Bukan Hoaks, 22 Juta Rakyat Terpapar Kelaparan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi Foto: Detik

Bukan Hoaks, 22 Juta Rakyat Terpapar Kelaparan

Ceknricek.com -- Laporan Asian Development Bank (ADB) bertajuk "Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045" boleh jadi membuat banyak orang Indonesia terbengong-bengong. Bagaimana tidak, ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) melansir pada 2016-2018, sekitar 22 juta orang warga Indonesia menderita kelaparan.

Sumber: Istimewa

Boleh jadi ada pihak yang tidak percaya bahkan menganggap hoaks dengan laporan itu. Soalnya, ada anekdot berkembang di tengah masyarakat tentang kemakmuran. “Jika dulu, anak-anak menangis karena minta makan. Kini, anak-anak menangis karena disuruh makan”. Makan di sini mesti diterjemahkan makanan pokok yang populer dengan sebutan empat sehat lima sempurna: nasi, lauk pauk, sayur mayur, buah-buahan, dan susu.

Anak-anak lebih menyukai fast food. Maka tidak jarang di banyak tempat di negeri ini pemandangan anak-anak gendut dengan kedua orang tua yang gendut pula. Mereka adalah kaum penderita obesitas.

Jumlah anak di Indonesia yang mengalami obesitas, menurut data Riskesdas 2013,  terus mengalami peningkatan. Setidaknya terdapat 18,8% anak yang mengalami obesitas dengan rentang usia antara 5-12 tahun.

Obesitas terjadi lantaran banyak melahap makanan. Sudah begitu tidak diimbangi berolahraga. Singkat cerita: makan banyak, tetapi sedikit gerak. Si gendut biasanya keranjingan bermain gadget, serta gemar mengonsumsi makanan berkalori tinggi. Akibatnya, proses pembakaran lemak dan kalori di dalam tubuh pun tidak maksimal. Kebiasaan inilah yang kemudian memicu terjadinya obesitas.

Baca Juga: Menteri Sri Akhirnya Ngaku Krisis Telah Datang

Bagi sebagian kalangan, gemuk adalah lambang kemakmuran. Apalagi gendut, tentu lebih dari itu. Seorang bos digambarkan sebagai figur si gendut dengan jas dan dasinya. Nah, kini si gendut ada di mana-mana, di desa dan di kota.

Kolam Susu

Lha, kok bisa-bisanya ADB mengeluarkan laporan seperti itu? Indonesia, kan, negara yang gemah ripah, loh jinawi. Negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Koes Plus dalam syair lagunya menyebut, tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Lautan bak kolam susu. Kail dan jala bisa menjadi sumber penghasilan.

Sumber: Ekonomi Bisnis

Tidak salah ungkapan seperti itu. Tapi apa yang diungkap Badan Pusat Statistik (BPS) yang bisa menjadi fakta. Pada tahun 2017, jumlah penduduk Indonesia 264 juta jiwa. Dari jumlah itu, 26% hidup miskin. Jumlah itu adalah 10% dari jumlah penduduk. Mereka masuk kategori miskin karena pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Kepala BPS, Suhariyanto, merincikan jika rata-rata satu rumah tangga di Indonesia memiliki 4 hingga 5 anggota keluarga, maka garis kemiskikanan rata-rata secara nasional sebesar Rp1.990.170 per rumah tangga per bulan. Artinya, apabila ada satu rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah itu masuk ke dalam kategori miskin.

Jadi orang akan dikategorikan miskin kalau pendapatannya di bawah Rp1,99 juta. Hanya saja, perlu juga diketahui bahwa garis kemiskinan di tiap daerah berbeda.

Laporan ADB tentang 22 juta warga negara Indonesia terpapar kelaparan dalam laporannya, Rabu (6/11) itu, boleh jadi memang mengejutkan. Soalnya, jumlah warga Indonesia yang kelaparan itu sama dengan 90% dari jumlah orang miskin Indonesia. Jumlah itu juga setara dengan tiga kali lipat penduduk Singapura. "Banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak cenderung stunting,” tulis laporan tersebut.

Fakta lainnya, Indonesia menempati urutan ke-65 di antara 113 negara dengan Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) yang dirilis Economist Intelligence Unit (The Economist 2018). Peringkat Indonesia itu terbawah dibandingkan Singapura pada urutan pertama, Malaysia ke-40, Thailand ke-54, serta Vietnam ke-62. "Karena akses untuk mendapatkan makanan di Indonesia cukup rendah," kata laporan itu.

Baca Juga: Gagal Bayar Bisa Giring Krisis Seperti 1997

Sumber: Istimewa

Bukan hanya ADB yang mengeluarkan laporan begitu. Menurut Global Hunger Index 2018, Indonesia juga disebut memiliki masalah kelaparan tingkat serius yang memerlukan perhatian lebih.

Dalam laporan tersebut, lembaga nirlaba Welthungerhilfe dan Concern Worldwide menghitung indeks global kelaparan berdasarkan empat indikator. Di antaranya adalah kasus kurang gizi dari populasi penduduk, stunting pada anak usia di bawah 5 tahun, kematian anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di bawah 5 tahun yang tidak dirawat dengan baik.

Adapun indeks kelaparan di Indonesia mendapat skor 21,9 dan berada pada tingkat serius untuk ditangani.

Investasi Pertanian

Data pemerintah lain lagi. Menurut Kementerian Pertanian, sebanyak 88 daerah kota dan kabupaten mengalami rentan rawan ketersediaan pangan. "Kita akan coba benahi 88 daerah ini. Saya berharap seluruh kementerian lembaga, pemerintah daerah untuk menyatu dan berkonsentrasi," kata Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, beberapa waktu lalu.

Sumber: Twitter

ADB mengingatkan Indonesia sejatinya dapat mengurangi kasus kelaparan pada 2030 dan mengakhirinya pada 2045 dengan catatan, negeri ini meningkatkan investasinya di bidang pertanian. Sistem dan pasar pangan perlu dimodernisasi sehingga lebih efisien.

Baca Juga: UMP Kecil, Jadi Pahlawan Devisa Saja

Selain itu, produksi pangan ditingkatkan, sinergi antara investasi dan kebijakan harus menciptakan lebih banyak peluang dan efisiensi dalam mencapai ketahanan pangan bagi masyarakat.

Sumber: TheEconomistIntelligenceUnit

Singkat cerita, untuk menghapus angka kelaparan, Indonesia perlu peningkatan investasi di sektor pertanian dan perdesaan untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan, dan meningkatkan efisiensi pasar pangan.

Selain investasi, pusat penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur irigasi dan infrastruktur perdesaan juga harus ditingkatkan.

Belakangan pemerintah agak membelakangi sektor pertanian. Akibatnya, kontribusi sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) menurun drastis. Pada 1975 kontribusi sektor pertanian terhadap total PDB masih 30%, lalu turun menjadi 13,1% pada 2017. Di sisi lain, situasi tenaga kerja pertanian juga menurun dari 62% terhadap total tenaga kerja Indonesia tahun 1975 menjadi hanya 29,7% tahun 2017.

Padahal, sektor pertanian dapat menghasilkan banyak manfaat tambahan ekonomi. Dan yang paling mendasar ialah memastikan ketahanan pangan untuk memberantas kelaparan.

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait