Ceknricek.com -- Aliansi masyarakat sipil, terdiri dari 11 lembaga masyarakat dan kampus, meminta penundaan pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), karena masih memuat pasal penghinaan dan penodaan agama. Ketentuan itu dianggap multitafsir dan bisa diterapkan secara diskriminatif.
Permintaan itu disampaikan dalam konferensi pers Delik Agama Diskriminatif, Tunda RUU KHUP, di Kantor YLBH, Jakarta Pusat, Selasa (2/7). Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi, Muhamad Isnur, mengkritik ketentuan Pasal 2 Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai menyimpang dari asas legalitas.
Berdasarkan draf RUU KUHP hasil rapat internal pemerintah 25 Juni 2019, Pasal 2 berbunyi, hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Fotografer : Ashar/Ceknricek.com
"Hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP menurut Pasal 2 ini tetap berlaku. Ini artinya menyimpangi asas legalitas," ujar Isnur. Ia menambahkan, ketentuan pasal tersebut membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif.
Hal yang sama diungkapkan Pratiwi dari LBH Jakarta. Menurut dia, pasal ini juga pernah dipersoalkan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. "Meskipun semangat pasal ini baik tetapi perlu diganti dengan kata yang tidak multitafsir," katanya.
Aliansi masyarakat sipil juga memandang penggunaan istilah penghinaan atau penodaan agama sudah tak lagi relevan. Berdasarkan Resolusi Dewan HAM 16/18 yang diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 2011, istilah penodaan agama disepakati diganti menjadi "memerangi intoleransi". Lagi pula, di forum internasional itu juga diketahui bahwa istilah penodaan mendapat penentangan dari berbagai negara. "Kata penghinaan sebaiknya diganti dengan siar kebencian untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan," kata Pratiwi.
Di samping istilah penghinaan dan penodaan agama dalam RKUHP ini, koalisi juga menilai lima delik hukum terkait agama yang berpotensi diskriminatif.
Pertama, Pasal 2 RKUHP yang dinilai memungkinkan hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP tetap berlaku. Hal itu menyimpang dari asas legalitas dan berpotensi membuka celah hukum seperti yang ada dalam perda-perda diskriminatif yang sudah ada.
Kedua, kalimat "Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama" yang dipakai sebagai judul Bab VII RKUHP dinilai menyalahi bahasa serta konsep. Koalisi menyebut agama adalah subyek hukum dan justru penganut agama yang seharusnya ditempatkan sebagai subyek hukum.
Ketiga, pasal-pasal yang memuat diksi yang berpotensi multitafsir. Koalisi menemukan potensi ini dalam Pasal 315, Pasal 316, dan Pasal 503.
Merujuk delik agama yang berpotensi diskriminatif ini, koalisi meminta DPR menunda rencana pengesahan RKUHP dan pembahasannya kembali dibuka dengan masyarakat.
Fotografer : Ashar/Ceknricek.com
"Kami meminta pengesahan RKUHP ditunda dan pembahasan dengan masyarakat terkait dibuka kembali dengan mengedepankan asas legalitas dalam hukum pidana secara tertib yang terdiri atas asas lex scripta, lex stricta, lex temporis delicti, lex certa serta semangat 'restorative justice' dan prinsip-prinsip hak asasi manusia," ujar Pratiwi.
Koalisi masyarakat sipil ini merupakan koalisi advokasi kemerdekaan beragama atau berkeyakinan yang terdiri dari beragam lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Institute Legal Resource Center (ILRC), Human Rights Watch Group, Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Pusad Paramadina, Gusdurian, Lakpesdam NU, Paritas, Wahid Foundation, dan INKLUSIF.