kolonial.

Sumber: Istimewa

Baca Juga: Bamsoet: Penyempurnaan RUU KUHP Terus Dilakukan

Tidak adanya pasal penghinaan terhadap presiden tidak berarti orang dapat sesukanya menfitnah atau menyiarkan kabar bohong tentang presiden. Hal ini terkait dengan doktrin dalam hukum dan demokrasi, fakta bersifat suci. Artinya, siapapun bebas beropini tetapi semuanya tidak boleh berbohong dan tidak boleh mengubah fakta. Penyebaran informasi yang tidak sesuai fakta, atau dengan fakta yang sudah dimanipulasi, apalagi dengan kesengajaan dan niat buruk, sudah dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan kriminal. Menyerang seseorang, presiden atau bukan, dengan fakta bohong merupakan perbuatan tercela yang dapat diancam sanksi pidana. Dengan begitu, para perancang RUU KUP tidak perlu khawatir dibuangnya pasal penghinaan terhadap presiden akan menimbulkan kekisiruhan hukum. Walaupun pasal-pasal penghinaan terhadap presiden sudah disingkirkan, tetap masih ada benteng hukum yang membentengi presiden secara demokratis.

Ambigius

Dari draf RUU KUHP terbaru jelas terlihat pula sebenarnya para perancang RUU KUHP masih memiliki sikap yang ambigius. Di satu pihak ingin membuat dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana modern, tetapi pada pihak lain jelas masih ingin pula mempertahankan “nilai-nilai tradisional” seperti negara mencampuri kehidupan pribadi, memberi ruang ketidakpastian hukum melalui diberlakukannya hukum adat yang tidak limitatif, dan mengatur hal-hal yang bersifat mistik. Ambiugitas ini membuat RUU KUHP belum sepenuhnya berpijak pada hukum pidana modern.

RUU KUHP harus membongkar “semangat dan jiwa” undang-undang kolonial, bukan sekadar menukar baju tetapi isinya lebih kolonial dari zaman kolonial. Kita jangan terpesona oleh “baju” yang baru, tetapi lalai meresapi jiwanya yang masih kolonial.

BACA JUGA: Update Berita-Berita HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait