Ceknricek.com -- Urusan pajak, menjadi isu seksi di Ibu Kota belakangan ini. Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, menjadi ajang bulian gara-gara peraturan gubernur terkait PBB. Sejumlah pihak memelintir seakan-akan Anies menghapus ketentuan penggratisan pajak bagi hunian senilai Rp1 miliar. Pelintiran itu menjadi viral, soalnya ketentuan gratis pajak tersebut merupakan keputusan Gubernur DKI sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Karuan saja, Anies merasa perlu meluruskan. Ia dengan tegas mengatakan memperpanjang pemberlakuan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bagi semua bangunan berupa rumah, rumah susun sederhana sewa (rusunawa), dan rumah susun sederhana milik (rusunami) dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp1 miliar sampai 31 Desember 2019. Ketentuan ini tertuang dalam Pergub DKI No. 38/2019 tentang Pembebasan PBB-P2 yang ia tandatangani itu.
Anies menjelaskan pembebasan PBB diteruskan bagi rumah yang nilainya di bawah Rp1 miliar. Bahkan diperluas. “Mereka yang berjasa bagi bangsa dan negara pun bebas pajak jenis ini,” ujarnya. “Para pahlawan nasional, veteran, perintis kemerdekaan, dan penerima bintang jasa pengabdian dari presiden, sampai anak cucunya tiga generasi selama masih menggunakan rumah orang tua mereka, maka tidak dikenakan PBB.”
Tanah dan bangunan mereka yang mendapat keistimewaan ini gratis PBB sepanjang rumah itu tidak dipakai untuk kegiatan komersial. Bahkan tidak hanya itu. PBB juga gratis bagi para purnawirawan TNI dan polisi serta para pensiunan pegawai negeri. “Para guru, dosen, termasuk pensiunan guru dan pensiunan dosen juga diberikan kebebasan PBB,” tambahnya.
Komprehensif dan Kontekstual
Lalu, mengapa pergub itu disalahpahami? Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menilai terbitnya Peraturan Gubernur DKI itu memantik polemik disebabkan pemahaman yang belum komprehensif dan cenderung parsial dan politis. “Menurut kami polemik ini tidak perlu terjadi jika peraturan ini dibaca secara saksama dan ditempatkan dalam konteks yang tepat,” ujarnya.
Pergub 38/2019, menurut dia, tidak pernah mencabut Pergub Nomor 259/2015, tetapi mengubah beberapa ketentuan di dalamnya. “Justru Pergub 38/2019 ini cerminan langkah maju dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dan kontekstual,” tuturnya.
Berdasarkan Pergub 38/2019, wajib pajak orang pribadi yang telah memperoleh pembebasan PBB-P2 untuk tahun pajak sampai dengan tahun 2018 sebelum berlakunya Pergub ini (1 Januari 2019), tetap mendapatkan pembebasan PBB-P2.
Pembebasan PBB-P2 berlaku sampai dengan 31 Desember 2019. Artinya, wajib pajak yang memenuhi syarat tetap berhak memperoleh pembebasan PBB-P2 sesuai Pergub Nomor 259/2015 sebagaimana diubah dengan Pergub Nomor 38/2019. Dengan demikian wajib pajak yang memenuhi syarat tidak perlu khawatir karena tetap mendapatkan pembebasan PBB-P2 sampai 31 Desember 2019.
Hal positif dan patut diapresiasi dalam Pergub 38/2019 ini adalah pengecualian bagi wajib pajak yang mengalami perubahan data wajib pajak karena peralihan hak kepemilikan atau penguasaan atau pemanfaatan kepada wajib pajak badan.
Hal tersebut harus dikecualikan, menurut Yustinus, karena sudah tidak sesuai dengan kondisi dan alasan pemberian pembebasan PBB-P2 yaitu meringankan beban hidup wajib pajak orang pribadi. Ketidaksesuaian ini mengurangi potensi penerimaan daerah yang akan digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan, dan fasilitas dinikmati pihak yang seharusnya tidak menikmati.
Jadi, menyimpulkan bahwa Gubernur DKI akan menghapus fasilitas pembebasan PBB-P2 adalah penilaian yang terburu-buru dan subjektif. “Yang terjadi, sejauh pengetahuan saya yang cukup sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan BPRD DKI, adalah saat ini sedang dilakukan fiscal cadaster yaitu pemetaan dan pendataan potensi pajak yang lebih komprehensif,” katanya. Berdasarkan fiscal cadaster ini akan diambil kebijakan perpajakan dan strategi pemungutan pajak yang lebih tepat.
Mengingat Pergub Nomor 259/2015 tidak dicabut dan hanya diubah dan pembebasan tetap diberikan sampai dengan 31 Desember 2019, besar kemungkinan kebijakan ini akan disempurnakan kemudian menunggu rampungnya fiscal cadaster.
Warga DKI Jakarta tentu tetap berharap gubernur mempertahankan kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan menengah-bawah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan hasil pemetaan.
Kondisi Subyektif dan Obyektif
Kebijakan mempertahankan pajak bagi tanah dan hunian dengan nilai NJOP Rp1 miliar ini jelas mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Itu sebabnya, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menyarankan Pemprov perlu mencari potensi sumber pendapatan lain, terutama untuk mengantisipasi target pendapatan pajak yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Untuk diketahui, target pendapatan pajak DKI Jakarta meningkat dari Rp38,12 triliun pada 2018 menjadi Rp44,18 triliun pada 2019. Pendapatan PBB pun meningkat dari Rp8,5 triliun pada tahun sebelumnya menjadi Rp9,65 triliun.
Senada dengan Rusli, Yustinus juga menyatakan Pemprov DKI Jakarta juga harus menggali sumber-sumber pendapatan lain.
Lepas dari itu, menurut UU PBB dan UU PDRD, Gubernur atau Kepala Daerah dapat memberikan pengurangan jika pada kondisi subyektif dan kondisi obyektif. Kondisi subyektif meliputi jika wajib pajak tidak mampu membayar, termasuk guru, buruh, pensiunan, veteran, dll. Lalu, kondisi objektif seperti objek pajak mengalami bencana alam, gagal panen, dll. Selama ini fasilitas pengurangan seperti itu belum cukup jelas, subyektif, dan inkonsisten diterapkan oleh Pemerintah Daerah.
Gubernur dan kepala daerah juga boleh membebaskan PBB-P2 untuk lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial. Kebijakan ini bertujuan sosial dan membantu masyarakat, supaya mereka dapat terus bertahan dalam rangka mendukung kesuksesan program pemerintah.
Yustinus menilai gubernur dan kepala daerah lainnya bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki sasaran pemajakan, termasuk lahan kosong agar produktif. Fokus pada kawasan komersial, dan melakukan penilaian objek secara profesional untuk mendapatkan NJOP yang mencerminkan keadilan dan kepastian. Termasuk ekstensifikasi objek pajak agar memberi rasa keadilan bagi wajib pajak patuh.