Ceknricek.com -- Tanggal 17 Okober sudah makin dekat. Pada hari itu, pemerintah akan memberlakukan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Aturan itu mewajibkan setiap barang harus mengantongi sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah badan baru di bawah Kementerian Agama.
Hanya saja, Kementerian Perindustrian menganggap ketentuan ini dapat menimbulkan masalah. Pasalnya, jaminan halal ini dianggap berlaku untuk segala jenis barang yang beredar. Tidak hanya makanan-minuman dan obat, tetapi benda seperti kacamata, bahkan produk seperti majalah hingga kulkas.
Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 memang mewajibkan itu. Para pelaku usaha juga menginginkan jaminan halal ini dengan alasan daya saing baik bagi pembeli domestik maupun asing seperti negara di Organisasi Kerja sama Islam (OKI). Padahal, produk-produk tersebut sejatinya tidak terlalu memerlukan sertifikat halal, seperti misalnya kacamata.
Sumber: Beritasatu
Menurut Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kemenperin, Gati Wibawaningsih, semangat sertifikasi halal untuk semua barang itu bisa memunculkan masalah dari pihak pemberi sertifikat halal. “Kacamata hubungannya sama halal apa? Tapi dia apply sertifikat halal. Tahu enggak yang bingung apa? MUI-nya bingung. Karena enggak ada lab-nya,” ucap Selasa (8/10).
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menepis pesimisme tersebut, dan menegaskan bahwa lembaganya siap menjalankan sertifikasi ini. Menurutnya, laboratorium bukan unsur utama, tetapi pendukung jika ada kasus tertentu.
Baca Juga: Peraturan Menteri dan Upaya Menyelingkuhi Konsumen Muslim
Fasilitas laboratorium bisa menggunakan milik PTN dan Kementerian serta Lembaga dengan akreditasi ISO17025 di seluruh Indonesia. Sukoso memastikan tidak ada batasan untuk produk yang bisa mendapat sertifikasi. Sebab ketentuan ini sudah diatur dalam pasal 1 UU No.33/2014 bahwa definisi produknya tidak hanya produk makanan dan minuman, serta kosmetik yang dibuat secara biologi hingga kimiawi.
"Baca UU 33 Tahun 2014. Pasal 1 barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat," ucapnya sepeeti dikutip Tirto, Rabu (9/10).
Bertahap
Staf Ahli Menteri Agama Bidang Hukum Janedjri M Gaffar mengatakan bahwa sertifikasi halal yang dimulai pada 17 Oktober 2019 meliputi makanan dan minuman atau mamin. Untuk standar kehalalan lainnya, akan dilakukan bertahap baik itu obat, barang, sampai jasa. "Baru kemudian dilanjutkan dengan obat, barang, jasa, penyembelihan, penyimpanan, akan diatur secara bertahap,” ucapnya.
Belakangan, produk mamin pun diberi kelonggaran. Menurut BPJPH, sertifikasi produk halal untuk industri mamin dilaksanakan sepanjang lima tahun hingga 17 Oktober 2024. Masa kewajiban bersertifikat halal mulai 17 Oktober 2019, namun pemberlakuan itu dilakukan secara bertahap.
Sumber: Kemenlu
Di awal-awal masa pemberlakuan sertifikasi halal, BPJH baru akan melakukan pembinaan kepada para pelaku industri mengenai pentingnya sertifikasi.
Lagi pula, sebagai badan yang baru seumur jagung, BPJH juga perlu mempersiapkan semua infrastruktur pendukungnya, baik sumber daya manusia maupun berbagai aturan pendukung teknis, seperti peraturan menteri keuangan dan peraturan menteri agama. “Kami otomatis baru bekerja pada 2018,” tambah Sukoso.
Selain itu, BPJPH juga akan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, terutama aparat penegak hukum agar selama lima tahun ke depan pengaduan dari masyarakat mengenai produk-produk yang belum tersertifikasi tidak berlanjut ke ranah pidana. Kerja sama itu juga untuk mencegah ketakutan industri akan adanya razia-razia yang dilakukan oleh aparat.
Baca Juga: Siap Nggak Siap Label Halal
Ketakutan atau kekhawatiran industri mamin atau yang terkait dengan sertifikasi halal memang sangat beralasan. Soalnya, industri mamin saja memiliki cakupan sangat luas dan beragam. Jadi perlu waktu yang sangat panjang untuk melakukan sertifikasi halal.
Saat ini ada jutaan pelaku usaha mamin yang belum bersertifikat halal. Belum lagi sektor usaha yang lain. Ada puluhan juta pelaku usaha yang wajib disertifikasi halal.
Sumber: Detik
Itulah perlunya transisi. Masalahnya, proses sertifikasi itu bisa memakan waktu rata-rata tiga bulan, bahkan bisa bertahun- tahun. Lamanya proses sertifikasi itu bisa disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari kerumitan bahan baku yang mesti diproses di laboratorium hingga jumlah lembaga pemeriksa halal dan auditornya. Hingga saat ini, belum satu pun terbentuk lembaga pemeriksa halal (LPH) yang dibentuk oleh BPJPH.
Mastuki HS, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, BPJPH, seperti dikutip dari situs Kementerian Agama, menambahkan selain itu BPJPH juga belum bisa mengeluarkan surat keterangan akreditasi LPH karena dalam pemeriksaan keabsahan dokumen dan visitasi lapangan atas pengajuan LPH harus melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tujuannya, untuk memastikan kelaikan dan kelayakan proposal, terutama dari aspek kesesuaian syariah atau halal terpenuhi.
BPJPH memang sudah memiliki “partner strategis” untuk melakukan proses sertifikasi halal, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) yang merupakan LPH eksisting. Kendalanya, lembaga ini hanya memiliki sekitar 1.500 orang auditor halal. Sudah begitu, sebagian besar di antaranya bahkan bekerja paruh waktu.
Makanya, selama proses sertifikasi halal belum bisa dilakukan, pemerintah diminta memastikan tidak ada razia atau sweeping terhadap pelaku usaha mamin. Asosiasi juga menegaskan tidak ada penindakan hukum pidana bagi pelaku usaha dan produk tanpa label halal dapat terus beredar dalam masa transisi.
Soal Biaya
Kekhawatiran terhadap razia atau diperkarakan secara hukum itu bukan bualan belaka. Levita Supit, Ketua Umum Waralaba dan Lisensi Indonesia, menyatakan ada oknum yang mengambil untung dari adanya kewajiban sertifikasi halal. Levita bercerita, salah satu pengusaha pernah dipanggil kepolisian saat mengajukan surat tanda bisnis. Padahal, pelaku usaha yang bersangkutan tengah mengajukan izin ke kementerian terkait. “Jangan sampai nanti ketika tidak ada label halal lalu ada niat disikat dan dipalak,” katanya.
Sekarang yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah dampak terhadap proses sertifikasi halal ini. Jangan hanya karena ingin mengejar pasar halal yang nilainya mencapai triliunan rupiah, sertifikasi halal justru menjadi kontraproduktif terhadap industri makanan dan minuman. Soalnya, biaya sertifikasi ini bisa dibilang tidaklah murah.
Sumber: Infobrand.id
Baca Juga: Bukan Sekadar Label Halal
Biaya admininitrasi yang terlihat di depan memang berkisar antara Rp1 juta hingga Rp10 juta. Di luar itu masih ada biaya proses sertifikasi, seperti asal produk, suplly chain, dll, yang mesti ditanggung oleh pelaku usaha.
Tak pelak, pelaku usaha mamin dari kalangan UMKM sangat berkeberatan dengan proses sertifikasi ini. Mereka berpandangan bahwa proses sertifikasi ini akan menimbulkan masalah. Misalnya, sesuai dengan UU-nya, semua produk dari satu produsen harus disertifikasi sehingga membutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Sampai saat biaya sertifikasi halal tidak transparan,” kata Ikhsan Ingratubun, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia seperti dikutip Sindo Weekly, edisi 7 Oktober.
Masalah selanjutnya, menurut Ikhsan, adalah akan terciptanya kompetisi persaingan yang tidak sehat. Jika ada UMKM yang sudah melakukan sertifikasi, lalu mengetahui ada pesaingnya yang belum maka bisa saja dia melaporkan atau melakukan kampanye hitam sehingga pesaingnya menjadi terganggu. “Jadi sangat merugikan UMKM yang belum melakukan sertifikasi,” tandasnya.
Sumber: Rakyatmerdeka
Kalangan UMKM kemudian berpandangan, jika mereka memang diwajibkan maka biaya sertifikasi itu sebaiknya digratiskan atau nol rupiah. Dengan begitu, UMKM akan memiliki nilai tambah karena memiliki sertifikasi halal sehingga mendongkrak penjualan mereka. “Untuk merangsang UMKM melakukan sertifikasi, pemerintah memberikan subsidi berupa digratiskan. Itu akan membuat mereka berbondong-bondong,” tambah Ikhsan.
Menanggapi permintaan atau usul agar UMKM digratiskan, BPJPH menyatakan ada beberapa implikasi serius dari situ. Di antaranya, kalau digratiskan akan berdampak pada perolehan pemasukan badan sebagai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang harus mengurusi administrasi dan kebutuhan operasionalnya. “Kedua, siapa yang akan menanggung biaya operasional LPH dalam memeriksa atau menguji produk, dan MUI yang melaksanakan sidang fatwa,” kata Mastuki.
Kendati demikian, BPJPH bukannya menutup mata atas keluhan pelaku UMKM. Makanya, mereka kemudian merancang besaran tarif yang dianggap tidak memberatkan usaha kecil. Biaya sertifikasi halal untuk UMKM diperkirakan Rp1 juta-Rp1,5 juta. Keputusan besaran tariff itu sampai saat ini masih menunggu persetujuan Kementerian Keuangan. “Itu sedang diajukan ke Kemenkeu,” kata Sukoso.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.