Ceknricek.com -- Media sosial diramaikan pembicaraan tentang perdebatan antara politisi PDIP, Arteria Dahlan, dengan Prof. Emil Salim, Kamis (10/10). Salah satunya, di sosial media Twitter, Didiek J. Rachbini menampilkan video program Mata Najwa episode Ragu-ragu Perpu yang menampilkan perdebatan keduanya. “Teman2 apa sebutan yang cocok untuk politisi seperti Arteria Dahlan seperti ini?” tulis Prof. Didiek dalam akun @DJRachbini.
Dalam video itu menampilkan perdebatan antara Arteria dan Emil. Saking tingginya tensi perdebatan tersebut, Arteria Dahlan sampai menunjuk-nunjuk dan menyebut Emil Salim sesat.
Sumber: Istimewa
Status @DJRachbini tersebut mendapat banyak tanggapan. “Wajah sebenarnya elit kita Prof. Arogan dan gila hormat. Rakyat disuruh apa mau dia,” salah seseorang mengomentari. “Politisi tak tahu diri”, komentar yang lain. “Sampah”. “Tidak beradab”. “Penggonggong”. Dan banyak lagi komentar yang rata-rata menghujat tingkah Arteria.
Video Arteria Dahlan membentak-bentak Prof. Emil Salim itu viral di media sosial. Arteria menjadi trending topic pada Kamis sekitar pukul 05:30.
Sumber: Istimewa
“Ini lho, kualitas DPR RI zaman sekarang. Sok tahu dan sok hebat. Tak punya tata krama. Orang kayak begini kok dipilih ya oleh rakyat?” tulis salah seorang warganet.
“Wakil rakyat kok gaya preman. Nggak mau dengar rakyat yang diwakilinya, malah memarahi rakyat yang membayar gajinya. DPR jancuk, hidup Pak Emil Salim,” sambut yang lain.
Arteria Dahlan dengan title S.T., S.H., M.H. lahir di Jakarta, 7 Juli 1975. Dia berusia 44 tahun. Belum banyak asam dan garam yang ia makan. Dia anak kemarin sore jika dibandingkan dengan Prof. Dr. Emil Salim. Emil adalah seorang ahli ekonomi, cendekiawan, pengajar, dan politisi. Ia lahir di Lahat, Sumatra Selatan, 8 Juni 1930. Usianya sudah 89 tahun. Berbagai pos kementerian di era Orde Baru ia duduki. Emil adalah Begawan. Bapak bangsa.
Baca Juga: Saat Arteria Dahlan Lahir, Emil Salim Menteri Perhubungan
Tidak sembarang orang yang berani gegabah terhadap Emil. Tapi Arteria masuk ke dalam yang tidak sembarang itu. Tapi jangan salah. Sikap antagonis yang diperankan Arteria itu hanya menjadi salah satu contoh saja. Perdebatan perihal Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam satu dasawarsa belakangan ini memang dihiasi hadirnya politisi muda yang pandai bersilat lidah minus etika.
Fahri Vs Syafii
Pada 2010, juga sudah muncul politisi muda Fahri Hamzah yang merisak Buya Syafii Ma’arif. Fahri dari Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, sedangkan Arteria Dahlan dari PDI Perjuangan. Kedua politisi masa kini itu cenderung anti-KPK. Sebaliknya, Syafii Maarif dan Emil Salim adalah tokoh sepuh yang berbicara mewakili hati nurani rakyat yang anti-korupsi.
Sumber: Republika
“Ada yang mengatakan KPK teroris bagi DPR dan bubarkan saja, ini orang yang labil," ujar Buya kala itu dalam menanggapi keinginan segelintir politisi Senayan tentang pembubaran KPK.
Pernyataan Buya memantik emosi Fahri Hamzah. Politisi PKS yang kini memilih hengkang dari partainya dan mendirikan ormas itu membalas, membombardir Buya dengan ucapan yang tak patut. Buya dibilang "anti-demokrasi dan dianggap tak pantas dijadikan tauladan". “Orang-orang tua yang harusnya bijak ini tidak bisa menerima cara pandang kami yang muda-muda sepertinya. Tidak memahami arti demokrasi dan otoriter…," kata Fahri, begitu lancar, tanpa beban.
Gaya Fahri seakan sedang berbicara dengan musuh politiknya. Buya adalah tokoh sepuh yang kala itu sudah berusia 76 tahun. Seorang profesor, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang reputasinya tak diragukan lagi.
Sumber: Liputan6
Bersama tokoh-tokoh agama lainnya, Buya pernah mengeluarkan pernyataan sikap “hentikan kebohongan” pemerintahan SBY. Kala itu, SBY tak berkutik, ia mengalah dengan mengajak berdialog tokoh agama, termasuk dengan Buya. Hanya saja, Buya tak menghadiri undangan SBY itu. SBY tak bisa berbuat apa-apa. SBY sangat hati-hati menghadapi “pemberontakan” tokoh agama ini. Padahal sangat mudah bagi SBY menghabisi mereka. Bisa juga SBY bicara kasar, memaki, jika itu ingin dilakukan. Toh SBY tidak melakukan itu.
SBY memang bukan Fahri Hamzah. Fahri Hamzah adalah politisi kelahiran 1971. Kala itu ia Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Ia mewakili generasi baru politisi saat itu. Generasi politisi dengan gaya dan performa amat memikat. Mereka amat fasih berbicara demokrasi. Buya yang profesor itu seakan kesosor bicara urusan demokrasi dengan anak muda ini.
Politik Tanpa Etika
Boleh jadi ada yang berpendapat bahwa di alam demokrasi hal yang dilakukan Arteria dan Fahri sudah menjadi lazim. Inikah cermin politik kita saat ini? Politik tanpa etika, moral dan kesantuan? Boleh jadi ada yang menjawab, “jangan sekali-kali bicara etika dan kesantunan dalam berpolitik karena politik memang bukan wilayah etika dan kesantunan”.
Politik adalah wilayah meraih kekuasaan, pengaruh, uang dan segala-galanya dengan segala cara demi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Lenin bilang, politik itu ”siapa yang boleh lakukan apa kepada siapa” (Who could do what to whom) dan ahli sains politik, Harold Lasswell, mengatakan politik itu “siapa yang dapat apa, bila dan bagaimana” (who gets what, when and how).
Baca Juga: Arteria Dahlan Dikecam Habis Warganet
Jadi memang semua akhirnya berujung kepada meraih kekuasaan dengan segala macam cara. Presiden Soekarno pernah mengilustrasikan kekecewaannya terhadap sikap politik dan peran partai-partai. “Kita semua diserang penyakit. Penyakit yang lebih berbahaya daripada sentimen etnik dan kedaerahan. Anda barangkali bertanya, penyakit apa itu? Dengan terus terang, saya katakan: penyakit partai politik ….”.
Wajar saja jika kemudian ada yang berpendapat, politik bukan tempat orang baik-baik. Bahkan suatu ketika KH Zainuddin MZ merasa perlu meminta maaf kepada umat lantaran sempat terjun ke dunia politik. "Saya mohon maaf, karena pernah tersesat di dunia politik,” ujar da’i sejuta umat ini setahun sebelum wafat.
Sumber: Okezone
Mengapa begitu? “Setelah saya rasakan dan saya pikirkan, politik itu ternyata bukan tempatnya kiai," tuturnya.
Pernyataan Zainuddin ini seakan meralat ucapan para kiai di saat demam kiai masuk politik terjadi, yakni dimulai saat K.H. Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Kala itu Hasyim Muzadi, Ketua PB NU bilang, "Kiai berpolitik itu bukan kesalahan atau kejahatan, jika dilakukan dengan benar."
K.H. Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien, Rembang, Jawa Tengah, juga bilang para ulama dan kiai boleh berpolitik sepanjang dalam konteks politik kebangsaan dan kerakyatan secara luas, bukan politik kekuasaan seperti yang terjadi saat ini. “Jika kiai dan ulama dilarang berpolitik, maka tak ada lagi yang mengawasi kebijakan pemerintah,” ucap Gus Mus.
Kisah Buya Syafii Maarif dan Fahri Hamzah, mengingatkan kita tentang masa-masa itu. Masa dimana kiai kehilangan legitimasi sebagai pemimpin umat ketika terjun ke politik. Masa di politisi muda yang seenak udelnya “memaki” kiai lawan politiknya.
Begitu juga dalam kasus Arteria dan Prof. Emil. Begitu sombongnya politisi muda ini meremehkan para pendahulu dan sesepuh mereka. Mungkin benar status seorang netizen ini: “Ini adalah wajah sebenarnya elite kita. Arogan dan gila hormat. Rakyat disuruh apa mau dia”.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.