Turki Mengembalikan Semangat Mehmed Al-Fatih | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Turki Mengembalikan Semangat Mehmed Al-Fatih

Ceknricek.com -- Kesan heroik terasa dalam khotbah Ali Erbas di mimbar masjid Hagia Sophia, Jumat (25/7/20). Lima kali Kepala Direktorat Urusan Agama Turki itu menyebut nama Sultan Mehmed Sang Penakluk, dalam khotbah sekitar setengah jam.

"Kami ingin menunjukkan kepada Mehmed Sang Penakluk tentang sikap Hagia Sophia yang hebat ini, lima abad yang lalu, sebagai contoh bagi dunia dan menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk mengatakan hentikan! untuk wacana anti-Islamis seperti itu, tindakan, dan segala jenis penindasan," kata Ali Erbas dalam khotbahnya.

Selama sekitar dua jam, sejumlah akun Youtube menyiarkan langsung, sholat Jumat untuk pertama kali di Hagia Sophia setelah 86 tahun masjid ini berubah fungsi menjadi museum.

Sejak pagi, umat Islam memenuhi lapangan Hagia Shopia. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, sebelum sholat Jumat, terlihat membaca surah Al-Fatihah. Erdogan hadir dua jam sebelum sholat Jumat.

Umat Islam Turki sangat mempersiapkan sholat Jumat bersejarah ini. Gubernur Istanbul Ali Yerlikaya, beberapa hari lalu meminta warga yang ingin salat Jumat, datang lebih awal untuk menghindari antrean, dengan membawa masker, sajadah, dan menjaga jarak. Jamaah juga diminta tidak membawa ransel dan tas, agar memudahkan pemeriksaan. 

Sejumlah ruas jalan dan jalur kereta api Hagia Sophia ditutup sebelum dan selama salat Jumat. Dari pemantauan televisi, jamaah melimpah di ruas-ruas jalan, selain di halaman masjid. Mereka menerapkan protokol Covid-19.

Baca juga: Erdogan Resmi Tetapkan Hagia Sophia Sebagai Masjid

Hagia Sophia, seperti ditulis Ensiklopedia Britannica, didirikan sebagai kuil pagan pada 325 Masehi, atas perintah Kaisar Konstantinus I. Pada 360 Masehi, Konstantius II menjadikan bangunan ini sebagai gereja Ortodoks. Pada periode Binzantium, Hagia Sophia menjadi katedral.

Sultan Muhammad (Mehmed ll) -- yang dikenal juga dengan nama Muhammad Al-Fatih dari Dinasti Usmaniah -- menaklukkan Konstatinopel pada 29 Mei 1453 dalam dua bulan pengepungan. Berakhirlah kekuasaan Kekaisaran Romawi selama 1.100 tahun. Kota Konstatinopel kemudian diubah menjadi Istanbul.

Hagia Sophia kemudian menjadi masjid selama 482 tahun. Ornamen semasa Romawi tetap dipertahankan. Ketika Turki berubah menjadi negara sekuler pada masa Presiden Kemal Ataturk, Hagia Sophia berubah menjadi museum, 1934. 

Turki Mengembalikan Semangat Mehmed Al-Fatih
Sumber: Istimewa

Pada 10 Juli 2020, pengadilan Turki mencabut dekrit Kabinet 1934 itu dan membuka jalan untuk menggunakan Hagia Sophia (Aya Sofia) kembali menjadi masjid. 

"Pembukaan kembali Hagia Sophia untuk beribadah adalah bukti bahwa peradaban Islam, fondasinya adalah tauhid, blok bangunannya merupakan pengetahuan, dan semennya adalah kebajikan, yang terus meningkat, terlepas dari semua kelemahan," kata khatib Ali Erbas.

Erbas melanjutkan, permusuhan terhadap Islam meningkat setiap hari, ada masjid di berbagai belahan dunia, diserang, ditutup dengan kekerasan, dan bahkan dibom dan dihancurkan. Ratusan juta Muslim menghadapi penindasan.

"Kita sebagai orang beriman menganggap Hagia Sophia sebagai tujuan mulia dan kepercayaan yang sakral, kita perlu bekerja untuk memastikan bahwa belas kasih, toleransi, kedamaian, ketenangan, dan kebajikan berlaku di seluruh dunia. Inilah alasan mengapa Nabi Muhammad (SAW) dan nabi-nabi lainnya diutus, yang berarti kedamaian, keselamatan, dan salam," kata Ali Erbas. 

Jamaah sholat Jumat, termasuk Erdogan dan ribuan lainnya di dalam masjid maupun di lapangan, menyimak kalimat-kalimat bernas khotbah bersejarah ini. Suasana hening.

Penakluk Berusia 21 Tahun 

Setelah sholat Jumat di Hagia Sophia, Presiden Erdogan ziarah ke makam Sultan Muhammad  (Mehmed ll) di Masjid Fatih. “Hagia Sophia akan terus melayani semua pemeluk keyakinan sebagai masjid dan akan tetap menjadi tempat warisan budaya untuk semua manusia,” kata Erdogan, seperti dikutip Reuters. 

Dua bulan lalu, Erdogan juga ziarah di makam ini, memperingati 567 tahun penaklukkan kota Konstantinopel oleh Sultan Mehmed ll, 29 Mei 1453. 

Dua bulan lalu, saya sengaja menonton enam seri film "Rise of Empires: Ottoman". Film yang disutradarai Emre Sahin ini bercerita tentang sejarah penaklukan kota Konstantinopel, kota utama Romawi Timur. Sejarah masa kecil Sultan Mehmed dan semangat yang tidak patah. 

Sultan Muhammad (Mehmed) ll, sejak kecil sudah berniat menaklukkan Konstantinopel, yang berkali-kali gagal dilakukan para pendahulunya. Ketika Sultan Murad ll, ayahnya wafat, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah -- Barat menyebutnya Kesultanan Ottoman -- sepenuhnya dipegang pemuda berusia 19 tahun itu.

Inilah saatnya Mehmed mewujudkan impiannya merebut Konstatinopel. Saat itu kekaisaran ini dipimpin Konstantinus XI, yang juga Kaisar Byzantium ke-57. Hampir selama Abad Pertengahan, Konstantinopel yang dibangun pada 11 Mei 330 itu menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi Timur -- kota terbesar dan termakmur di Eropa. 

Kesultanan Utsmaniyah (Devlet-i ʿAliyye-yi ʿOsmâniyye) didirikan Sultan Usman pada 27 Juli 1299 di kota Bursa, Anatolia. Ayah Usman adalah kepala wilayah dalam Kesultanan Seljuk. Ketika terjadi konflik politik di kesultanan tersebut, Usman membentuk kesultanan sendiri dan meluaskan wilayah kekuasaannya. Mehmed ll merupakan sultan ke-13 dari dinasti Usman (Ottoman). 

Setelah memegang kekuasaan, Mehmed ll (30 Maret 1432-3 Mei 1481) merancang strategi penaklukkan. Muhammad al-Fatih -- nama lain Mehmed ll -- melakukan konsolidasi internal. Ini tidak mudah. Sebagai anak muda, kemampuannya diragukan oleh para menteri senior, menteri semasa ayahnya berkuasa. 

Kecerdasan dan ketegasannya sebagai pemimpin -- yang menguasai bidang kemiliteran, ilmu pengetahuan, matematika, sastra, dan menguasai bahasa Serbia, Arab, Persia, Yunani, dan Latin -- menyebabkan Mehmed ll berhasil mengendalikan kesultanan di tangannya, meski usianya sangat muda. 

Mehmed ll mengubah kekaisarannya dari pola lama yang bersifat kekeluargaan menjadi pola yang lebih modern yang berbasis pada kemampuan dan kesetiaan. Perubahan ini menghasilkan pemerintahan yang kuat dan terpusat pada sultan.

Pemusatan kewenangan ini dituangkan dalam hukum negara pada 1477–1481, yang berisikan daftar pejabat utama beserta peran, tanggung jawab, gaji, hukuman, dan cara berhubungan baik antar satu sama lain. Sultan juga dapat mewakilkan wewenang dan kekuatannya pada para wazir (menteri) sebagai bagian dari kebijakannya.

Setelah konsolidasi berhasil, Mehmed ll --yang saat itu berusia 21 tahun -- memusatkan perhatiannya menaklukkan Konstinopel, yang selama lebih seribu tahun menjadi lambang kekuatan Barat. Pasukan disiapkan, termasuk sekitar 70 meriam, di antaranya 14 ukuran terbesar saat itu. Meriam tersebut untuk merobohkan benteng sepanjang 5,5 km dengan tinggi hingga 12 meter.

Sebelum mengepung Konstantinopel, Mehmed ll menyurati Kaisar Konstantinus XI tentang rencananya menyerang Konstantinopel -- ini merupakan tradisi kesultanan Islam sebelum menyerang musuh. Untuk menghadapi rencana Mehmed ll itu, Kaisar Konstantinus XI mempersiapkan sekitar 10 ribu tentara di antaranya berasal dari Yunani dan tentara bayaran dari Genoa, yang dipimpin Giovanni Giustiniani Longo.

Turki Mengembalikan Semangat Mehmed Al-Fatih
Sumber: Istimewa

Serangan dimulai 8 April 1453. Sebagian benteng Konstantinopel roboh, namun ini tidak menjadikan kota itu jatuh. Armada laut Mehmed ll tidak bisa memasuki Selat Tanduk Emas, yang diberi rantai besi. Pasukan terdesak, bahkan Mehmed ll mengalami cedera.

Ini nyaris meruntuhkan semangat prajurit. Di internal kesultanan, sudah muncul desakan untuk perdamaian. Bahkan draft perdamaian sudah disiapkan Wazir Agung Candarli Halil Pasha, yang tidak begitu menyukai Mehmed ll sejak kecil. Halil Pasha merupakan menteri utama kepercayaan Sultan Murad ll, ayah Mehmed ll.

Belakangan, dalam film tersebut, Wazir Agung diketahui bersekongkol dengan pengusaha Konstantinopel, yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis. Perang bagi mereka tidak menguntungkan kelangsungan bisnisnya.

Dalam situasi terdesak, Mehmed ll yang terjun langsung bersama 80 ribu prajurit, tetap bersikukuh. Pilihannya, menang atau hancur. Strategi dirancang untuk serangan bergelombang. Prajurit asal Anatolia di baris depan. Barisan paling belakang berasal dari pasukan elit Yanisari, yang terkenal tangguh dan loyal. 

Sehari sebelum penyerangan, prajurit diminta berdoa dan istirahat.

Tengah malam pada 29 Mei serangan mati-matian dimulai. Pasukan Konstatinopel kelelahan menghadapi gelombang pertama, yang kemudian disusul pasukan elite Yanisari.

Giovanni Giustiniani, pemimpin tentara bayaran Konstantinopel, terluka dan melarikan diri. Giustiniani meninggal dalam perahu yang membawanya pergi. Ini meruntuhkan semangat pasukan bayaran. Mereka mundur.

Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Kaisar Konstantinus XI akhirnya memimpin sendiri pasukan yang tercerai-berai. Di saat bersamaan, tentara Mehmed ll telah memasuki kota melalui benteng yang roboh. Bendera Kesultanan Utsmaniyah berkibar di jantung kekuatan Romawi itu.

Konstantinus XI tewas di jalanan bersama para tentaranya. Namun menurut catatan harian Nicolò Barbaro, saksi mata pertempuran itu, Konstantinus frustrasi dan gantung diri ketika tentara Mehmed ll menembus gerbang San Romano.

Pada 29 Mei 1453 itu, dua bulan setelah pengepungan, berakhirlah Kekaisaran Romawi yang berusia 1.100 tahun itu. Mehmed ll langsung menuju Hagia Sophia -- tempat berlindung penganut Kristen Ortodoks. Mehmed menenangkan mereka, menggendong seorang anak dengan kasih sayang. Ketegangan mencair. 

"Mulai saat ini, jangan takut untuk kebebasan dan hidupmu. Tidak ada bangunan yang akan dijarah, tidak ada orang yang akan ditindas, dan tidak ada orang yang akan dihukum karena agama mereka,"  kata Mehmed ll.

Sejak itu, Hagia Sophia dijadikan masjid. Ada yang menyebutkan, Hagia Sophia dibeli dari pemimpin Kristen Ortodoks. Sedangkan gereja dan rumah-rumah ibadah dipelihara, tidak ada penghancuran. Di Konstantinopel, Mehmed ll mengizinkan Gereja Ortodoks mempertahankan otonominya.

Kebebasan beragama juga diberikan kepada rakyat di daerah kekuasaannya yang lain, melalui sistem millet -- semacam hak otonomi kepada umat tiap agama untuk mengatur diri mereka sendiri tanpa banyak campur tangan dari pemerintah pusat, termasuk dilindungi dari penganiayaan, penghinaan, dan penyiksaan resmi maupun tidak resmi. 

Baca juga: Sejarah Hari Ini: Hagia Sophia Monumen Turki Selesai Dibangun

Setelah Konstantinopel dikuasai, Mehmed ll memindahkan pusat Kesultanan Utsmaniyah, yang semula di kota Andrianopel, ke Konstatinopel. Nama Konstantinopel kemudian diubah menjadi Istanbul.

Dari sini, Kesultanan Utsmaniyah meluaskan wilayah kekuasaannya, yang meliputi sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat, Kaukasus, Afrika Utara, dan Tanduk Afrika. Kesultanan ini salah satu negara terkuat di dunia, imperium multinasional dan multibahasa. 

Semasa memimpin Kesultanan Utsmaniyah, Memed ll rajin berdialog dengan para ulama terkait permasalahan agama, mengundang ilmuwan dan astronom Muslim di istananya, seperti Ali Qusyji. Dia juga mulai membangun madrasah, universitas, masjid. Masa itu pula, ilmu matematika, astronomi, dan agama mencapai titik puncak. Memed ll banyak menuliskan syair-syair. 

Sultan Mehmed ll wafat pada 3 Mei 1481 dalam usia 49 tahun, dikebumikan di kompleks Masjid Fatih, Istanbul, Turki. Putranya, Sultan Bayezid ll (1447 – 1512) melanjutkan Kesultanan Utsmaniyah. 

Wilayah Kesultanan Utsmaniyah terus meluas. Namun, keterlibatan dalam Perang Dunia l dalam Blok Sentral antara lain bersama Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria, melawan Blok Sekutu (Perancis, Britania Raya, Rusia, Italia, Amerika Serikat, dan Balkan), secara perlahan kesultanan ini rapuh. Sejumlah teritori Utsmaniyah lepas dan Blok Sekutu menang.

Di dalam negeri, muncul gerakan nasionalis Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk. Gerakan ini mengakhiri kekuasaan Sultan Mehmed VI -- Sultan terakhir Utsmaniyah -- pada 1 November 1922. Setahun kemudian, 29 Oktober 1923, Majelis Agung Nasional Turki mendeklarasikan berdirinya Republik Turki, yang dipimpin Kemal Ataturk. 

Berakhirlah kesultanan yang berkuasa selama 624 tahun -- menguasai dua pertiga dunia -- sejak didirikan Sultan Usman pada 27 Juli 1299 di Anatolia. Sejak itu pula, Turki berubah menjadi negara sekular. Kemal Ataturk memisahkan agama dengan negara dan menyingkirkan peran ulama dalam politik. Masjid Hagia Sophia diubah menjadi museum.

Ataturk -- yang meninggal 10 November 1938 dalam usia 57 tahun --melakukan nasionalisasi agama, di antaranya mengubah lafal azan ke dalam bahasa Turki pada 1932. Dengan alasan kebersihan, jamaah diperbolehkan masuk ke masjid mengenakan sepatu. Bagian dalam masjid juga diisi kursi-kursi.

Perubahan terjadi pada 1950 saat kekuasaan Partai Rakyat Republik, yang dipimpin Ataturk, berakhir. Azan kembali berbahasa Arab. Masjid-masjid di Turki pun kembali seperti semula. 

Hagia Sophia, setelah 86 tahun, dikembalikan Presiden Erdogan sebagai masjid. Semangat Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk, kini menyebar di Turki. 

"Hagia Sophia akan terus melayani semua pemeluk keyakinan sebagai masjid dan akan tetap menjadi tempat warisan budaya untuk semua manusia,” kata Erdogan di makam Sultan Muhammad Al Fatih. "Kami katakan mari kunjungi makam Sultan Muhammad Sang Penakluk, pemilik sebenarnya.” 

Jakarta, 26 Juli 2020

BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait