Ceknricek.com -- Tentu tak ada yang keliru dengan jalan hidup seorang mantan pengamen di Medan dan seorang mantan buruh di Bandung yang menyulap nasib begitu mencengangkan. Bahkan, jika jalan pintas kesuksesan mereka bisa ditiru semudah membalik telapak tangan, pasti akan sangat meringankan tugas Menteri Tenaga Kerja yang sering ‘migren’ melihat angka pengangguran.
Masalahnya adalah jalan pintas mantan pengamen dan mantan buruh itu benar-benar amazingly amazing. Bahkan bagi standar pemain saham kawakan atau kampiun marketing sekalipun. Bayangkan saja, hanya dalam 2-3 tahun setelah banting setir dari profesi lama dan menggumuli online trading keduanya menjelma bak Raja Midas. Apapun yang mereka sentuh menjadi emas--eh, bukan, malah lebih dahsyat lagi—menjadi mobil supermewah, tas, sepatu, arloji, merek branded, hingga rumah mewah berkelas.
Jika ini gejala narsisisme dari orang kaya baru, masih tak terlalu berbahaya. Flexing hanya sebatas memantulkan mental disorder diri mereka sendiri yang tak peka dengan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia. Sayangnya, fenomena ini menyimpan hal lain yang lebih mengerikan. Flexing dibuat bukan cuma karena motif pribadi pelaku yang gemar ‘norak-norak bergembira’, melainkan sebagai bagian teknik persuasi terselubung ( covert persuation technique) yang sengaja dirancang dengan tujuan tersembunyi yang lebih berbahaya: menggiring publik agar terbius mimpi dan teler nalar. Sebuah cuci otak hedonistik dalam skala masif supaya terbentuk himpunan pengikut yang obsesif-kompulsif terhadap cuan. Bagaimana memperoleh untung sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Sejatinya ini manifestasi prinsip The 48 Laws of Power karya Robert Greene, sebuah buku yang menggemparkan Amerika Serikat dan menjadi ‘kitab suci’ favorit para napi dan selebritas dalam bergegas menuju takhta ketenaran dan kemakmuran lewat jalan pintas. Pada hukum ke-34 Greene memfatwakan, “Tampilkan diri bak raja jika ingin diperlakukan demikian ( Act like a king to be treated like one).”
Begitu meyakinkannya teknik ini dilakukan ‘Sultan Medan’ dan ‘Raja Bandung’ yang selalu tampil bak raja gemerlap, sehingga bukan hanya masyarakat awam—utamanya generasi milenial kaum rebahan--yang tersirap, bahkan pejabat negara pun secara mengagetkan ikut silap.
Pada awal Agustus 2021 atau dua bulan setelah pamer mobil mewah pertama, sang ‘Raja Bandung’ yang ingin membagikan 3000 paket sembako kepada kaum duafa, berhasil mendapat dukungan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Pekan berikutnya, sehari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-76, giliran Ketua MPR Bambang Soesatyo mengundangnya sebagai tamu istimewa di kanal Bamsoet Channel.
Sementara itu ‘Sultan Medan’ mendapatkan keistimewaan berbeda. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggamitnya untuk membuat sebuah lagu antikorupsi yang berjudul heroik “Lihat, Lawan, Laporkan”. Lagu itu diperkenalkan kepada publik juga di bulan Agustus 2021.
Sambutan hangat pejabat teras dan lembaga negara tak pelak ikut mengerek popularitas ‘Raja Bandung’ dan ‘Sultan Medan’. Citra ‘muda, kaya raya, rajin derma’ semakin tak terbendung. Angan-angan publik pun melambung. Proses cuci otak berjalan sempurna dan rampung. Muncul keyakinan publik bahwa ‘kalau mantan buruh dan pengamen bisa sukses sebagai crazy rich, mengapa saya yang punya pekerjaan lebih keren dan pendidikan lebih tinggi tidak bisa? Jangan-jangan kalau saya seriusi, saya bisa lebih tajir melintir lagi melewati para ‘sultan'? Sekarang waktu paling tepat mengikuti cara mereka berusaha."
Teler nalar massal membuat orang lupa melakukan DYOR ( Do Your Own Research). Mereka tak lagi ingat aksioma ‘ trust and verify’. Logika terjeblos pada kubangan WYSIWYB ( What You See Is What You Believe). Kehati-hatian tak dibutuhkan lagi karena “saya-lihat-dia-tampil-bak-raja-maka-saya-percaya-dia-raja”. Konten flexing adalah bukti nyata bahwa sukses jalur cepat itu valid adanya.
Teler nalar membuat publik--tak sedikit dari mereka kalangan terdidik--menjadi lebih dungu dari kawanan sapi perah yang cantik menarik. Mengapa lebih dungu? Sebab sapi perah masih mendapatkan asupan rumput terbaik, vitamin terbaik, kandang terbaik, lingkungan terbaik, agar bisa menghasilkan susu terbaik. Sementara kaum teler nalar tidak. Meski terus menguras tabungan, pinjam tambahan modal dari kiri-kanan, sampai melepas rumah dan kendaraan, namun tak kunjung menjadi ‘ The Next Sultan’.
Ada memang sedikit keuntungan yang bisa diperoleh pada waktu-waktu tertentu, namun dalam sekedipan mata semuanya lenyap menjadi kerugian yang menggila. Teler nalar membuat orang tak menyadari terperangkap jebakan ‘ pump dan dump’ yang dimainkan dalang opsi biner yang lihai merekayasa data dan angka.
Baca juga: Sultan, King dan Juragan (1)
Editor: Ariful Hakim