Bukan Sekadar Jatah NU Diambil TNI | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Medcom

Bukan Sekadar Jatah NU Diambil TNI

Ceknricek.com -- Menteri agama lazimnya adalah seorang muslim yang fasih membaca doa dalam bahasa Arab. Bukan sekadar doa “sapu jagat” yang berbunyi Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa adzaaban naar. Ya, setidak-tidaknya dia mesti lulusan pesantren atau sekolah yang mengajarkan agama Islam secara memadai. Selain itu, ia mesti memahami kultur muslim sebagai agama yang mayoritas dipeluk penduduk Indonesia. Bisa juga dia merupakan figur aktivis Islam.

Itu bila berkaca kelaziman yang terjadi sejak republik ini berdiri. Sejak zaman Orde Lama di bawah Presiden Sukarno.

Menteri Agama pertama dijabat Kiai Abdul Wahid Hasjim, putra Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Setelah itu, jika bukan kader NU maka jabatan Menteri Agama diberikan kepada kader Partai Masyumi, juga kader Muhammadiyah. Pada era Orla, kader Muhammadiyah yang pernah menjabat Menteri Agama adalah KH Fakih Usman (1952). Lalu, pada Kabinet Gotong Royong ada Prof. Abdul Malik Fadjar.

Hanya saja, pada era Orde Baru, Golkar menguasai seluruh lini, termasuk pos Menteri Agama. Kader Golkar yang sempat duduk sebagai Menteri Agama adalah Mukti Ali, Alamsyah Ratu Perwiranegara, dan Munawir Sjadzali. Selain nama-nama tersebut, Presiden Soeharto menunjuk Menteri Agama dari unsur ulama.

Sumber: Istimewa

Hanya Alamsyah Ratu Perwiranegara Menteri Agama di zaman Orde Baru yang memiliki latar belakang pendidikan agama kurang memadai. Alamsyah adalah pensiunan tentara dengan pangkat letnan jenderal. Dia tidak memiliki latar belakang pendidikan agama.

Sumber: Istimewa

Sedangkan Mukti Ali terkenal sebagai ulama ahli perbandingan agama yang meletakkan kerangka kerukunan antarumat beragama di Indonesia sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika atau istilah yang sering dipakainya "Setuju dalam Perbedaan." Ia juga terkenal sebagai cendekiawan muslim yang menonjol sebagai pembaharu pemikiran Islam melalui Kajian Keislaman (Islamic Studies).

Lalu, Munawir Sjadzali di waktu muda adalah pejuang laskar Hizbullah. Ia termasuk dalam kategori Angkatan 1945. Ia banyak menulis buku tentang Islam dan politik Islam.

Jatah PPP atau PKB

Sebelum susunan kabinet diumumkan, Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB sudah menyiapkan kadernya untuk jabatan itu.

Sekretaris Jenderal PPP, Arsul Sani, bilang partainya mengincar portofolio Menteri Agama dan Menteri Koperasi dan UKM di kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Arsul mengatakan dua bidang itu sejalan dengan apa yang menjadi fokus partainya, yakni lembaga pendidikan berbasis keagamaan dan ekonomi kerakyatan.

Sumber: Istimewa

"Kan cuma dua kluster aja yang kami ajukan, yaitu penguatan lembaga pendidikan keagamaan, tentu untuk semua agama dan pondok pesantren dan juga penguatan ekonomi kerakyatan terutama untuk kalangan umat Islam lah," katanya.

Baca Juga: Kabinet Baru

Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, juga mengingatkan Menteri Agama biasanya menjadi jatah NU. "Mayoritas agama Islam kan NU," katanya. Dia juga bilang Menteri Agama harus memiliki terobosan-terobosan cara pandang. "Yang penting kementerian agama harus punya terobosan baru hadapi cara pandang keagamaan," katanya.

Bravo 5

Rupanya, harapan dua partai ini tak kesampaian. Dalam Kabinet Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo mengangkat Jenderal Purnawirawan TNI Fachrul Razi untuk urusan yang ia sebut sebagai “urusan berkaitan radikalisme, ekonomi keumatan dan terutama haji" ini.

Fachrul jelas bukan kader PPP maupun PKB. Dia adalah Ketua Tim Bravo 5, tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019 yang beranggotakan para purnawirawan TNI lulusan Akademi Militer (Akmil) angkatan 1970-an.

Sumber: Okezone

Tim yang terbentuk sejak 2013 ini juga sempat membantu pemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 yang maju bersama Jusuf Kalla. Kala itu, Jokowi-JK mengalahkan paslon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Ya, Fachrul  adalah pensiunan tentara. Ia merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1970 dan ditempatkan di kesatuan infanteri. Jabatan puncak yang pernah diraih adalah Wakil Panglima TNI (1999-2000).

Pria kelahiran Aceh 26 Juli 1947 ini pangkatnya meroket di era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun ia hanya menjabat sebagai wakil panglima tak berlangsung lama. Ia diberhentikan melalui Keputusan Presiden terkait penghapusan jabatan wakil panglima. Hingga saat ini jabatan wakil panglima pun ditiadakan.

Baca Juga: Bisakah Wishnutama Memenuhi Harapan Presiden Jokowi?

Fachrul juga dikenal sebagai salah satu dari tujuh anggota Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang meneken surat rekomendasi pemberhentian secara terhormat terhadap mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto pada tahun 1998. Surat rekomendasi itu turut ditandatangani sejumlah tokoh seperti Soesilo Bambang Yudhoyono dan Agum Gumelar.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) pernah mengkritisi tokoh ini sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab atas kasus pelanggaran HAM pada tahun 1998.

Beberapa jabatan strategis di tubuh TNI yang pernah didudukinya adalah Gubernur Akademi Militer (1996-1997), Asisten Operasi Kepala Staf Umum ABRI (1997-1998), Kepala Staf Umum ABRI (1998-1999), dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan (1999).

Fachrul bukan santri. Tak ada catatan ia pernah masuk pesantren. Dia juga bukan aktivis Islam, atau sekolah dengan pengajaran agama Islam yang memadai. Ia adalah Menteri Agama pilihan Jokowi di Kabinet Indonesia Maju.

Menteri Antiradikalisme

Rupanya, figur Menteri Agama sengaja dipilih dari unsur purnawirawan TNI karena Jokowi ingin mengubah tugas-tugas Kementerian Agama. Presiden menginginkan kementerian ini mengurus hal-hal terkait radikalisme. Istana menghendaki Meteri Agama mesti garang.

Usai dilantik Fachrul Razi pun mengungkap segera mencari formula memerangi radikalisme. Jika formula sudah ditemukan, maka Kemenag tidak akan segan-segan untuk memberantasnya. "Pokoknya hantam," ujarnya.

Sumber: Kompas

Inilah yang mengundang komentar pedas Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsudin.  "Tadi diberitakan dewan pertimbangan MUI mengkritisi kalau menteri agama baru memberantas radikalisme, waduh sebut saja itu kementerian antiradikalisme," katanya, seperti dikutip Okezone, Rabu (23/10).

Sumber: RMOL

Eks Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan seharusnya, tugas Kementerian Agama, bukan memberantas hal semacam itu. Namun, Kemenag memiliki peranan untuk membangun bangsa. "Kementerian Agama itu membangun moralitas bangsa, mengembangkan keberagamaan ke arah yang positif konstruktif bagi bangsa menjaga kerukunan meningkatkan kerukunan kualitas keagamaan, itu fungsi - fungsinya sudah ada sejak kelahirannya," ujarnya.

Baca Juga: Kabinet Hasil Dramaturgi Jokowi

Din meminta Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran keagamaan. Maka, jangan dibelokkan karena antiradikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan. "Kenapa tidak boleh sebut radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan, itu namanya radikalisme ekonomi, kenapa tidak radikalisme politik," ujarnya.

Alihfungsi sekaligus memindahkan jatah NU kepada eks TNI juga mengundang rasa kecewa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pengurus Rabithah Ma"ahid Islamiyah (RMI) PBNU, Ridwan Darmawan, menganggap Jokowi kurang menghargai kontribusi warga NU saat ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pasalnya, warga dan para Masyayikh NU berperan besar dalam memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sikap Jokowi yang tidak menghargai "keringat" yang telah dikeluarkan warga nahdliyin. Apalagi, banyak kader NU yang pantas menjabat menteri agama, baik yang menjadi pengurus NU maupun yang berada di berbagai partai politik.

BACA JUGA: Cek  AKTIVITAS PRESIDEN, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait