Akankah Gundala dan Bumi Manusia Masuk Daftar Film Mahal yang Gagal? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: wow keren

Akankah Gundala dan Bumi Manusia Masuk Daftar Film Mahal yang Gagal?

Ceknricek.com -- Dua bulan terakhir ini perbincangan tentang film tak bergeser dari topik yang membahas dua film fenomenal: Bumi Manusia karya Hanung Bramantyo dan Gundala Putra Petir karya Joko Anwar.

Ada beberapa alasan yang membuat kedua film itu disebut fenomenal: pertama soal biaya, kedua sutradara, dan ketiga latar belakang cerita.

Kedua film tersebut diproduksi dengan biaya puluhan miliar rupiah. Sebuah angka yang sangat besar dalam ukuran saat ini untuk membuat film.

Yang kedua faktor sutradara. Hanung Bramantyo (Bumi Manusia) dan Joko Anwar (Gundala) adalah dua sutradara kelas wahid di Indonesia saat ini. Karya-karya mereka terbilang bagus dan beberapa menembus box office!

Sumber: tribunnews

Hanung pernah sukses meraup penonton di atas satu juta melalui film-film: Ayat Ayat Cinta (3.676.135), Rudy Habibie – Habibie & Ainun-2 (2.010.072), Sang Pencerah (1.108.600), Get Married (1.389.454) Get Married-2 (1.199.161), Surga Yang Tak Dirindukan-2 (1.636.981), dan beberapa film lain yang menghasilkan ratusan ribu penonton (hampir 1 juta).

Joko Anwar, seperti kita tahu, menjadi pencetak film horor terlaris sepanjang masa di Indonesia, melalui film Pengabdi Setan (2017), yang disaksikan oleh 4.206.103 penonton!

Sumber: beritagar

Yang ketiga adalah latar belakang cerita. Film Bumi Manusia karya Hanung, diangkat dari salah satu novel tetralogy karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang mengisahkan tentang lelaki pribumi di tengah keluarga Belanda.

Baca Juga: 6 Fakta Pramoedya Ananta Toer, Penulis Novel Bumi Manusia

Novel itu konon pernah ditawar US$1,5 juta (Rp20 miliar dengan kurs saat ini) oleh sineas Hollywood Oliver Stone. Namun karena Pramoedya tidak mau novelnya difilmkan orang asing, dia tidak menjualnya. Setelah melalui perjalanan panjang, cerita itu lalu dibeli oleh Falcon Pictures dan diserahkan kepada Hanung Bramantyo untuk menyutradarai filmnya.

Sumber: Liputan6

Bumi Manusia

Film ini dibintangi Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, dan Sha Ine Febriyanti, skenario ditulis oleh Salman Aristo. Film yang ditayangkan pada 15 Agustus 2019, menurut Wikipedia menghabiskan biaya Rp30 miliar.

Dengan setting masa kolonial yang membutuhkan set-set, kostum dan tata artistik yang disesuaikan dengan konteks cerita, sudah pasti biaya pembuatan film ini sangat mahal.

Sumber: Brilio

Ine Febriyanti, pemeran Nyi Ontosoroh dalam film itu mengatakan tim produksi benar-benar membangun set, seperti membuat jalur kereta api bahkan sungai, meskipun lokasi dan set yang digunakan sudah ada, yang pernah digunakan untuk membuat film Sultan Agung (Mooryati Soedibyo Cinema/Hanung Bramantyo), di Desa Gampong, Sleman, Yogyakarta.

Bumi Manusia merupakan sebuah film ambisius yang dibebani harapan setinggi gunung. Jauh sebelum film itu dibuat, pihak produser sudah melakukan woro-woro, kemudian preview berlangsung di Surabaya bersamaan dengan film Perburuan karya Richard Oh, yang dibuat oleh produser yang sama juga diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer.

Untuk keperluan itu, Falcon Pictures memboyong 250 orang dari Jakarta dengan mencarter pesawat khusus. Gala premiere film Bumi Manusia dan Perburuan di Mall Surabaya Town Square, Jawa Timur, nyaris seperti sebuah festival film. Sebelumnya, para pemain menemui Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/8/2019). Pokoknya oke punya! Dampak publikasinya dapet banget!

Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 1)

15 Agustus 2019 Bumi Manusia main di bioskop. Banyak pujian karena sinematografinya bagus, meski ada pula kritik terkait kostum pemain yang ngejreng dan pemakaian aktor muda Iqbaal Ramadhan menjadi tokoh Minke, yang terkesan dipaksakan hanya untuk menarik penggemarnya datang ke bioskop.

Sumber: Orami

Sampai hari ini, 11 September 2019 menurut data yang dirilis filmindonesia.id, film tersebut baru mengumpulkan 1.296.714 penonton!

Jumlah penonton itu tentu masih jauh dari harapan. Jika biaya produksi film itu, katakanlah Rp30 miliar, maka untuk mencapai break even point (BEP/titik impas) saja, minimal harus disaksikan 2 juta penonton, dengan asumsi per lembar tiket produser mendapat Rp15 ribu!

Saat ini, Bumi Manusia sudah tayang hampir 1 bulan di bioskop. Penambahan jumlah penontonnya pun tidak signifikan, apalagi jumlah layar terus dikurangi sesuai kebijaksanaan bioskop. Rasanya sulit untuk mendapatkan 2 juta penonton. Artinya, Bumi Manusia adalah sebuah film gagal!

Gundala Menyusul!

Film lain yang menyita perhatian di tahun 2019 ini adalah Gundala Putra Petir, produksi Jagat Sinema BumiLangit yang disutradarai oleh Joko Anwar. Film ini diadaptasi dari komik Gundala Putra Petir karya Harya Suraminata. Kelahiran Gundala juga diperlakukan seperti anak emas. Promosi dan publikasi gencar dilakukan jauh sebelum film ini dibuat, baik oleh produser maupun Joko Anwar sendiri yang aktif bermain Twitter.

Ketika press screeninggimmick dimainkan oleh publicist yang meminta wartawan untuk menandatangani pernyataan untuk tidak menurunkan tulisan tentang film tersebut sebelum tanggal yang ditentukan. 

Kehadiran Gundala langsung mendapat karpet merah dari media, bahkan kritikus-kritikus film top di negeri ini. Ada kritikus film yang menulis, “kehadiran Gundala menjadi era baru dalam perfilman Indonesia”; yang lain menyebut, “film bagus yang dibuat dengan sepenuh hati, selebar pengetahuan dan sedalam pemahaman”.

Sumber: CNN

Kebesaran nama Joko Anwar membuat hampir semua kritikus tak berani mengkritisi filmnya. Bahkan banyaknya adegan kekerasan dalam film yang diloloskan oleh LSF untuk 13 tahun ini, malah mendapat pujian.

Baca Juga: Negeri Ini Tak Butuh Patriot Seperti Gundala Putra Petir

Seorang kritikus menulis begini: Sebagian penonton film Gundala akan melihat film ini merupakan sebuah film penuh kekerasan fisik. Itu salah!

Dari awal sampai akhir film memang berisi kekejaman, penganiayaan, siksaan dan pembunuhan. Kendati demikian, di balik begitu banyak kekerasan fisik, sebenarnya, film ini juga merupakan film kekerasan batin yang sangat mengiris dan menyayat.

Justru kekerasan batin inilah yang ditampilkan lebih luluh lantak, dan dari kacamata itu, luka batin yang demikian nyerinya, lebih “mengerikan” dibandingkan luka fisik yang menyertainya.

Namun media online CNN yang menulis: Sukar rasanya menilai Gundala (2019) sebagai film yang bagus. Tapi di sisi lain, film ini juga tidak buruk. Kata yang mungkin tepat untuk menilai Gundala adalah "biasa". Ya, film yang disutradarai dan ditulis Joko Anwar ini biasa saja (CNN 30/8/2019).

Tidak hanya media dan kritikus film, dua tokoh nasional di Tanah Air memuji kepiawaian akting para aktor dan aktris dalam film superhero Gundala. Di antaranya pengusaha Erick Tohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

"Ini yang kita mau, film-film karya anak bangsa ini menguasai pasar di Tanah Air, daripada film impor, sebelumnya saya pun menyaksikan film Bumi Manusia garapan Sutradara Hanung Bramantyo, karya-karya epik ini lambat laun akan diminati masyarakat," kata pengusaha Erick Thohir.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, "Waduh saya serasa nonton Marvel-nya Indonesia ya, ini yang saya suka. Sudah gitu kan bahasanya sama, jadi gampang dimengerti alurnya."

Entah karena sanjungan yang menyebar demikian masif, film Gundala juga dengan cepat mendapat sambutan penonton. Pada hari pertama permutaran di bioskop (Jumat 30/8), film produksi Jagat Sinema BumiLangit ini langsung menyerok 174.013 penonton. Pada hari ketiga sudah menembus satu juta penonton!

Perolehan penonton yang fantastis dalam tempo singkat itu merupakan kombinasi sempurna antara nama Joko Anwar, publikasi yang gencar, sinematografi yang bagus dan dukungan pemilik bioskop dengan memberikan 400 layar di awal pemutaran. Jagat Sinema BumiLangit adalah perusahaan yang didirikan bersama oleh PT Screenplay dan Legacy Pictures yang berafiliasi dengan pihak XXI.

Sampai hari ini, Rabu 11 September 2019, Gundala sudah bercokol di bioskop selama 11 hari. Jumlah penonton yang diraih film tersebut, lagi-lagi berdasarkan data filmindonesia.id, hanya 1.380.516. Artinya penambahan jumlah penonton dalam waktu seminggu, tidak signifikan, bahkan trennya cenderung menurun. Film Gundala seperti Timnas Indonesia melawan Malaysia dalam kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia Grup G, yang garang diawal, tapi kedodoran di menit-menit akhir.

Sumber: Hipwee

Menurut seorang pengamat film, saat ini Gundala hanya bertahan di 100 layar bioskop. Dengan penonton yang terus berkurang, otomatis layar pun akan terus dikurangi. Dengan demikian, harapan untuk menjadi film terlaris di Indoneia yang pernah ada, pupus sudah. Bahkan mencapai 2 juta penonton pun untuk mencapai BEP, jika film itu diproduksi dengan biaya Rp30 miliar, berat!

Film Gagal

Dalam pembuatan film, biaya besar dan pencapaian sinematografi memang tidak otomatis berkelindan dengan jumlah penonton. Ada kalanya film berbiaya murah yang tidak diapresiasi oleh kritikus film, malah sukses di bioskop.

Bumi Manusia dan Gundala adalah film yang tidak mampu memenuhi harapan produser, bahkan mungkin sutradara dan pemainnya. Kedua film itu hanya menyenangkan kritikus film yang kemudian menjadi kelu ketika berhadapan dengan nama besar.

Baca Juga: Komik "Gundala" versi Modern Akan Tayang di LINE Webtoon

Memang masih ada waktu bagi Bumi Manusia dan Gundala untuk menambah angka penonton. Apalagi kalau ada orang gila yang mau “membakar duit”, sehingga tiba-tiba kedua film itu mendapat penonton yang luar biasa.

Sumber: Istimewa

Jika tidak ada orang gila yang dimaksud, maka Bumi Manusia dan Gundala akan menjadi film mahal yang gagal di pasaran, menyusul film-film: Trilogi Merdeka (2009—2011, Rp64 miliar), Gunung Emas Almayer (2014, Rp 60 miliar ), Pendekar Tongkat Emas (2014, Rp25 miliar), Rafathar (2017, Rp15 miliar), Buffalo Boys (2018, Rp40 miliar), Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018, Rp20 miliar). 

Sumber: republika

Jauh sebelum film-film tersebut ada, Pemprov DKI bekerja sama dengan PT Parkit Film pada tahun 1997 membuat film Fatahillah (disutradarai oleh Imam Tantowi dan Chaerul Umam), yang menelan biaya Rp3 miliar pada saat kurs dolar hanya Rp2.000. Hasilnya pun tidak memuaskan.

BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Informasi Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait