Tafsir Sesat Putusan Fidusia | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Tafsir Sesat Putusan Fidusia

Ceknricek.com--Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.2/PUU-XIX/2021 yang dibacakan pada 31 Agustus 2021 lalu, terkait Jaminan Fidusia yang diatur Undang-Undang No.42 Tahun 1999 yang telah memantik berbagai tafsir. Yang membuat miris, ada elemen publik baik media massa, organisasi perusahaan pembiayaan, beberapa guru besar hukum, atau lainnya telah merilis tafsir sesat dengan menginsinuasi bahwa Putusan MK tersebut telah melegalkan penyitaan obyek fidusia yang umumnya berupa kendaraan bermotor, baik roda dua, roda empat, atau jenis lainnya, tanpa perlu izin pengadilan. Padahal senyatanya putusan tersebut sama sekali tidak terkait dengan aksi penyitaan, melainkan hanya menyangkut ihwal eksekusi obyek jaminan fidusia.

Lingkup Pertimbangan Putusan

Sampai saat ini, telah ada tiga Permohonan Uji Materi (PUM) terhadap norma Pasal 15 ayat (2) berikut Penjelasan Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), konsekuensi paralelnya MK juga telah membuat tiga Putusan, yaitu Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, Nomor 19/PUU-XVIII/2020, terakhir Nomor 2/PUU-XIX/2021. Semua putusan tersebut secara mutatis mutandis dan berlanjut mempertimbangkan konstitusionalitas kekuatan eksekutorial sertifikat Jaminan Fidusia yang diatur Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia berikut Penjelasannya, sesuai materi PUM yang diajukan Pemohon.

Namun rangkaian putusan tersebut memang memuat perubahan pendirian konstitusional MK. Pada Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 MK berpendirian “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Pendirian MK ini bermakna bahwa eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia hanya dan harus melalui proses eksekusi oleh pengadilan.  

Sedangkan pada Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021, MK mengubah pendirian konstitusionalnya menjadi eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia melalui pengadilan hanyalah sebuah alternatif dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur vide Pertimbangan Putusan No.2/PUU-XIX/2021 butir 3.14.3.

Tafsir Sesat

Perubahan pendirian konstitusional MK dari Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang memerintahkan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus melalui pengadilan, menjadi eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia melalui pengadilan hanyalah sebuah alternatif sebagaimana termuat dalam Putusan No.2/PUU-XIX/2021 telah meruyak munculnya dua versi tafsir sesat di kalangan masyarakat, (1). versi tafsir yang menganggap penerima Jaminan Fidusia bebas mengeksekusi sendiri (parate eksekusi) Sertifikat Jaminan Fidusia. (2). Penerima Jaminan Fidusia berhak dan sah menyita kendaraan obyek jaminan fidusia manakala telah menunggak angsuran (wanprestasi), selanjutnya mengeksekusinya sendiri.

Kedua versi tafsir tersebut menurut original intent Putusan MK adalah sesat dan salah. Sebab, apabila dibaca secara integratif dan seksama, sebenarnya pendirian konstitusional MK dalam kedua putusan tersebut sebetulnya sama dan saling menguatkan. Namun, putusan No.2/PUU-XIX/2021 memang menegaskan adanya eksekusi tanpa harus melalui pengadilan secara bersyarat.

Secara substantif, Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, menormakan: (1). Eksekusi Jaminan Fidusia dapat dilakukan sendiri oleh pemegang jaminan fidusia apabila atau dengan syarat ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia. (2). Eksekusi jaminan fidusia harus melalui pengadilan apabila tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, dengan memenuhi segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Substansi norma Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tersebut sebetulnya dipertahankan oleh MK dalam Putusan No.2/PUU-XIX/2021. Namun cara MK merumuskan normanya memang berbeda, dengan menyelip dan menggunakan kata “alternatif” antara mekanisme eksekusi 1 dan 2. Selain itu, MK juga memberi hak seimbang untuk mengeksekusi kendaraan obyek jaminan fidusia, dapat diekskusi oleh kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia, dapat juga dilakukan oleh debitur sebagai pemberi jaminan fidusia. Sebagaimana bunyi pertimbangan “Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri.

Dengan demikian, adalah sangat sesat dan menyesatkan tafsir yang meruyak di masyarakat bahwa pemegang jaminan fidusia dapat mengeksekusi sendiri jaminan fidusia tanpa reserve, bahkan sampai menafsirkan pemegang jaminan fidusia berhak menyita kendaraan obyek jaminan fidusia.    

Eksekusi Bukan Penyitaan

Tafsir sesat ketiga menyangkut “penyitaan”. Ada pihak tertentu mengembangkan tafsir bahwa Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 memberi hak dan keabsahan kepada pemegang jaminan fidusia untuk “menyita” kendaraan obyek jaminan fidusia manakala debitur menunggak angsuran. Tafsir demikian sangat sesat dan keliru.

Sebab (1). Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 maupun No.2/PUU-XIX/2021 hanya menguji norma tentang eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia, sama sekali tidak membahas dan mempertimbangkan pengambialihan atau penyitaan kendaraan obyek jaminan fidusia. (2). Menurut hukum materiel maupun hukum acara, Eksekusi bukan atau setidaknya berbeda dengan Penyitaan. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan atau Perjanjian yang memiliki titel eksekutorial. Sedangkan Penyitaan adalah pengambil alihan penguasaan atas suatu obyek untuk kepentingan hukum, misalnya kendaraan sebagai obyek jaminan fidusia oleh pemegang jaminan fidusia dari debitur atau pihak lainnya. Dalam mekanisme dan teknis hukum, penyitaan atau sita (beslag) ada beberapa jenis, ada sita jaminan, ada sita eksekusi, ada sita barang bukti.

Namun dalam komunikasi kesehariaan, secara semantik masyarakat cenderung menyamakan makna kata eksekusi dengan penyitaan. Padahal dalam dimensi teknis hukum keduanya sangat berbeda. Penyamaan makna kata eksekusi dengan penyitaan ini juga menjadi faktor kesesatan dalam memahami putusan MK tentang fidusia.

Norma Konstitusional Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021

Senyatanya putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 tidak sempurna atau justru menambah masalah utamanya menyangkut dimensi yuridis dan teknis pertimbangan yang memberi hak kepada debitur untuk mengeksekusi sendiri obyek jaminan fidusia. Sebab, pertimbangan tersebut bukan saja dapat menjadi sumber silang sengketa lanjutan antara kreditur dengan debitur, lebih jauh dapat menjadi perangkap hukum terhadap debitur karena melakukan tindak pidana menjual barang obyek jaminan fidusia.

Oleh karena itu, seyogiyanya MK lebih hati-hati, cermat serta komprehensif dalam membuat pertimbangan hukum. MK mestinya makin tertantang untuk menelurkan putusan yang lebih berkualitas dan bernilai constitutionalprudence atau constitusional landmarking.

Suatu yang niscaya, haruslah dipahami bahwa Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 memang membolehkan kreditur sebagai   pemegang jaminan fidusia untuk mengeksekusi sendiri sertifikat jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan. Namun MK tidak memberi hak kepada kepada kreditur jaminan fidusia untuk menyita atau mengambil alih kendaraan obyek jaminan fidusia secara otoritatif mandiri.  

#Penulis adalah Dosen Pascasarjana Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-Undangan, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait