Ceknricek.com -- Malice adalah sesuatu yang jahat. Malicious intent artinya berniat buruk. Di dunia pemberitaan (jurnalistik) bukan tidak mungkin ada niat buruk, baik oleh narasumber terhadap narasumber lainnya –melalui tangan wartawan tentunya; maupun oleh wartawan sendiri, termasuk oleh kebijakan redaksi (editorial policy). Itu sebabnya, dalam sengketa pemberitaan yang sampai ke meja hijau, hakim harus tegas dan jelas melihat apakah ada malicious intent atas berita yang merugikan obyek pemberitaan, atau hanya terjadi salah informasi yang tidak disengaja – absence of malice.
Wartawan adalah manusia biasa, tak luput dari kesalahan. To err is human. Kalau tidak pernah salah itu namanya malaikat. Jika wartawan salah menulis, belum tentu itu mengandung “malicious intent”. Mungkin karena ketidaktahuan (ignorant), atau tidak sengaja. Sekalipun terbukti beritanya salah, seorang wartawan atau sebuah media bisa bebas dari kemungkinan gugatan pencemaran nama baik, jika tak terbukti ada malice. Apalagi jika berita itu mengandung unsur kepentingan publik yang mencolok.
Di Indonesia pernah ada kasus, foto Munarman (FPI) di halaman depan Koran Tempo (foto utama), yang caption-nya dianggap misleading (menyesatkan). Munarman yang mencegah anak buahnya melakukan kekerasan, ditulis oleh Koran Tempo sebagai Munarman melakukan penyerangan kepada jemaah Ahmadiyah yang sedang pawai demo di Jakarta. Ini bisa jadi ada malicious intent, sengaja memotret buruk Munarman-FPI; tapi bisa juga karena wartawan terburu-buru memuat informasi yang tidak dicek n ricek, tidak diverifikasi. Istilah Inggrisnya “reckless disregard” atau pengabaian pada fakta kebenaran, tindakan sembrono. Koran Tempo membuktikan the absence of malice (tiadanya niat jahat) dengan mengakui kecerobohan, minta maaf dan memuat pernyataan Munarman-FPI, setelah dimediasi oleh Dewan Pers.
Kasus terbaru tentu saja adanya beberapa media massa yang minta maaf pada Presiden Jokowi –setelah dimediasi oleh Dewan Pers- atas kasus pemberitaan yang dianggap tidak sesuai fakta persidangan. Apakah permintaan maaf media bisa diterima dan menyelesaikan persoalan, atau apakah masih ada yang merasa “kesalahan tanpa niat buruk kok berjamaah”, tentu terpulang pada pihak-pihak yang bersengketa.
Baca juga: If it Bleeds, it Leads
Dalam persidangan kasus berita bohong (fitnah/libel) atau pencemaran nama baik (defamation) di Amerika Serikat, hakim kerap mempertimbangkan fakta "absence of malice", sehingga media terbebas dari jerat hukum. Apalagi kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat dijamin oleh Konstitusi Amerika Serikat. Bunyi pedoman bagi penegak hukum atas kasus sengketa media vs obyek pemberitaan sebagai berikut:
"Factual error, content defamatory of official reputation, or both,
are insufficient to warrant an award of damages for false statements,
unless "actual malice" -- knowledge that statements are false or in
reckless disregard of the truth -- is alleged and proved."
“Kesalahan faktual, muatan pencemaran nama baik atas reputasi pejabat, tak cukup kuat untuk menurunkan sanksi bagi wartawan, KECUALI ada “actual malice”, yaitu bahwa wartawan sebetulnya tahu bahwa informasi itu keliru namun mengabaikan proses pencarian kebenaran dan terus memaksakan memuat/menyiarkannya.”
Dengan konsep ini, media dapat dengan mudah terbebas dari gugatan pencemaran nama baik. Artinya, kalau ada berita salah, tetapi wartawan dapat membuktikan bahwa dia sudah berusaha mencari kebenarannya (namun narasumber selalu off the record atau no comment atau menghindar), wartawan bisa lolos dari tuntutan. Perhatikan, di sini yang penting adalah adanya EFFORT, upaya mencari kebenaran. Konsep ini menggarisbawahi bahwa hanya orang yang benar-benar jahat yang akan secara sengaja/sadar mempublikasikan kebohongan.
Sirikit Syah, July 2020
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini