Ceknricek.com -- Nama Anies Rasyid Baswedan tak pernah sepi dari pemberitaan. Banyak hal yang terus mengapungkan namanya. Ibarat kata, tak ada hari tanpa polemik tentang Gubernur DKI Jakarta.
Terbaru tentu saja gara-gara kasus Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Risma menyeret Zikria Dzatil ke penjara karena dianggap menghinanya di media sosial. Zikria menyebut Risma sebagai “kodok”. Sikap kader PDI Perjuangan ini mengundang hujan kritik dari banyak kalangan.
Tak sedikit mereka yang membanding-banding kualitas kepemimpinan Risma dengan Anies. Di sinilah nama Anies menjadi semerbak mewangi.
Singkat cerita, Risma dianggap pemimpin dan baper alias bawa perasaan. Gampang emosi. Sedangkan Anies dianggap pemimpin sejati. Risma dibilang “kodok” oleh Zikria langsung uring-uringan, lalu menggunakan kekuasaannya, membui Zikria. Anies, hanya tertawa-tawa ketika seorang emak-emak menyebutnya sebagai “anjing”.
Sumber: VOA
Baca Juga: Risma Bukan Kodok
Jika menengok postingan di media sosial, caci dan makian menjadi sarapan sehari-hari Anies. Orang terdidik macam Ade Armando saja memosting Anies sebagai Joker. Penjahat lawan Batman.
Anies tidak ambil pusing dengan semua itu karena menyadari kritik dan hinaan adalah risiko menjadi seorang pemimpin. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga pernah dihina sebagai “kerbau” yang gemuk dan lamban. SBY bersikap sebagai seorang pemimpin: menerima kenyataan itu sebagai kritik.
Serangan Istana
Belakangan ini nama Anies juga sering menjadi perbincangan karena beberapa kebijakannya mengundang polemik. Sebut saja, polemik revitalisasi Monas, banjir Jakarta, juga banjir di underpass Gandhi Kemayoran.
Pengerjaan proyek revitalisasi Monas yang digarap Pemprov DKI menjadi polemik karena belum memiliki izin dari pemerintah pusat. Sesuai Keppres Nomor 25 Tahun 1995, Pemprov DKI wajib meminta izin dan harus memperoleh persetujuan dari Komisi Pengarah untuk revitalisasi Monas. Komisi Pengarah sendiri diketuai oleh Mensesneg beranggotakan Pemprov DKI dan lima kementerian.
Sumber: Tirto
Polemik ini melibatkan Istana dan sejumlah kementerian. Revitalisasi Monas yang kini terbengkalai itu oleh sebagian kalangan dianggap upaya menyerimpung Anies. Pada pendukung Anies bahkan menganggap ada upaya para pembantu Presiden Joko Widodo untuk menjegal program-progran pemerintah DKI Jakarta. Mereka juga beranggapan bahwa Istana tak menginginkan Jakarta maju di tangan Anies.
Anggapan seperti itu bisa dijumlah dalam status nitizen yang viral di media sosial. Anies dan Jokowi sudah ditempatkan sebagai rival.
Beda Pendapat
Jokowi dan Anies memang berbeda. Pada kasus reklamasi, misalnya, keduanya berseberangan. Keduanya juga seringkali berpolemik lalu saling lempar kewenangan. Repotnya, kedua pemimpin ini sama-sama gemar pencitraan.
Setidaknya hal itu tercermin polemik yang terjadi pada akhir 2019, saat banjir melanda Jakarta dan daerah penyangganya. Jokowi menyebut penyebab banjir besar itu karena sampah. Sementara Anies menepisnya. Menurutnya, banjir tak melulu disebabkan sampah. Ia mencontohkan banjir di Bandara Halim Perdanakusuma yang bukan disebabkan sampah.
Publik dengan jelas menangkap kesan bahwa perbedaan pendapat hingga saling lempar kewenangan itu tak lebih bertujuan pencitraan. Dalam konsep kewenangan, mereka saling menyalahkan karena sama-sama tidak mau disalahkan.
Jokowi tak ingin kehilangan wibawa sebagai presiden. Sikap itu setali tiga uang dengan Anies selaku gubernur. Ini persoalannya. Jadi bukannya bicara solusi, tapi justru saling menyalahkan.
Sumber: Setkab
Beda pendapat dan upaya saling menjatuhkan keduanya, seringkali juga 'dikompori' pendukung masing-masing yang fanatik. Publik sudah mafhum bahwa selama ini pendukung Jokowi cenderung tak menyukai Anies, begitu pula sebaliknya. Akibatnya, perdebatan tentang berbagai kebijakan antara Pemprov DKI dan pemerintah pusat pun makin memanas.
Baca Juga: DPR Minta Pemerintah dan Pemprov Saling Koordinasi Soal Revitalisasi Monas
Munculnya perdebatan di antara pendukung Jokowi dan Anies tak lepas dari polarisasi politik sejak 2014. Dukungan masyarakat saat itu terbagi dua. Dukungan yang terbelah ini makin memanas saat Pilpres 2019 hingga muncul sebutan cebong-kampret bagi masing-masing pendukung Jokowi maupun Prabowo.
Sejak Prabowo ditunjuk sebagai menteri pertahanan oleh Jokowi, dukungan kepada mantan Danjen Kopassus itu mulai beralih ke Anies. Apalagi dalam Pilgub 2017, Anies maju dengan sokongan Prabowo. Ini membuat isu apa pun yang ada di Jakarta dibawa-bawa ke polarisasi politik.
Faktor lain, adalah ada pihak-pihak yang benci dengan popularitas Anies. Akibatnya, berbagai kebijakan atau sikap yang dilakukan Anies selalu dibenturkan dengan Jokowi. Partai koalisi atau orang di dekatnya, sebisa mungkin sebelum diserang bisa menyerang duluan.
Komunikasi Politik
Inilah yang boleh jadi mulai disadari Anies. Belakangan eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini lebih irit bicara dalam mengomentari polemik dirinya dengan istana. Ketika istana menyerang, dia memilih diam. Begitu juga ketika Kementerian PUPR mencecarnya soal revitalisasi sungai-sungai di Jakarta. Anies menyerahkan kepada para pembantunya untuk mengomentai masalah-masalah tersebut.
Kini, gaya komunikasi politik Anies mulai berubah. Ia mempraktikkan gaya komunikasi bertahan alias defense. Gaya ini, sama sekali tidak ada dalam teori komunikasi. Gaya komunikasi itu secara teori ada dialogis, partisipatif, otortiter, dan demokrasi. Namun gaya Anies ini bisa dibilang berbeda.
Sumber: Sindo
Gaya komunikasi Anies tersebut tidak salah namun juga tidak benar. Boleh jadi gaya ini diambil Anies karena iklim masyarakat dan politikus Indonesia yang kerap menyalahkan tanpa melihat realitas kinerja. Orang yang berseberangan selalu sepakat untuk tidak sepakat. Mereka cenderung tidak melihat persoalan secara jernih.
Gaya komunikasi harusnya berupa kritik yang sifatnya memperbaiki. Hanya saja, politikus di negeri ini tidak demikian. Itu sebabnya pilihan Anies bersikap bertahan tampaknya sangat efektif.
Sumber: Tirto
Hanya saja, cara demikian tidak bisa dilakukan terus menerus. Publik butuh informasi yang jelas tentang arah pembangunan ibu kota. Kemunculan Anies sangat dinanti. Sikap diam dan menutup informasi ke publik hanya akan menambah stok peluru bagi kelompok penentang Anies di media sosial.
Sebagai seorang pemimpin Anies harus jalan dan menyampaikan kinerjanya ke masyarakat. Karena sejatinya, kepala daerah hanya diukur dengan kinerja. Meski serangan ke Anies ini terkadang melampaui kritik tapi setidaknya bisa membendung bangsa ini dari virus nyinyir.
BACA JUGA: Cek AKTIVITAS KEPALA DAERAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar