Target Baru, Kabinet Baru | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Detik.com

Target Baru, Kabinet Baru

Ceknricek.com -- Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 akan mencapai 5,2% hingga 5,5%. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61/2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2020.

Sedangkan, pertumbuhan ekonomi pada APBN 2020 diasumsikan mencapai 5,3% dengan pertumbuhan konsumsi domestik mencapai 5% dan investasi mencapai 6%. IMF dan World Bank pun sama-sama memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 5,1% dengan pertumbuhan konsumsi domestik 5,1% dan investasi 5% 

Target ini cukup moderat, namun tak mudah mewujudkannya. Soalnya, ekspor dan investasi Indonesia sepanjang tahun ini tertekan. Pada kuartal II/2019, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,05%. 

Target Baru, Kabinet Baru
Sumber: BPS,Kemenkeu - Litbang KJ/and

Indonesia masih akan menghadapi beberapa risiko ke depannya. Pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan masih relatif rendah, yakni hanya 3,6% pada 2020. Hal ini menyebabkan stagnasi pertumbuhan volume perdagangan dan turunnya harga komoditas di pasar dunia.

Dua komoditas ekspor Indonesia yakni CPO dan batu bara diproyeksikan mengalami stagnasi. Harga CPO bakal dipengaruhi oleh berlebihnya pasokan di dunia. Kondisi ini diiringi turunnya permintaan negara-negara Eropa atas CPO serta adanya penerapan tarif atas CPO dari India. 

Ketidakpastian perang dagang juga bakal memperlambat investasi, mengganggu supply chain, serta memperlambat produktivitas pada level global. 

Beberapa faktor lain seperti volatilitas ekonomi di beberapa negara berkembang, kebijakan fiskal di Italia, tidak tercapainya kesepakatan Brexit, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dapat memicu meningkatnya sentimen negatif investor ke depan. 

Level Domestik

Selain tantangan dan risiko global, masih ada beberapa faktor dari level domestik yang masih membayangi perekonomian Indonesia pada 2020.

Pertama, pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi hingga saat ini masih stagnan karena menurunnya pertumbuhan ekonomi dari sektor potensial serta tidak berjalannya transformasi struktural. 

Hal ini disebabkan oleh regulasi yang tumpang tindih. Penerimaan pajak yang belum memadai. Kualitas infrastruktur energi dan konektivitas yang masih rendah. Rendahnya kualitas SDM dan produktivitas tenaga kerja. Lalu, intermediasi sektor keuangan yang rendah dan pasar keuangan yang dangkal.

Target Baru, Kabinet Baru
Sumber: BPS,Kemenkeu - Litbang KJ/and

Baca Juga: Apa yang Terjadi Ketika Sri Mulyani Lakukan Austerity Policy

Kedua, defisit neraca trasaksi berjalan atau current acount deficit (CAD) yang meningkat timbul dari tidak berkembangnya industri manufaktur. Hal ini pada akhirnya turut memberikan dampak pada kinerja ekspor. 

Ekspor Indonesia masih didominasi oleh ekspor komoditas, tidak berbeda dengan periode 40 tahun yang lalu. Defisit transaksi berjalan juga dipicu oleh defisit neraca migas dan neraca jasa.

Ketiga, tahun transisi pemerintah diproyeksikan akan memperlambat realisasi belanja pemerintah pada masa awal pemerintahan.

Terakhir, kebijakan moneter dan likuiditas perbankan masih ketat. Peningkatan suku bunga dan normalisasi kebijakan moneter AS berpotensi memberikan dampak pada perlambatan investasi. 

Selain itu, pertumbuhan kredit perbankan masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sehingga memperketat likuiditas perbankan.

Kabinet Baru 

Semua itu adalah PR anggota kabinet yang baru. Karena itu, kabinet baru, terutama menteri bidang ekonomi, mesti memiliki kebijakan efektif dalam jangka pendek dan tidak hanya jangka panjang, agar mampu mengantisipasi ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, meminta dalam 100 hari pertama pemerintahan, Jokowi-Ma'ruf mesti memastikan terjaganya daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi domestik tidak semakin melambat. 

Untuk itu, pemerintah perlu kembali mengkaji rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan rencana pencabutan subsidi listrik kelompok 900 VA.

Target Baru, Kabinet Baru
Sumber: Kumparan

Tahun ini, konsumsi domestik menunjukkan adanya tanda-tanda perlambatan dengan tertekannya perolehan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terkontraksi 6,47% (yoy) pada Agustus 2019. Kenaikan-kenaikan itu akan menggerogoti konsumsi dan ini akan berdampak pada produksi. Penerimaan PPN akan turun dan produksi dari sektor industri manufaktur juga akan turun. 

Apabila daya beli masyarakat dijaga, bisa jadi pemerintah tidak perlu memberikan insentif perpajakan seperti super deductible tax atas vokasi dan riset yang masing-masing mencapai 200% dan 300% dari pendapatan bruto pada tahun depan.

Jadi, fokus pemerintah ke depan perlu mendorong konsumsi. Perlu ada belanja yang lebih besar dan insentif pajak yang besar. Memang, konsekuensinya defisit melebar dan utangnya bertambah. Namun pemerintah sesungguhnya masih memiliki ruang untuk terus mendorong defisit anggaran hingga 3% dari PDB dan juga meningkatkan rasio utang hingga 60% dari PDB.

Pemerintah hingga saat ini masih bermain aman dengan menjaga defisit di bawah 2% dari PDB dan menjaga rasio utang di bawah 30% dari PDB. 

Baca Juga: HIPMI Apresiasi Pidato Jokowi yang Dinilai Prioritaskan Soal Ekonomi

Tim ekonomi harus menyiapkan kebijakan jangka pendek quick win untuk memperkuat kinerja ekspor nonmigas. Salah satu caranya adalah memperluas pasar ekspor dan tidak hanya mengandalkan pasar ekspor China.

Selain itu, mereka juga perlu mengurangi konsumsi impor barang final dengan cara meningkatkan permintaan terhadap barang final produksi dalam negeri yang dapat didorong dengan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Proyek pembangunan infrastruktur menjadi stimulus ekonomi karena membuka lapangan kerja dan menggerakkan sektor ekonomi riil, termasuk bagi perekonomian di daerah. Dengan begitu, kebijakan ekonomi dapat berjalan inklusif ke seluruh lapisan masyarakat.

Mulai dari bandara sampai jalan tol yang utilitasnya masih rendah bisa dioptimalkan, sehingga biaya logistik bisa turun ke bawah 20%. Janji pengembangan sumber daya manusia (SDM) pun bisa dilakukan secara paralel. 

Target Baru, Kabinet Baru
Sumber: Merdeka

Kebijakan fiskal yang tepat sasaran dan mengungkit daya beli sangat diperlukan dalam rangka melengkapi pelonggaran moneter yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor global dan domestik masih membayangi perekonomian Indonesia tahun depan. 

Lima arahan strategis dari Jokowi dalam pidato pelantikannya, sudah menjawab gambaran besar permasalahan ekonomi di Indonesia. Beberapa yang menjadi prioritas adalah masalah daya saing sumber daya manusia (SDM). Selain itu juga ada koordinasi kebijakan dan juga permasalahan dalam mengembangkan industri manufaktur. 

Adapun yang menjadi tantangan dalam 5 tahun ke depan adalah menurunkan catatan tersebut dalam aturan dan kebijakan teknis pada setiap kementerian atau lembaga terkait. Di samping itu, agar fokus maka arah strategis ini perlu diturunkan ke dalam target atau ukuran spesifik yang bisa diukur setiap tahunnya selama 5 tahun ke depan.

BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait