Terkenang Pak Mahar | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Terkenang Pak Mahar

Ceknricek.com--Pasca geger meme Jokowi: the King of Lip Service yang diposting oleh BEM UI di twitter mereka (26-6-21), orang jadi terkenang pada Prof Mahar Mardjono, rektor UI dua periode pada tahun 1975-an. Banyak yang lantas mengingat kembali suasana kemahasiswaan di UI saat beliau memimpin kampus ini. Dua mantan ketua DMUI, Dr Dipo Alam dan Prof Lukman Hakim saat diwawancarai di channel Youtube, menyajikan kilas balik pengalaman mereka memimpin mahasiswa dan hubungan dengan pimpinan kampus pada masa itu. Keduanya mengungkapkan suasana yang bagaikan langit dengan bumi bedanya dengan apa yang terjadi di UI sekarang.

Pasalnya, dalam hitungan jam setelah postingan meme tadi, beredar surat panggilan Direktorat Kemahasiswaan UI kepada 10 pengurus BEM UI untuk dimintai keterangan pada hari Minggu, 27 Juni 2021, jam 15.00 sore. Kesigapan ini mengingatkan publik pada kecepatan penegak hukum memproses tersangka. Orang seakan tersentak, beginikah cara UI memperlakukan pimpinan mahasiswanya jika mengkritik pemerintah?

Menurut kepala biro humas UI, Amelita Lusia, pemanggilan tersebut sebagai langkah urgen akibat permasalahan yang timbul sehari setelah postingan BEM UI mulai ramai dibicarakan.

"Pemanggilan ini adalah bagian dari proses pembinaan kemahasiswaan yang ada di UI," katanya.

Dalam keterangannya yang dimuat Kompas.com, Minggu (27/6/2021), ia menyebut yang dilakukan oleh BEM UI bukan lah cara menyampaikan pendapat yang sesuai aturan yang tepat, karena melanggar beberapa peraturan yang ada. Seusai memenuhi panggilan itu, ketua BEM UI  Leon mengungkapkan bahwa mereka diminta untuk mencabut meme tersebut, dan permintaan itu mereka tolak.

Mengapa Pak Mahar?

Jawabnya, dialah rektor bertangan dingin yang dengan mulus memulihkan keadaan di UI kembali normal pasca situasi "meriang" selepas Malari. Masalah yang dihadapi kala itu sungguh berat. UI dengan puluhan ribu mahasiswanya harus berlangsung terus dengan kegiatan belajar-mengajar yang tak boleh terganggu.

Dalam wawancara di channel Youtube, Hersubeno Point, mantan ketua DMUI 75-77, Dipo Alam mengungkapkan dijaman dia, bahkan rektor UI Prof Mahar menyertai delegasi DMUI menemui Jaksa Agung Ali Said untuk memperjuangkan pembebasan sejumlah mahasiswa yang sekian lama ditahan dan tidak diadili, akibat peristiwa Malari 1974. Malah ada ucapan Pak Mahar, bahwa kalau dia dan mahasiswa takut dalam berjuang, lebih baik memotong burung masing-masing. Sungguh suatu sikap yang luar biasa, mengingat situasi ketika itu.

Memang, oleh mahasiswa dan civitas akademika UI, Pak Mahar dikenang sebagai seorang yang pemberani, konsisten, dan melindungi mahasiswanya. Ia konsisten dengan posisinya sebagai seorang pendidik yang memahami mahasiswanya, ketimbang sebagai seorang aparatur negara di kampus yang dipimpinnya.

Padahal kalau diingat kembali, periode ia menjadi rektor, situasi UI sedang "rawan" karena habis terjadinya Malari. Namun di wajah dan pembawaan sang rektor, tak tergambar kepanikan. Dia tetap tenang mengatasi masalah yang dihadapi. UI tetap beraktifitas dan perkuliahan berlangsung sebagaimana biasanya.

Itulah barangkali yang menyebabkan di UI pada zaman itu tidak ada panggilan urgent (di hari minggu pula) kepada mahasiswa untuk menghadap direktorat kemahasiswaan.

Jalan Terus!

Tentang Prof Mahar, saya pun punya kenangan juga. Ada beberapa kali berbincang-bincang dengan beliau, dalam kapasitas sebagai ketua biro penerangan DMUI dan urusan koran kampus Salemba. Di ruang kerjanya yang amat sederhana (untuk seorang rektor yang dosen-dosennya banyak jadi menteri ketika itu) kami berdialog berdua saja. Sambil bercerutu, kurang lebih dia bertanya: "Zul, apa topik yang hangat sekarang ?". Beliau minta saya mengikhtisarkan apa isu-isu mahasiswa yang sedang hangat dibicarakan di media. Lalu saya pun menjelaskan apa yang beliau minta. Mungkin juga karena masa itu saya sering menulis di rubrik kemahasiswaan koran Sinar Harapan dan Berita Buana.

Suatu hari saya minta izin akan melaksanakan kongres nasional pers mahasiswa (IPMI) di Lubuk Pakam, Sumut. Ketika itu saya menjadi ketua panitia nasional kongres tersebut. Kata Pak Mahar: "Jalan terus! Pangkopkamtib sudah bilang, mahasiswa harus aktif". Begitulah beliau menyemangati kami mahasiswanya. Memang, belum lama berselang Pangkopkamtib Sudomo berceramah di student center UI, Salemba, dan menegaskan harapannya agar mahasiswa jangan apatis.

Dengan Pak Mahar, mahasiswa merasakan kedekatan. Tidak terbersit sedikitpun kesan bahwa beliau itu mementingkan citra, atau berancang-ancang mengejar jabatan yang lebih tinggi. Orangnya lurus dan jujur. Beliau tegas, namun teduh. Dalam ungkapan Betawi, "Kagak ade tampanglah"  beliau mau merangkap jadi komisaris BUMN. Pendeknya, jauh panggang dari api!

Ada kisah, suatu hari beliau sampaikan kepada Pak Harto, bahwa masa jabatan kedua sebagai rektor sudah selesai. Pak Harto malah menanggapinya dengan bertanya, apakah kiranya tidak bisa dilanjutkan lagi. Kata Pak Mahar, peraturan membatasi hanya dua masa jabatan.

Percakapan itu pun berhenti. Saya terbayang, kalau orangnya bukan Prof Mahar, apalagi andai itu terjadi dizaman sekarang, bukan mustahil muncul nafsu untuk justru mengubah peraturan supaya tetap bisa menjabat lagi.

Sungguh beruntung kami punya rektor seperti beliau. Itu sebabnya, suasana UI pun ketika itu tetap adem. Perkuliahan berlangsung normal. Terasa interaksi pengajar dan mahasiswa yang penuh respek. Mahasiswa belajar dengan sungguh-sungguh, para pengajar mendidik kami dengan dedikasi penuh. Syukurnya lagi, di zaman itu pun tidak ada dosen merangkap buzzer yang kerjanya mencari-cari aib untuk dijual keluar.

*Penulis adalah ketua biro penerangan Dewan Mahasiswa UI, 1975-77.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait