Antara Burung Pemulung, Hiu, dan Jarak Kematian | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Antara Burung Pemulung, Hiu, dan Jarak Kematian

Ceknricek.com -- Wartawati senior, Dian Islamiati Fatwa, kembali terinfeksi Covid-19. Bagaimana ceritanya? Berikut penuturan Dian, yang ditulisnya sendiri di laman sosial medianya:

Akhirnya saya harus dipindahkan ke HCU - High Care Unit - sore ini. Kondisi saya tidak lebih membaik. Saya menanda-tangani beberapa consent form untuk penanganan selanjutnya bila kondisi lebih memburuk lagi.

Di kaki ranjang HCU, brother Iver menunggu saya tak lepas dari bed agar perkembangan saya termonitor setiap detik. Peace in mind, I am in good hands. Saya pun lelah. Saya tidak menulis catatan harian kemarin, karena lelah sekali. I am physically and emotionally drained.

Feeding oksigen sejak kemarin ternyata tidak cukup mengangkat saturasi oksigen, masih rendah. Malam kemarin saya mendapat suntikan pengencer darah, Hexaparin 7500/iu.

Seringkali pasien covid mengalami tromboemboli, pembekuan darah. Ini yang menyebabkan darah tidak bisa membawa oksigen ke seluruh tubuh.

Memang selama lima hari ini dokter tidak memberikan pengencer darah, karena hasil pemeriksaan klinis awal menunjukkan saya tidak membutuhkan.

Penjelasannya adalah sel memori saya dari serangan covid I masih menyimpan ingatan virus covid sehingga bisa membentengi diri. Namun serangan virus kali ini cukup agresif sampai keok, sel darah mulai membeku dan terengah-engah mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.

'Bu peradangannya semakin tinggi. Semua dosis saya tambahkan. Antibiotik menjadi 2 macam, Dexametaxon dosis kami tambahkan juga, dan yang penting pengencer darah,' kata dokter spesialis Paru yang datang pagi tadi.

'Kalau ibu isolasi mandiri di rumah, pasti sudah lewat dari beberapa hari yang lalu. Pokoknya begitu ada flek putih, harus masuk rumah-sakit. Itu cara kami mengurangi kematian covid.'

'Jadi kemungkinan saya bisa hidup bagaimana dok?'

'Saya tidak punya jawaban untuk itu.' Ngok, langsung pening kepala ane.

'Virus ini susah diprediksi dan tidak konsisten bu. Kita kasih obat ini, ternyata sudah bermutasi, apalagi varian baru dari India, Inggris dan Afrika Selatan sudah masuk di Indonesia. Saya tidak tahu ibu masuk varian yang mana, nanti kita ambil darah dari arteri ya supaya lebih detail, tampaknya lebih agresif dari serangan yang pertama'.

Karena itu saya masih heran, ketika ada menyarankan agar orang yang kena covid isolasi mandiri saja.

Bila OTG memang layak dipertimbangkan. tapi bila sudah bergejala, batuk-batuk dan sesak, pergi ke rumah-sakit adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa orang-orang yang kita sayangi.

'Isolasi mandiri, makan enak-enak, balur minyak kayu putih dan berjemur matahari,' begitu kata kawan kepada saya.

Apalagi ada yang percaya aromateraphy orange atau vanilla bisa menyembuhkan covid.

Duh gusti nu Agung....darimana kedunguan ini datang.

Virus paling cuman nyengir dikasih aromateraphy. Selanjutnya covid akan terus menghajar manusia.

Mereka ini tidak paham, betapa mematikannya virus covid. Tubuh saya sengsara, nafas megap-megap, batuk tidak berhenti, virus covid menggerus tubuh saya!

Tentu maksudnya baik akan tetapi justru akan mendorong kematian bila tidak tertangani dengan baik.

Virus covid ini memang sadis, so cruel!

Tidak bisa kita menggampangkannya. Jarak kematian itu seperti sehelai rambut, so tiny, sangat-sangat dekat.

Tuhan bila waktuku sudah tiba, beri hamba kekuatan, keteguhan dan keikhlasan menghadapmu.

Beri aku harapan dan kesabaran menyelami rasa takut dan gelisah mencapai kebebasan merengkuh-Mu

Beri aku kerianganan menyambut terang dalam belain genggaman-Mu.

Meski aku harus menghadap-Mu dalam sendiri nanti, ijinkan sedulur dan kawan-kawanku memberi penghormatan terakhir.

Saya tidak ingin nasib saya seperti mayat-mayat di India. Viren Lotus, sahabat yang tinggal di India bagian Utara, dirinya dan keluarganya terkepung covid. Tetangga, kanan, kiri, depan dan belakang, kecuali dirinya tidak kena.

Mayat bergelimpangan menunggu kremasi berhari-hari bahkan ada yang dimakan anjing.

Ketika sistem kesehatan sudah tidak berjalan dan ambruk, mayatpun tidak terurus, sampai harus dimakan binatang. Tidak ada lagi penghormatan terakhir terhadap makhluk sempurna ciptaan Tuhan.Memporak-poranda ribuan bangunan antropologi bangsa-bangsa dunia.

Teringat perbincangan saya dengan sahabat saya dari Tibet, Tsering Norbu seorang aktifis lingkungan beberapa waktu tahun yang lalu. Kami sama-sama menerima fellowship dari East-West Centre di Hawaii, USA. Perbincangan kami selalu dalam, soal sense of purpose.

Sore itu kami berjalan di pantai Waikiki Honolulu. Topik kita konsep kematian. Menghadapi orang-tua yang sudah sepuh dan sakit-sakitan, tentu topik itu tak jauh-jauh dari perbincangan kami. Saat itu ayah masih ada.

Norbu ingin segera pulang Tibet, mertuanya sakit keras. Takut terjadi apa-apa. 'Istri saya tidak ada yang bantu. Kasihan. Kalau dia meninggal, saya harus mengangkut ke atas bukit,' ujarnya.

'Ke bukit? Di kubur di sana?'

'Bukan, tubuhnya kita persembahkan ke burung, penguburan langit - sky burial' ujar Norbu dengan mata menerawang.

Saya mencoba mencerna kalimat Norbu.

'Jadi tidak ada penguburan di tanah dalam adat Tibet, seperti di Barat atau Muslim seperti kami?'

'Tubuhnya kami antar ke bukit, kami biarkan decomposed dan burung-burung pemulung akan memakannya', Norbu menjelaskan lebih jauh.

Penguburan langit adalah turunan ajaran Budha Vajrayana. Dalam kematian roh bertransmigrasi menuju dunia lain. Tubuh seperti kereta yang sudah kosong, tidak berfungsi lagi. Maka sesembahan terhadap burung pemulung adalah bentuk 'kemurahan/generosity' salah satu akar ajaran Vajrayana.

'Tanah di Tibet penuh cadas, susah menggali kuburan, kremasi juga harus memakai bahan bakar, dan menebang pohon untuk kayu pembakar. Toh roh sudah kembali ke semesta bertemu Tuhan di sana. Penguburan langit ini sudah kami jalani berabad-abad,' jelas Norbu.

Apapun kepercayaan yang sudah dilakoni berabad-abad harus dihormati. 'And you sister, do you have any plan for your burial? Are you going to have a moslem burial tradition?'

Pikiran nakal dan liar saya muncul ketika menatap Norbu.

Waktu itu saya masih tinggal di Melbourne, Australia. Jarang anak merawat orang-tua, karena kesibukan bekerja, bukan tidak sayang. Namun supporting system tidak mendukung.

Rumah-rumah jompo adalah industri berjamur di negara-negara maju karena tingkat harapan hidup semakin tinggi. Tentu keuntungannya luar biasa, sebab pensiunan biasanya langsung menyerahkan seluruh dana pensiun tidak perlu bayar sewa, listrik, air dsb. tinggal di sana hingga sampai diantar ke liang lahat.

'Kalau dihitung-hitung, tinggal di rumah-jompo/nursing home mempersiapkan diri menghadapi kematian, sebenarnya lebih murah nilainya dengan mengikuti 'cruising berlibur di kapal pesiar daripada tinggal di rumah-jompo.'

Norbu menatap saya lama, berupaya memahami.

'Nih bayangkan. 5 malam mengikuti cruising dari Perancis ke Italy harganya USD$397. Sehari sewa kamar di rumah-jompo Australia bisa mencapai AUD$60, belum termasuk meals. Nah kalau di cruising kan, makanan prasmanan 3x sehari, ada theater, live music, disediakan juga rumah ibadah, kolam renang. Benar-benar menikmati hidup, liburan tak ada henti.'

'Pertanyaan saya belum terjawab, bagaimana kalau sister meninggal di tengah laut? Apakah harus dibawa ke darat untuk dikuburkan secara Islam atau bagaimana,' tanya Norbu dengan serius.

'Dalam Islam, tidak harus dikubur di darat kalau tidak memungkinkan. Bisa langsung dibuang ke laut setelah dilakukan upacara penghormatan terakhir. Tubuh saya nanti bisa dimakan hiu.'

Mata Norbu berkejap-kejap. Sepertinya otak dia girap-girap mendengar ide saya mempersiapkan kematian meskipun berupaya mencerna dan menghormati prespektif lain.

'Sama kan dengan konsep Budha Vijrayana, generosity, tubuh di daur ulang dimakan hiu, toh roh sudah kembali ke semesta.'

'Ini hanya ide gila saya, belum tentu keluarga saya bisa menerimanya.' Norbu mengangguk paham.

Kami memandang langit biru di pantai Waikiki, tangan kami bergandengan erat dalam semangat fraternity.

'Kita nanti akan bertemu lagi di semesta bila 'waktu' kita telah tiba sister, tidak selamanya kita akan hidup.'

Hangat dekapan tangan Norbu masih terasa meski telah bertahun-tahun berlalu.

Baca juga: Moral Dilemma

Baca juga: Reinfections are real and dangerous!



Berita Terkait