Tempat Jatuh Lagi Dikenang.... | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Tempat Jatuh Lagi Dikenang....

Ceknricek.com -- "Sekitar 4-juta orang Indonesia melepaskan kewarganegaraan mereka”, begitu bunyi sebuah laporan media terbitan Jakarta belum lama berselang.

Pantaskah? Keterlaluankah?

Tepuk dada tanya selera. Adalah hak asasi setiap manusia untuk memilih kewarganegaraannya.

Barangkali memang ada perbedaan antara kewarganegaraan dan kebangsaan.

Kewarganegaraan barangkali adalah pilihan dan jasad semata – kasarnya tempat tinggal tanpa harus bolak-balik memperbaharui izin tinggal, sementara kebangsaan adalah perasaan yang melekat pada kalbu, yang terlahir bersama setiap diri. Jadi bisa saja seseorang yang dilahirkan di Indonesia, yang kedua orang tuanya juga lahir di Indonesia dan sama sekali tidak pernah ke luar negeri, ketika mendapat kesempatan tinggal di sebuah negara asing kemudian menjadi warganegara tempat tinggalnya itu, meski pun jiwanya, perasaannya, pandangannya, nilai-nilainya, masih tetap saja Indonesia. Namun demi alasan-alasan kepraktisan melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Sebagaimana dikemukakan salah seorang Indonesia yang kemudian menjadi warganegara Singapura, “Demi kemudahan bisnis, saya memutuskan untuk menjadi warganegara Singapura”.

Apakah orang seperti ini bisa dikatakan berkewarganegaraan B namun tetap berkebangsaan A – aslinya?

Mugkin kebangsaanlah yang dimaksudkan oleh pujangga ’45 Chairil Anwar dalam sajaknya “Persetujuan Dengan Bung Karno”, khusus kalimat-kalimat berikut:

“Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh.”

Kemendarah-dagingan. Sesuatu yang tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan.

Namun, apabila seorang warga Indonesia membusungkan dadanya dan membanggakan kemerah-putihannya, maka ia cenderung dicemooh “sok nasionalis atau sok patriotis”, oleh kebanyakan orang Indonesia lainnya.Mungkin karena ada kecurigaan, paling tidak sangkaan, bahwa kebanyakan pengakuan seperti itu hanya buah bibir semata. Bukan terlahir dari lubuk hati sanubari. Tidak tulus.

Orang Inggris paling pintar menyembunyikan “sok-nasionalis- sok-patriotis”-nya. Malahan mereka suka mencemooh orang lain yang berapi-api semangat kebangsaannya, sebagai “chauvinist, jingoist’. Dikisahkan suatu kali Menteri Luar Negeri Prancis Talleyrand pernah menanyakan kepada tokoh Inggris

Lord Acton:

“Lord Acton, sekiranya anda bukan orang Inggris, maka anda ingin jadi orang apa?”

Jawab Lord Acton?

“Tentu saja saya ingin jadi orang Inggris!” kata Lord Acton dalam jawaban yang penuh sentilan, sekaligus mencerminkan kebanggaannya menjadi orang Inggris.

Pujangga Inggris Sir Walter Scott pernah menulis kalimat-kalimat berikut.

“Breathes there the man with soul so dead

Who never to himself hath said,

This is my own, my native land!”

Yang artinya kira-kira:

“Apakah ada manusia yang masih bernafas tapi telah padam jiwanya

Yang tak pernah mengaku pada dirinya

Inilah tanah tumpah darahku!”

Sekarang ini terdengar agak sumbang apabila ada yang menggembar-gemborkan bahwa “Indonesia adalah bangsa yang besar. Indonesia adalah bumi yang kaya raya.”

Jelas, ini disebabkan oleh ulah banyak pejabat/politisi yang kemudian terungkap sebagai penjarah kekayaan rakyat Indonesia. Berlagak sebagai pejuang, namun berlaku sebagai penyamun.

Seorang pejuang dalam Revolusi Amerika, Nathan Hale, ketika akan digantung oleh Inggris mengatakan:

“Yang saya sesalkan untukmu bahwa saya hanya punya satu nyawa untuk disumbangkan kepada nusa dan bangsa”.

Ungkapan-ungkapan seperti di atas sungguh sangat menggugah dan terasa syahdu, mengharukan, menyentuh, menggelorakan darah dan semangat, yang sama sekali tidak terasa janggal dan bukan omong kosong sekadar untuk menutupi kebobrokan sikap dan akhlaq.

Menjelang pertempuran laut “The Battle of Trafalgar” dalam abad ke-19, Laksamana Inggris Horatio Nelson, menyampaikan pesan kepada anak buahnya dengan kata-kata sederhana:

“Inggris menghendaki agar setiap orang (prajurit) melaksanakan tugasnya”. 

Hanya itu, dan akhirnya Prancis kalah dan pupuslah segala cita-cita Napoleon untuk menaklukkan Inggris.

Konon seorang ibu (Inggris) pernah memberi nasihat berikut ini kepada putrinya yang akan dinikahkan dengan lelaki yang tidak dicintainya:

“Sudahlah ‘nak, nanti tutup saja matamu dan ingat hanya Inggris dalam pikiranmu.”

Seakan segala duka dan nestapa niscaya akan terusir dengan hanya mengingat Inggris.

Kalau kita menelaah kembali pidato-pidato pemimpin Inggris dalam Perang Dunia Kedua, Sir Winston Churchill, kita akan merasakan ketulusan dari ajakannya untuk melawan Jerman di mana saja – “di pantai, di ladang, di bukit di jalanan, di mana saja. Kita sekali-sekali tidak bakalan menyerah.”

Dan imbalannya?

Tidak lebih dan tidak kurang dari sekadar: “Darah, kerja berat, air mata dan keringat”.

Tidak ada janji-janji muluk berupa posisi empuk yang berlimpah dengan uang dan kesempatan.

Kenapa mereka bisa berjuang tanpa pamrih? Karena rasa kebangsaan yang sangat tebal.

Kemampuan dan kerelaan berjuang tanpa pamrih itu terlihat kembali dalam perlawanan Inggris terhadap Argentina dalam kasus Pulau Falklandia/Malvinas (1982).

Adakah rasa kebangsaan yang membuat seseorang rela berkorban tanpa mengharapkan imbalan melebihi dari yang telah diatur dan disepakati? Seperti laskar rakyat ketika Indonesia melawan penjajah Belanda. Ataukah budi pekerti, akhlaq yang jitu, rasa malu pada Tuhan, belas kasihan pada yang kurang mampu, cinta tulus pada tanah air yang mendasari semangat perjuangan (rasa kebangsaan) seperti itu?

Apa yang mendorong banyak pemuda Australia di bawah umur untuk berdusta dan mengaku telah “dewasa” agar dapat masuk menjadi tentara dalam Perang Dunia Pertama yang pada halnya berkobar ribuan kilometer dari benua ini? Panggilan tugas? Kepatuhan pada Inggris yang dianggap sebagai kiblat pada waktu itu? Keinginan untuk bertualang meski itu sekaligus berarti menyabung nyawa? 

Kalau saja semangat ini dapat diinfuskan ke dalam “zat dan urat” para politisi kita, khusus mereka yang akan mendapat kepercayaan rakyat setelah 9 April 2014 (pemilu legislatif) maka niscaya rakyat Indonesia yang sudah terlalu sabar menanti, akan terbela dan tertingkatkan nasibnya.

Rasa kebangsaan menyambungkan rasa dan jiwa korsa.

Kewarganegaraan bisa hanya sebatas pragmatisme alias “kampung geografis bukan akar spiritual”.

Mungkin inilah yang kini mendorong gencarnya pembahasan mengenai kemungkinan dwi-kewarganegaraan bagi orang Indonesia.

Bagaimana pun orang tua-tua kita mengajarkan agar kita pandai-pandai membawa diri, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Biar sudah bukan warganegara Indonesia lagi namun kalau sampai berbuat kejahatan maka niscaya yang ikut tercoreng keningnya adalah negara asal,bangsa, sedangkan kalau sampai berprestasi maka yang akan dapat nama adalah negara “kampung geografis”-nya. Meski kewarganegaraan sudah diganti harap jaga citra kebangsaan asli. Wallahu a’lam.

*Penulis Nuim Khaiyath


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait