Berharap Keadilan Hakim MK | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Ashar/ceknricek.com

Berharap Keadilan Hakim MK

Ceknricek.com -- Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli dari tiga pihak: Prabowo-Sandi sebagai pemohon, KPU sebagai termohon, dan Jokowi-Ma’ruf sebagai pihak terkait. Sejauh ini, tiga pihak tersebut telah membangun suasana yang kondusif. Kini, publik menunggu keputusan akhir MK.

Sebelum memutus sengketa Pilpres 2019, hakim MK mengawali dengan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 24 hingga 27 Juni. Dari rapat itu dapat dirumuskan putusan apakah menerima atau menolak gugatan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Menurut rencana putusan itu disampaikan dalam forum sidang sengketa pilpres, Kamis (27/6) -- sebelumnya dijadwalkan Jumat (28/6).

Bagi Prabowo Subianto, ini adalah kali kedua ia memperjuangkan nasibnya di tangan MK. Pada 2014, bersama pasangannya Hatta Radjasa, MK menolak gugatannya. Joko Widodo-Jusuf Kalla memenangkan pilpres 2014 itu.

Kecurangan dalam pemilu, ibarat kentut, baunya menyengat tapi tidak terlihat seperti apa bentuk dan siapa biangnya. Itu sebabnya optimisme bisa memenangkan kasus ini di MK rasanya seperti menggantang asap. Dan, wajar saja, jika jauh-jauh hari BPN sejatinya sudah enggan berurusan dengan MK. Prabowo pernah dikalahkah di MK, kini pun nasibnya susah ditebak. Ada pihak yang menduga, MK memenangkan Prabowo-Sandi, tapi tak sedikit mereka yang menduga bahwa untuk kedua kalinya MK bakal menekuk Prabowo.

Foto: Ashar/ceknricek.com

Prespektif Hakim

Jika menyaksikan jalannya persidangan yang berlangsung sejak 14 sampai 21 Juni 2019, kita bisa membayangkan betapa rumitnya memutuskan masalah ini. Namun ada yang berpendapat bila perspektif yang dipakai hakim MK yaitu terciptanya pemilihan umum yang jujur dan adil maka gugatan Prabowo-Sandiaga berpotensi dikabulkan.

Dengan perspektif tersebut MK bisa menyoroti lima dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang disampaikan kubu Prabowo-Sandiaga, yaitu penyalahgunaan APBN dan program kerja, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, ketidaknetralan aparatur negara, pembatasan pers, dan diskriminasi penegakkan hukum. Kalau betul terbukti ini menciptakan unequal playing field. Padahal syarat pemilu yang jujur dan adil mengharuskan itu.

Hal lain yang berpotensi membuat gugatan Prabowo-Sandiaga dikabulkan adalah soal status calon wakil presiden Ma'ruf Amin: apakah pegawai Badan Usaha Milik Negara atau tidak. Seperti diketahui Ma'ruf menjabat sebagai Dewan Pengawas Syariah di anak perusahaan BUMN, yakni di BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri. Saat mendaftar sebagai calon presiden dia tidak mundur dari posisinya.

Keterangan dari mantan sekretaris kementerian BUMN, Said Didu, yang dihadirkan oleh kuasa hukum Prabowo-Sandiaga, tidak mendapatkan bantahan baik dari termohon (KPU) ataupun pihak terkait (kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin). Dalam keterangannya Said Didu menyatakan dewan pengawas anak perusahaan BUMN dapat dikategorikan sebagai pegawai BUMN.

Sumber: Detik

Atas dasar tersebut, kunci kemenangan Prabowo-Sandiaga kini di tangan para hakim konstitusi apakah mereka mau menggunakan paradigma penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil yang memberi sedikit harapan atau tidak.

Di sisi lain, jika paradigma yang dipakai hakim MK adalah masalah selisih suara dan kecurangan TSM yang mempengaruhi perolehan suara, maka rasa-rasanya Prabowo-Sandi bakal dikalahkan. Soalnya, bahan-bahan yang disampaikan kubu Prabowo-Sandiaga terkait tuduhan itu belum bisa dianggap meyakinkan.

Jadi ada beberapa kemungkinan keputusan MK. Bisa saja, hakim konstusi memutuskan ada terjadi pelanggaran tapi pelanggaran tak TSM. Ada pelanggaran tertentu yang terbukti, tapi itu bukan kewenangan MK, karena MK terkait hasil pemilu. Pelanggaran yang disampaikan itu adalah kewenangan Bawaslu. Jika itu yang terjadi maka keputusan tersebut tidak akan mempengaruhi hasil pemilu. Maknanya, Prabowo kalah lagi.

Foto: Ashar/ceknricek.com

Belajar dari 2014

Sekadar mengingatkan saja, pada pilpres 2014, MK menolak seluruhnya PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hari bersejarah itu terjadi pada 21 Agustus 2014. Penolakan tersebut tercatat dalam amar putusan setebal 4.390 halaman.

Sidang 2014. Sumber: Kompas

Kala itu, Prabowo-Hatta meminta MK agar menetapkan mereka sebagai pemenang pilpres berdasarkan perhitungan suara yang mereka lakukan sendiri. Pasangan nomor urut 1 itu mengklaim telah mendapatkan 67.139.153 suara sementara Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapatkan 66.435.124 suara.

Mereka menilai, hitung-hitungan KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-JK tidak sah karena telah terjadi kecurangan yang terstruktur sistemais dan masif dalam pilpres. KPU menetapkan Prabowo-Hatta mendapatkan 62.576.444 dan Jokowi-JK mendapatkan 70.997.833.

Kala itu, MK berpendapat, pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan rinci pada tingkat mana dan di mana terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara yang berakibat berkurangnya perolehan suara pemohon dan bertambahnya perolehan suara pihak terkait. Bukti dan saksi dalam persidangan juga tak mampu menjelaskan hal itu.

Selain itu, Prabowo-Hatta juga menuding KPU melakukan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif dengan pengabaian Data Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) sebagai sumber penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pengabaian itu berujung manipulasi data DPT dan akhirnya berdampak sistemik hingga menimbulkan terjadinya kecurangan dalam proses pilpres yang menguntungkan Jokowi-JK.

Atas gugatan itu, MK menilai, tidak dijelaskan secara detil mengenai pengabaian DP4. MK juga berpendapat, penyusunan DPT merupakan proses panjang yang dilakukan KPU dengan tahapan yang sesuai peraturan. Maka apabila ada keberatan mengenai DPT, seperti penambahan dan modifikasi jumlah pemilih sebagaimana didalilkan pemohon, seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan oleh penyelenggara dan peserta dalam kerangka waktu tersebut.

Prabowo-Hatta juga mencurigai tingginya jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) adalah strategi mobilisasi massa untuk memenangkan Jokowi-JK. Mereka menilai DPKTb tidak sah dan melanggar Undang-Undang.

MK menilai, DPKTb sah dan justru dapat menyalurkan hak konstitusional warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Selain itu, menurut MK, saksi yang dihadirkan Prabowo-Hatta tidak bisa membuktikan tuduhannya mengenai mobilisasi massa. Prabowo-Hatta juga tidak bisa menjamin siapa yang dipilih oleh pemilih yang terdaftar dalam DPKTb karena pemilu bersifat rahasia.

Lalu, Prabowo-Hatta juga merasa telah dicurangi karena sama sekali tidak mendapatkan satu suara pun di 2152 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, kecurangan ini sempat dikeluhkan langsung oleh Prabowo dengan menyebut Indonesia layaknya negara totaliter, fasis, dan komunis saat berorasi dalam sidang perdana MK.

Namun, MK menilai raihan nol suara di sejumlah TPS bukan berarti terjadi kecurangan. Pasalnya, dalam berbagai sengketa pemilu yang pernah ditangani MK, kerap terjadi salah satu pasangan calon mendapatkan suara nol. Hal itu pada umumnya terjadi di daerah tertentu yang memiliki ikatan sosial kuat yang praktik pemilihannya dilakukan secara kesepakatan, seperti di Nias Selatan, Madura, Kalimantan, Bali, Maluku dan Maluku Utara.

Selanjutnya, Prabowo-Hatta juga mempermasalahkan rekomendasi Bawaslu yang tidak dilaksanakan oleh KPU. Mereka menilai, KPU telah dengan sengaja mengabaikan rekomendasi tersebut guna memenangkan pasangan Jokowi-JK. Namun, MK juga tidak melihat hal ini sebagai suatu bentuk kecurangan, meskipun ada kesalahan prosedur dan administratif yang dilakukan.

Kini, suasana jauh berbeda sama sekali dengan pilpres 2014. Dulu, Prabowo dan Jokowi sama-sama pendatang baru. Sedangkan saat ini Jokowi adalah petahana yang enggan cuti saat mencalonkan diri sebagai capres. Sudah begitu ia mengerahkan seluruh sumberdaya negara untuk memenangkan dirinya. Tim suksesnya, selain para pentolan partai politik juga para menteri dan pejabat tinggi negara lainnya. Dia pun diduga menggunakan anggaran negara untuk memenangkan pilpres. Aparat keamanan pun cenderung mendukungnya.

Deretan ketidakadilan itulah yang menjadi pokok masalah dalam pilpres 2019. Publik menyaksikan dengan jelas tentang kecurangan yang dilakukan dari kubu petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Hanya saja, sungguh sulit membuktikan deretan kecurangan itu di depan pengadilan. Kini biarkan hakim konstitusi menggunakan nuraninya untuk menjunjung tinggi keadilan.



Berita Terkait