Benarkah Jakarta Sudah Mendekati Tanggal Kadaluarsanya? | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Benarkah Jakarta Sudah Mendekati Tanggal Kadaluarsanya?

Ceknricek.com--Memang, segala sesuatu itu ada tanggal kadaluarsanya. Dalam hidup ini segalanya fana. Tapi apakah mungkin sebuah kota yang telah menjadi pusat bagi bangsa Indonesia sejak berdirinya NKRI, juga akan lenyap? Kecuali memang terjadi kiamat, maka rasanya Jakarta, dalam bentuk yang lain, barangkali, akan terus ada – mungkin tidak seperti rupa dan tampangnya sekarang ini.

Baru dua malam yang lalu Badan Siaran Khusus Australia (SBS) menayangkan laporan wartawannya Aron Fernandes dari Jakarta. Yang disoroti kali ini adalah tumpukan sampah yang sudah menggunung (mungkin lebih tepat kalau dikatakan membukit) di begitu banyak tempat, termasuk di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang.

Terkesan bahwa TPST Bantargebang sudah mencapai batas maksimum kemampuannya, karenanya, sebagaimana ditayangkan oleh Televisi SBS itu, banyak orang yang “dengan seenaknya” membuang sampah di tempat lain, alias di mana saja di sekitar Jakarta.” Bahkan sorotan kamera televisi SBS memperlihatkan tumpukan sampah yang telah “membukit” di luar sebuah pasar yang tidak disebutkan namanya.

Macam-macam alasan yang dikemukakan kenapa TPST Bantargebang sudah terlalu “kenyang” sampah, yang saban hari sebanyak 7500 ton terlahir dari penduduknya.  Termasuk di antaranya tidak adanya ketentuan yang memisah atau memilah sampah, seperti yang berlaku di Australia, misalnya. Di ibukota Negara Bagian Victoria, Melbourne, misalnya, tiap-tiap kotapraja memberikan tiga tong sampah besar dengan warna tutup yang berbeda-beda dan sebuah tong sampah kecil untuk di dalam rumah.

Ada tong sampah berkapasitas 240 liter dengan tutup warna biru untuk sampah-sampah yang dapat didaur-ulang, seperti botol, plastik dan sejenisnya, ada tong sampai berkapasitas sama untuk sisa makanan, termasuk kulit telur, dan tanaman/tumbuh-tumbuhan, termasuk potongan rumput, dengan tutup bewarna hijau yang mudah membaur dengan tanah, dan ada tong sampah dengan kapasitas seratus liter untuk sampai-sampai lainnya. Semua tong sampah punya roda, hingga mudah mengeluarkan dan memasukkannya pada hari-hari yang telah ditentukan (seminggu sekali) sebagai waktu pemungutan sampah oleh truk-truk khusus kotapraja.

Disamping itu, setiap rumah tangga berhak untuk membuang apa yang disebut “sampah keras”, seperti perabot yang sudah tidak diperlukan,  dan peti es serta barang-barang sejenisnya, tiga kali setahun, dan kotapraja akan mengerahkan truk-truk khusus untuk memungut “sampah keras” ini. Pokoknya harus memberitahu dengan telefon kepada kotapraja tentang maksud kita ini.

Cuma ternyata ada juga orang yang memanfaatkan sampah keras ini. Mereka ini biasanya  keliling dengan truk kecil di daerah-daerah penduduk untuk “memeriksa” sampah-sampah keras ini kalau-kalau ada yang masih dapat “diselamatkan” dan kemudian dibawa lari, lantas nantinya dijual di pekan-pekan tertentu. Namun secara resmi memungut sampah keras yang sudah diletakkan di pinggir jalan adalah perbuatan pidana mencuri, karena sampah tersebut telah menjadi milik kotapraja.

Dengan cara seperti ini diperkirakan lebih mudah untuk “menyelesaikan” masalah sampah.Di jalan-jalan bebas hambatan, misalnya, dipasang banyak maklumat agar melaporkan apabila melihat ada orang membuang sampah dengan seenaknya dari dalam mobil, misalnya puntung rokok. Yang terbukti melakukan hal ini diancam dengan hukuman denda, yang dalam uang rupiah bisa mencapai 4-5 juta rupiah. Akan halnya strategi pemilahan jenis sampah seperti yang disebut di atas, memang dimaksudkan untuk mengurangi tumpukan sampah agar jangan sampai membukit, seperti yang kini dilaporkan telah terjadi di TPST Bantargebang.

Juga dalam laporan Televisi SBS itu disebutkan tentang kekhawatiran bahwa sampah-sampah yang tidak terkendali ini dapat menyebabkan ketumpatan pada saluran-saluran air, hingga apabila tiba musim hujan, tidak mustahil akan menyebabkan sungai-sungai di ibukota RI itu meluap.

Selain sampah polusi udara juga mengancam DKI

Ternyata Jakarta memang punya banyak “musuh.” Selain sampah polusi udara juga sangat mengganggu. Sebuah laporan media Amerika juga menyebutkan bahwa mutu udara Jakarta begitu jelek sehingga diperkirakan mampu mengurangi harapan hidup penduduk di ibukota RI tersebut rata-rata sampai  2,3 tahun. Ancaman lingkungan terhadap Jakarta ini juga disebabkan oleh kepadatan penduduknya dan industrialisasi yang begitu pesat.

Sebenarnya bukan sekarang saja polusi udara menjadi biang keladi kotornya bahan pernafasan (oksigen) manusia itu. Adanya stasiun pembangkit Listrik tenaga batu bara, buangan asap kendaraan bermotor, keberadaan sarana-sarana manufaktur, dan emisi dari rumah-rumah penduduk, kegiatan pembangunan, debu jalan dan pembakaran sampah secara serampangan juga menjadi penyebab kotornya udara Jakarta.

Bayangkan, dalam tahun 2017, stasiun pemantau kebersihan udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mencatat bahwa “ hanya selama 26 hari udara di Jakarta dapat dibilang bagus.” Dalam enam bulan pertama tahun 2019, tercatat hanya 10 hari penduduk Jakarta dapat  membanggakan udara yang sehat.

Bukan itu saja, melainkan juga “kemakmuran” yang dinikmati penduduk Jakarta (dan tentunya Indonesia) juga laksana “tongkat membawa rebah.” Artinya kian banyak orang memiliki mobil dan motor yang kemudian digunakan untuk perjalanan ke dan dari tempat kerja.

Suatu penelitian pernah menyimpulkan bahwa “di Manhattan, New York, Amerika Serikat, seseorang yang mengendarai mobil selama 5 hari dalam seminggu untuk pergi dan pulang kerja, harus menginjak rem dan pedal gas dalam setahun sebanyak 15-ribu kali; di Amsterdam, Belanda, sebanyak 5 ribu kali, sedangkan di Jakarta sebanyak 33 ribu kali (gegara kemacetan lalu lintas).” Keberadaan sebuah kendaraan bermotor yang terus hidup mesinnya di tempat umum selama jangka waktu yang cukup panjang niscaya berarti semakin banyak asap polusi yang mengepul ke udara.

Di Australia ketika dalam tahun 1980-an suatu penelitian menyimpulkan bahwa asap buangan mobil yang menggunakan bensin dengan kandungan timbal dapat mengakibatkan gangguan pada otak anak-anak hingga memperlambat kemampuan belajar mereka.

Begitu kesimpulan ini diterbitkan boleh dikatakan nyaris secara langsung pemerintah membuat ketentuan yang mengakibatkan harga bensin bertimbal menjadi lebih mahal, dan akhirnya bensin jenis ini tidak lagi diperbolehkan untuk dijual kepada pemilik kendaraan bermotor. Itu merupakan paksaan halus bagi para pemilik mobil untuk menggunakan hanya bensin tanpa timbal. Dan akhirnya sejak itu memang tidak ada bensin yang bertimbal yang disediakan oleh pom-pom bensin.

Dan di Australia pemerintah mengenakan cukai hampir 50-sen (sekitar 5-ribu rupiah)  bagi tiap-tiap liter bensin yang dibeli seorang pemilik kendaraan bermotor. Besaran cukai ini ditinjau dua kali setahun, setiap bulan Februari dan September. Dari hasil cukai inilah pemerintah mengalokasikan dana untuk pembangunan prasarana (infrastruktur). Alhasil pada hakikatnya pembangunan jalan di Australia ini dibiayai oleh pemilik kendaraan bermotor.

Dan harga bensin di Australia tidak “stabil” – turun naik, dan tidak seragam. Bisa saja di sebuah tempat pengisian bahan bakar (pom bensin) harga satu liter bensin hanya satu dolar setengah  (sekitar 15 ribu rupiah), sementara di seberang jalan, di mana terdapat pom bensin milik perusahaan lain harganya sedolar tujuh puluh sen. Konon naik-turunnya harga bensin ini ditentukan oleh naik-turunnya harga minyak mentah dunia. Bensin yang paling murah adalah yang dicampur dengan bioetanol yang terbuat dari tebu.

Ancaman lain terhadap Jakarta

Seakan satu musuh saja belum cukup, Jakarta juga diancam oleh “ke-13 sungai yang mengalir melalui ibukota ini.” Kota yang didirikan di atas tanah basah (rawa) ini dikatakan sedang mengalami keanjlokan – selama 30 tahun belakangan ini Jakarta sudah kian merosot sedalam 4 meter, dan kalau tidak ada upaya penangkalan, maka khusus Jakarta Utara, 95% wilayahnya akan menjadi laksana kapal selam dalam tahun 2050. Apakah karena itu IKN akan merupakan pengganti Jakarta yang dapat diandalkan? Wallahu a’lam.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait