"Sip Ma Baba Mi" | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Enterpreneur.com

"Sip Ma Baba Mi"

Ceknricek.com -- Hal yang menyedihkan itu, pemerintah terlalu banyak membicarakan sesuatu yang di awang-awang. Sementara yang nyata di depan mata kita semua, tak kunjung ditangani dengan baik. Malah cenderung disia-siakan.

Keangkuhannya terlihat dari ketiadaan rasa terima kasih dan sikap hormat yang sepatutnya. Terhadap masyarakat yang sesungguhnya terbengkalai dari kewajiban yang diamanahkan kepada mereka untuk melayaninya. Meskipun telah memberi bermacam kontribusi. Seperti membuka lapangan kerja. Menggairahkan kegiatan ekonomi. Meningkatkan penerimaan pajak yang menjadi sumber pendapatan Negara.

Dan seterusnya. 

Saya akan menguraikannya melalui kasus sederhana yang saya temui Jumat sore kemarin. Semoga membuka mata dan hati aparat Negara dan pemerintah yang sesungguhnya hidup dari keringat rakyatnya. Membangun kesadaran dan sikap tahu dirinya. Sesuatu yang hanya mungkin terjadi jika mereka memiliki kecerdasan memadai, mampu berfikir sehat, dan berkenan mendahulukan hati nurani. 

+++

Jumat sore itu, saya menggunakan jasa taksi online. Dari Pondok Indah Mall ke Hotel Fairmont di kawasan Senayan. Supirnya mengendarai Daihatsu Xenia dan berasal dari Sumatera Utara. Sebab pada namanya tertera marga Sitinjak. 

"Sip Ma Baba Mi"
Sumber: Senayanpost.com

Sepanjang jalan kami ngobrol. Lalu saya maklumi jika sehari-hari dia juga bekerja sebagai pengemudi truk barang. Pada salah satu jaringan toserba terbesar di negeri ini.

Setiap hari dia dijadwalkan bekerja selama 8 jam. Untuk mengangkut sejumlah barang dari gudang perusahaan mereka. Ke outlet-outlet yang tersebar di kawasan Jabodetabek. 

Di perusahaan tersebut, Sitinjak memperoleh gaji yang setara dengan UMP DKI Jakarta, yakni sebesar Rp3,95 juta sebulan. Di luar tunjangan kehadiran Rp150 ribu yang diterimanya setiap minggu.

Meskipun pemerintah setiap tahun meninjau besaran upah minimum rata-rata (UMR). Peningkatan pendapatan yang diterimanya tetap tak sepadan dengan biaya hidup bagi dirinya sekeluarga. Apalagi ketika anak-anaknya mulai bersekolah. Maka ia perlu mengupayakan sumber lain sebagai tambahan. 

Kehadiran bisnis taksi online menjadi salah satu harapannya. Tabungan yang dikumpulkan selama ini, digunakan sebagai uang muka ketika membeli kendaraan yang kami tumpangi Jumat sore itu. Jumlah yang diserahkannya senilai Rp20 juta. Dengan angsuran Rp4,2 juta per bulan. 

+++

Sampai di sini, pemerintah perlu menyadari kontribusi yang telah diberikan Sitinjak kepada Negara. 

Pembelian kendaraan agar dapat digunakan Sitinjak sebagai taksi online, otomatis menjadi kontribusi pertama yang dilakukannya. Sebab pemerintah (pusat) telah menerima pajak atas transaksi yang dilakukannya terhadap penjual kendaraan. Yakni berupa PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPh (pajak penghasilan) pasal 22, masing-masing besarnya 10 dan 1,5 persen dari harga perolehan kendaraan.

Selain itu, di dalam jumlah harga yang disepakati Sitinjak atas pembelian kendaraannya tersebut, pemerintah (daerah) juga memungut Biaya Balik Nama Kendaraan Baru (BBN-KB) yang tak sedikit. Nilainya bervariasi antar daerah karena memang merupakan kewenangan mereka. Beberapa waktu lalu, Anies mengusulkan kenaikan tarifnya untuk DKI Jakarta, hingga 12,5 persen dari harga perolehannya.

"Sip Ma Baba Mi"
Sumber: kodebanks.net

Baca Juga: Hingga November, Realisasi Insentif Pajak Capai Rp804 triliun

Sitinjak juga harus membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Komponen ini harus dibayarnya setiap tahun. Besarnya bervariasi sesuai kebijakan masing-masing daerah. Beberapa bahkan menerapkan sistem progresif sesuai jumlah kendaraan yang telah tercatat dimiliki konsumen saat transaksi terjadi. DKI Jakarta menerapkan tarif 2% untuk kendaraan pertama yang terus meningkat hingga 10 % untuk kepemilikan kendaraan berikutnya.

+++

Kontribusi Sitinjak kepada Negara yang dinikmati pemerintah, karena dia ingin mengupayakan nafkah tambahan itu, sesungguhnya masih jauh lebih besar.

Gara-gara dia membeli Daihatsu Xenia itu, dealer kendaraannya mampu membukukan pendapatan. Setelah dipotong kewajiban terhadap pabrik seharga mobil yang dijual kepada Sitinjak, sebagian sisanya digunakan untuk membayar sewa gedung mereka. Sebagian lain untuk membayar gaji direksi hingga karyawan yang bekerja di sana. Membeli peralatan kantor, membayar listrik, dan berbagai kebutuhan operasional lain. Atas masing-masing transaksi itu, mereka akan membayar sejumlah pajak dan pungutan lain. Mulai pajak penghasilan badan, pajak penghasilan karyawan/orang pribadi, bumi dan bangunan, dan seterusnya. Hingga bermacam retribusi seperti lingkungan, parkir, hingga sertifikasi halal jika mereka berkenan dan merasa perlu. 

Dealer kendaraan itu, biasanya juga dilengkapi layanan bengkel dan penjualan suku cadang. Untuk melayani perawatan berkala maupun perbaikan kerusakan kendaraan Sitinjak di kemudian hari. Jadi setiap transaksi yang kelak dilakukan Sitinjak di sana -- menggunakan penghasilan yang dikumpulkannya dari pembayaran pelanggan seperti saya kemarin -- akan menghasilkan sejumlah pajak dan retribusi bagi pemerintah lagi. Atas kegiatan bengkel perawatan dan penjualan suku cadang resmi yang mereka selenggarakan.

+++

Pahala kebaikan Sitinjak kepada Negara semakin luas lagi. Gara-gara tabungannya tak cukup untuk membeli tunai. Maka dia perlu menggunakan lembaga keuangan untuk membiayainya. Sitinjak belum termasuk dalam jangkauan radar Departemen Koperasi dan Usaha Menengah Kecil yang kini dipimpin Teten Masduki. Sehingga dia tak termasuk dalam program bantuan yang diselenggarakan pemerintah kepada pengusaha kecil seperti dirinya. Seperti misalnya fasilitas kredit dengan bunga subsidi untuk meringankan beban usahanya. 

Maka Sitinjak terpaksa berurusan dengan lembaga keuangan yang seolah-olah menawarkan bunga rendah. Tapi jika dihitung dengan seksama -- termasuk biaya administrasi, suvey kelayakan, provisi, dan lain-lain -- ongkos (bunga) efektifnya justru bisa lebih dari 2 kali lipat tarif yang disebutnya sebagai bunga tetap yang terlihat kecil itu. 

Kesediaan Sitinjak menggunakan jasa pembiayaan tersebut, kemudian menyebabkan mereka mampu mengoperasikan usahanya. Lalu membayar berbagai pajak dan retribusi kepada pemerintah pusat maupun daerah. Seperti yang dilakukan pabrikan, dealer, dan bengkel perawatan kendaraan sebelumnya. 

+++

Kita selesaikan dulu urusan kebaikan yang dipersembahkan Sitinjak kepada bangsa dan Negara ini, terkait urusan mencari nafkah tambahan bagi keluarganya. 

Saat dia mengantar saya dari Pondok Indah ke Senayan kemarin, perusahaan aplikasi memotong dana pada rekening saya sebesar Rp31 ribu. Sebesar Rp2 ribu langsung dipotong untuk dibayarkan sebagai platform fee. Di dalamnya termasuk biaya untuk premi asuransi kepada Jasa Raharja. Lalu perusahaan aplikasi masih memotong lagi sekitar 20% lainnya untuk berbagai biaya mereka. Maka dari jumlah yang saya bayarkan itu, Sitinjak hanya menerima Rp23 ribu pada rekening pribadinya. 

Bayangkan berapa kali Rp2 ribu yang diterima hanya sebagai platform fee yang didalamnya termasuk premi Jasa Raharja. Perusahaan asuransi itu 100% dimiliki Republik Indonesia. Jika dalam sehari, kedua perusahaan aplikasi angkutan online -- taksi maupun ojek -- itu melayani 50 juta transaksi, jumlahnya mencapai Rp100 miliar sendiri, bukan? 

Jadi dalam setahun, setidaknya terkumpul Rp36,5 triliun yang siap dipajaki Negara. 

+++

Saya bertanya kepada Sitinjak. Mengapa dia tak kerja lembur saja di kantor?

Katanya, perusahaan dengan senang hati jika dia ingin lembur. Tapi ketentuan di sana, untuk setiap pengantaran di luar jam kerja, hanya dibayar Rp10 ribu. Jadi, mengoperasikan taksi online jauh lebih menguntungkan. Sebab, setiap pengataran barang bisa menyita 3-5 jam kerja. Sementara dari layanan taksi online yang dilakoninya kurang lebih 8 jam per hari, pendapatan kotornya sekitar Rp300 ribu. Dipotong bensin sekitar Rp75 ribu, dia masih mengantongi Rp225 ribu. Jika sebulan dia bisa mengoperasikan taksi online nya 25 hari, maka setidaknya dia harus menyisihkan Rp 168 ribu per hari. Artinya, masih bersisa sekitar Rp57 ribu.

Kini Sitinjak semakin perlu bekerja keras. Kebijakan perluasan wilayah pembatasan lalu-lintas kendaraan berdasarkan nomor terakhir ganjil atau genap, telah menyebabkannya tak leluasa melayani taksi online saat tanggal ganjil. Sebab, nomor kendaraannya berakhir dengan angka genap.

"Sip Ma Baba Mi"
Sumber: Istimewa

Tapi bagaimana seandainya kendaraan Sitinjak mengalami kecelakaan sehingga harus diperbaiki dan berada di bengkel selama beberapa hari? 

Sitinjak mungkin harus mengetatkan gaji diperolehnya sebagai supir angkutan barang di perusahaan jaringan toserba itu. Supaya dia tetap bisa membayar cicilannya tepat waktu. Sebab, asuransi Jasa Raharja yang preminya termasuk dalam Rp2 ribu platform fee yang dipotong perusahaan aplikasi, tak menanggung risiko itu. 

Sitinjak memang berjudi. Semoga keberuntungan dan nasib baik selalu menyertai beliau sehingga tak pernah ada halangan untuk mengoperasikan taksi onlinenya. Paling tidak bisa lancar membayar cicilan setiap bulan dan tak perlu berurusan dengan penagih hutang.

+++

Cobalah bayangkan. Demi mencari rezeki tambahan melalui layanan taksi online, Sitinjak merelakan Rp20 juta tabungan yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun. Dia lalu berjudi dengan berhutang pada lembaga pembiayaan untuk memperoleh kendaraan yang biaya cicilannya lebih besar dari gaji yang diperoleh tiap bulan sebagai supir angkutan barang. 

Keputusannya itu menyebabkan dia harus bekerja 16 jam sehari. 8 jam pertama di kantor jaringan toserba, sedang 8 jam lainnya untuk mrngoperasikan taksi online dengan harapan mampu melunasi cicilan dan dapat tambahan sekitar Rp50-60 ribu. 

Berapa yang segera diperoleh Negara atas keputusan mulia Sitinjak itu?

Jika Daihatsu Xenia yang dibelinya seharga Rp190 juta, maka jumlah PPN, PPh 22, dan BBN-KB yang dipungut di sana, tak akan kurang dari Rp30 juta. Rekening pemerintah pusat maupun daerah, selambat-lambatnya akan menerima "keuntungan tunai" dari PPN, PPh 22, dan BBN-KB yang ditanggung Sitinjak, 60 hari setelah dia melunasi uang muka dan menandatangani perjanjian cicilan. 

Bayangkan. 

Sitinjak mengorban Rp20 juta tabungan, berhutang, harus bekerja keras 16 jam sehari, 6 hari seminggu, selama 4 tahun. Sekedar untuk memperoleh pendapatan tambahan Rp50-60 ribu per hari. Serta harga jual kembali kendaraannya setelah lunas nanti yang mudah-mudahan bisa laku sekitar Rp80-90 juta. 

"Sip Ma Baba Mi"
Sumber: Facebook.com

Baca Juga: Ngapain Kerja, Kalau Pengangguran Digaji Rp7 Juta

Sementara pemerintah pusat maupun daerah menerima manfaat tunai di depan, lebih dari Rp30 juta. Belum lagi keuntungan lain dari berbagai bangkitan ekonomi, lapangan kerja yang tercipta, pungutan pajak, dan seterusnya.

Tapi kenapa pemerintah begitu teganya, membuat kebijakan-kebijakan yang menyebabkan Sitinjak kelimpungan, seperti ganjil-genap itu? 

Begitu juga Peraturan Menteri Perhubungan terkait keberadaan mereka yang sudah dibatalkan berulang kali dan selalu menuai protes itu. 

Tak perlu menjadi orang pintar untuk memahami ketidak hadiran pemerintah bagi mereka yang ingin melakukan investasi di negeri ini. Wajar saja tak satu pun relokasi industri Cina yang memilih Indonesia. Aneh kalau seorang Joko.Widodo yang sudah 5 tahun memimpin negeri ini, terheran-heran mendapatkan kenyataan itu. Apalagi sebagian menteri yang diangkatnya sekarang masih muka yang itu-itu juga. 

Jangankan investor dari luar. Rakyat sendiri seperti Sitinjak yang sudah mempertaruhkan segalanya dan berkorban begitu luar biasa saja, tak bisa dihargainya. 

Saya teringat umpatan opung-opung di lapo tuak dekat SMA Prayatna Medan sekitar tahun 1970-an dulu. 

Sip ma baba mi, katanya.

Ketika turun di lobi hotel Fairmont, saya bilang kepada Sitinjak, "Maaf lae, banyak kali cakap awak. Jangan bilang sip ma baba mi, ya".

"Hahaha, mauliate godang, pak. Betul itu semua. Kalau masih ada otaknya."

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait