Ceknricek.com -- Dua raksasa asuransi negeri ini, PT Jiwasraya (Persero) dan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1913, oleng. Keduanya mengalami gagal bayar. Sedikitnya, 19 juta nasabah menjadi korban. Sejumlah pihak mengingatkan, kasus dua asuransi ini bisa menyeret Indonesia dalam kubangan resesi.
Siapa yang bisa memercayai asuransi? Bahkan asuransi milik negara saja “menipu” nasabahnya. Kasus PT Jiwasraya adalah mimpi buruk bagi nasabah asuransi. Tidak bisa dipercaya. Asuransi yang mendapat anugerah Best Financial Performance Life Insurance Company, Category Asset More than Rp27 triliun oleh Warta Ekonomi pada 2017 ini gagal bayar. Nasabahnya hanya bisa meratapi kerugian yang mereka derita.
Kasus Jiwasraya menjadi yang paling besar dalam sejarah asuransi jiwa di Indonesia. “Ini memalukan,” kata pengamat Asuransi dari Universitas Indonesia, Hotbonar Sinaga, seperti dikutip Tirto belum lama ini.
Sumber: Inilah
Jiwasraya tidak sendiri. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1913 juga begitu. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menghitung nasabah dari dua perusahaan asuransi itu berpotensi merugi sekitar Rp40-50 triliun. Angka yang tidak kecil.
Gagal bayar dua asuransi ini melengkapi kasus-kasus serupa sebelumnya. Pada tahun 2010, misalnya, asuransi Bakrie Life gagal bayar atas produk Diamond Investa Bakrie Life. Asuransi milik Grup Bakrie ini gagal bayar karena imbas krisis ekonomi 2008. Nilai tunggakan pada tahun 2013 sebesar Rp270 miliar. Total utang Bakrie Life kepada nasabah Diamond Investa mencapai Rp360 miliar
Lalu ada juga gagal bayar Asuransi Bumi Asih Jaya. Pada 18 Oktober 2013, OJK mencabut izin usaha PT Bumi Asih Jaya karena perusahaan ini gagal memenuhi ketentuan tentang kesehatan keuangan, yakni rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) dan rasio perimbangan investasi terhadap cadangan teknis dan utang klaim.
Sumber: katadata.co.id
Baca Juga: Potensi Kerugian Negara Dalam Kasus Jiwasraya Rp13,7 triliun
Per 31 Desember 2014, perusahaan asuransi yang berdiri tahun 1967 ini diperkirakan hanya mampu membayar klaim Rp409,73 miliar dari total klaim perorangan sebesar Rp634,31 miliar dan asuransi kolektif senilai Rp182,6 miliar. Dalam proses kepailitan, Asuransi Bumi Asih memiliki utang Rp1,2 triliun kepada krediturnya.
BPKN mencatat sepanjang 2019, ada 1,510 kasus asuransi yang ada potensi kerugian. Menurut lembaga ini, kasus asuransi baru sekitar 20-an kasus. Namun, potensi kerugiannya sekitar Rp40 triliun hingga Rp50 triliun.
Masalah Lama
Seperti yang sudah banyak diberitakan, manajemen Jiwasraya mengibarkan bendera putih. Nyerah. BUMN ini tidak sanggup membayar polis JS Saving Plan milik nasabah senilai Rp12,4 triliun yang jatuh tempo mulai Oktober-Desember 2019.
Presiden Joko Widodo menyebut kasus Jiwasraya sudah terjadi sejak dia belum duduk di kursi RI 1. "Ini persoalan yang sudah lama sekali 10 tahun yang lalu, problem ini yang dalam 3 tahun ini kita sudah tahu dan ingin menyelesaikan masalah ini," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Balikpapan, Rabu (18/12). Jokowi menegaskan, kasus gagal bayar Jiwasraya ini adalah masalah yang berat.
Jokowi terkesan ingin mengatakan bahwa kasus Jiwasraya bukan karena kegagalan pemerintahannya. Kasus ini sudah terjadi sejak era Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Jokowi lupa bahwa kasus Jiwasraya menjadi parah dengan menanggung kerugian yang kian menggunung sehingga gagal bayar terjadi pada eranya.
Caption
Benar, Jiwasraya ketahuan sakit pada 2006. BUMN ini defisit Rp3,29 triliun per 31 Desember 2006. Sejak itu, bukannya berkurang, defisit justru semakin membengkak setiap tahunnya. Pada 2008, defisit menjadi Rp5,7 triliun, lalu pada 2009 naik lagi menjadi Rp6,3 triliun.
Pemegang saham mengusulkan solusi permasalahan insolvent dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Negara (APBN). Namun, rencana suntikan modal ke Jiwasraya tak kunjung dilakukan.
Pada 2010, jajaran manajemen Jiwasraya mengusulkan alternatif berupa model penyehatan jangka pendek. Caranya melalui mereasuransikan sebagian kewajiban pemegang polis ke perusahaan reasuransi. Penyehatan jangka pendek Jiwasraya ini juga mendapat persetujuan oleh otoritas dan pemegang saham.
Pada 2010 usai di reasuransi, kondisi Jiwasraya menjadi solvent. Jumlah kekayaan Jiwasraya menjadi Rp5,5 triliun. Sementara, kondisi kewajiban Jiwasraya Rp4,7 triliun dari yang seharusnya Rp10,7 triliun. Imbasnya, ekuitas Jiwasraya surplus Rp800 miliar.
Melalui skema finansial reasuransi, Jiwasraya sempat mencatatkan surplus sebesar Rp1,3 triliun per 31 Desember 2011. Ketika asuransi ini masuk ke OJK, 31 Desember 2012, perusahaan mencatatkan surplus Rp1,6 triliun, dengan catatan masih melakukan skema finansial reasuransi. Tanpa skema finansial reasuransi, hitungan otoritas, Jiwasraya masih mencatatkan defisit sebesar Rp5,2 triliun.
Sumber: Tirto
Selanjutnya per 31 Desember 2013 Jiwasraya surplus sebesar Rp1,75 triliun. Surplus terjadi karena mekanisme revaluasi aset dan bangunan. Berakhirnya skema finansial reasuransi di awal 2013 membuat manajemen Jiwasraya kembali mengajukan rencana penyehatan.
Akhir 2013, Jiwasraya menyampaikan solusi alternatif. Yakni melakukan penilaian kembali aset tanah dan bangunan dengan nilai buku Rp208 miliar, direvaluasi menjadi Rp6,3 triliun. Jiwasraya menjadi solvent.
Sepanjang periode 2013-2016, Jiwasraya mampu berjalan cukup baik dan selalu menghasilkan keuntungan. Namun, dari sisi investasi, terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang oleh manajemen Jiwasraya. Pada 2015, BPK melaksanakan audit kinerja Jiwasraya.
Baca Juga: Presiden Jokowi: Masalah Jiwasraya Bukan Persoalan Gampang
Selama 2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat berkat penjualan produk Jiwasraya JS Saving Plan. Produk ini menawarkan pendapatan pasti atau guaranted return setara atau bahkan di atas bunga deposito. Laba Jiwasraya per 31 Desember 2017 turun dari Rp2,4 triliun (unaudited) menjadi hanya Rp428 miliar.
Catatan OJK, defisit Jiwasraya sebesar Rp10,2 triliun per 31 Desember 2018. Seiring pergantian direksi Jiwasraya di awal 2018, dilakukan evaluasi kondisi Jiwasraya, termasuk produk.
Selanjutnya, Jiwasraya memutuskan menghentikan penjualan JS Saving Plan. Penghentian tersebut dilaksanakan bersamaan saat penurunan kondisi keuangan. Imbasnya likuiditas perusahaan pelat merah ini tertekan.
Sumber: Detik.com
Pada akhir 2018, kondisi keuangan Jiwasraya semakin parah. Perusahaan ini memutuskan menjual aset investasinya untuk membayar klaim nasabah. OJK memprediksi syarat rasio kecukupan modal untuk menanggung risiko atau risk based capital (RBC) di atas 120% baru tercapai pada 2028. Jiwasraya mengajukan dispensasi untuk mencapai kesehatan RBC di 2028.
Kini kondisi lebih buruk lagi. Direktur Utama PT Jiwasraya (Persero), Hexana Tri Sasongko, menyebut polis jatuh tempo Oktober hingga Desember sebesar Rp12,4 triliun, sementara total tunggakan sebesar Rp16,3 triliun. Perusahaan tidak mempunyai dana segar untuk bisa membayar polis jatuh tempo. Mengingat hingga September 2019 Jiwasraya menderita kerugian sebesar Rp23 triliun.
Menghancurkan Diri Sendiri
Sementara, masalah keuangan AJB Bumiputera awalnya terkuak pada 2010 lalu. Saat itu, kemampuan AJB Bumiputera dalam memenuhi kewajibannya, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek alias solvabilitas hanya 82%. Kemampuan perusahaan untuk membayar klaim nasabah juga terbilang rendah.
Pada 2012 lalu, jumlah aset yang dimiliki hanya Rp12,1 triliun, tapi kewajiban perusahaan tembus Rp22,77 triliun. Hingga kini, masih terdapat nasabah Bumiputera yang belum mendapatkan pembayaran haknya.
Sumber: Kontan
Baca Juga: Industri Asuransi Tak Takut Ancaman Resesi
Bumiputera mengalami kesulitan likuiditas. Kas perusahaan asuransi yang sudah berusia di atas seratus tahun itu minim. Kondisi ini menjadi penyebab tertundanya atau gagal pembayaran klaim kepada nasabah.
Berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat 7 November lalu, pendapatan premi AJB Bumiputera per Oktober 2019 sebesar Rp2,6 triliun. Namun, jumlah klaim sebesar Rp2,4 triliun. Saat ini, ada 265.000 pemegang polis tengah menunggu kepastian pembayaran klaimnya.
Penyebab gagalnya kedua asuransi tersebut membayarkan polis nasabah sama. Yakni karena kecacatan manajemen perusahaan dan juga persoalan investasi manipulatif. "Dari data yang dikumpulkan ada persoalan miss management, ada persoalan investasi yang manipulatif di kedua asuransi ini yang berdampak pada besarnya piutang yang harus ditanggung oleh kedua asuransi," ungkap Koordinator Komisi III BPKN, Rizal E. Halim, dalam acara pemaparan Catatan Akhir Tahun BPKN, kantor pusat Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (16/12).
Sumber: Infobank
BPKN menilai bahwa kedua perusahaan tersebut terlibat dalam kejahatan korporasi yaitu menghancurkan perusahaan dari internalnya sendiri. "Ini sifatnya massive dan hebatnya Bumiputera dua tahun lalu kita dengar ada collapse dan sebagainya. Tapi itu sebenarnya self destroying dalam konteks kejahatan korporasi. Jadi ada mekanisme self destroying sehingga bisa dipailitkan," imbuhnya.
Kasus dua asuransi ini bukan kasus remeh temeh. Ini melibatkan 19 juta nasabah yakni 7 juta nasabah Jiwasraya dan 12 juta nasabah Bumiputera. “Betapa masifnya," ujar Rizal.
Pintu Krisis
Benar kata Jokowi, kasus gagal bayar Jiwasraya dan Bumiputera adalah kasus besar. Berat. Itu sebabnya banyak pihak berharap OJK bertindak cepat. Paparan Bank Dunia (World Bank) bertajuk "Risiko Ekonomi Global dan Implikasinya terhadap Indonesia" yang rilis bulan ini menyatakan ada dua area yang memerlukan penanganan segera, yakni konglomerasi finansial dan lemahnya sektor asuransi, terutama dalam kasus gagal bayar Bumiputera dan Jiwasraya.
Khusus sektor asuransi, risiko keuangan menjadi hal yang penting untuk OJK, sehingga otoritas harus berfokus pada upaya penyelamatan dua perusahaan tersebut. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurrohman mengingatkan jika upaya penyelamatan terlambat, hal ini menjadi pintu masuk resesi dunia kepada ekonomi Indonesia. "Dua asuransi ini ibarat puncak gunung es, yang terlihat. Kalau lambat respons, bisa menyeret pada resesi," kata Rizal Taufikurrohman dalam siaran resminya Senin (9/9).
Sumber: Portinews
Upaya penyelamatan Bumiputera dan Jiwasraya perlu dipertimbangkan secara hati-hati, dengan tetap mendukung operasional kedua perusahaan asuransi tersebut dalam memperbaiki kinerjanya. Tidak hanya kedua perusahaan tersebut, namun OJK perlu jeli melihat kinerja sektor keuangan lainnya karena banyak lembaga keuangan nasional yang tengah rentan akan imbas resesi. "Artinya, share efeknya kepada resesi jauh lebih besar. Jadi, OJK harus jeli melihat risiko keuangan ini," tambah Rizal Taufikurohman.
Bank Dunia menyebut Indonesia harus menjaga kredibilitas sistem keuangannya dengan cara mengatasi kelemahan sektor asuransi. Dalam kasus gagal bayar dua asuransi tersebut, Bank Dunia memproyeksi ada tujuh juta jiwa orang dengan lebih dari 18 juta polis yang terlibat. Mayoritas merupakan masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah. Untuk memperbaikinya, Bank Dunia menyarankan agar ada analisis mendetail terhadap penilaian risiko dalam asuransi.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar