Ceknricek.com--Di banyak kesempatan, menkes terlalu sering menarasikan tentang Jumlah Dokter Spesialis yang memang kurang sehingga berakibat banyak daerah yang tidak atau belum punya dokter spesialis. Menkes bahkan terang-terangan menuduh Organisasi Profesi Dokter atau IDI sebagai Biang Kerok dari sulitnya menempatkan dokter spesialis di banyak daerah, khususnya daerah 3 T (terluar, termiskin, dan terpencil) (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6540887/menkes-buka-bukaan-soal-izin-praktik-dokter-setoran-hingga-abuse-of-power?). Sulitnya memperoleh rekomendasi IDI setempat untuk pengurusan SIP bahkan sampai tuduhan adanya Abuse of Power oleh IDI perlu dibuktikan kebenarannya atau sebaliknya merupakan tuduhan tanpa bukti alias hoaks yang memang terus diulang-ulang oleh pejabat yang satu ini.
Persoalan ketersediaan tenaga kesehatan dan tenaga pendidik/ guru adalah tanggung jawab konstitusional kehadiran negara yang bertujuan uktuk mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan seluruh warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Semenjak tahun 2000 (24 tahun yang lalu), ada program pemerintah untuk bisa menghadirkan 7 dokter spesialis dasar (Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Bedah, Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Anestesi, Radiologi, dan Patologi Klinik) di 514 RSUD Kabupaten/Kota. Pemerintah terus berganti dari pemilu ke pemilu, 5 atau 6 Menteri Kesehatan saling berganti, rasanya belum pernah ada program pemerintah yang terstruktur dan berkelanjutan guna memenuhi target program tersebut. Akibatnya hingga saat inipun program penempatan 7 dokter spesialis dasar tersebut baru separuh yang terpenuhi (disampaikan oleh menkes dalam forum Meridian, Forum Alumni FKKMK UGM, Desember 2022 lalu).
Kegagalan lain terkait distribusi nakes adalah tidak tercapainya pemenuhan tenaga kesehatan sesuai standar untuk puskesmas yang hanya mencapai 56% dari target sebanyak 83% jumlah puskesmas berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 (https://katadata.co.id/yuliawati/berita/647dba44ad349). Pernyataan menkes saat Dies FKG UI di Makara Art Center, 8-12-2022, dari 10.292 puskesmas, ada 3285 (31,6%) Puskesmas yang tidak punya dokter gigi (https://www.liputan6.com), padahal produksi dokter gigi saat ini mencapai 2500 orang setiap tahun. Hanya menkes dan jajarannya yang paling tahu kenapa para dokter gigi tidak mau atau tidak bisa ditempatkan di 3285 Puskesmas tsb.
Dilihat dari sudut pandang hak dari masyarakat di seantero negeri untuk memperoleh layanan Kesehatan yang berkualitas, kegagalan dalam pemenuhan layanan spesialistik dasar ini adalah sebuah ketidak adilan sosial. Program Jaminan Kesehatan Nasional dengan Universal Coverage ini dibiayai oleh iuran (BPJS) dari semua peserta di seluruh negeri, tetapi faktanya layanan spesialistik dasar tersebut hingga saat ini tidak bisa atau belum bisa dirasakan manfaatnya oleh mereka yang tinggal di daerah/ wilayah yang belum mempunyai 7 dokter spesialis dasar tersebut.
Mengapa Dokter dan Dokter Spesialis Enggan Bekerja di Daerah
Ratusan tenaga kesehatan dipecat usai demo menuntut kenaikan gaji, demikian headline berita di DetikHealth, hari Jum’at 12 April 2024, tepat hari kedua setelah hari raya Idul Fitri 1445 H lalu (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7289630/ratusan-nakes-di-ntt-dipecat-usai-demo-kemenkes-buka-suara). Aksi unjuk rasa sekitar 300 nakes tsb. dilakukan di Kantor Bupati Manggarai, NTT, untuk menuntut perpanjangan Surat perintah Kerja (SPK) dan meminta kenaikan gaji agar setara Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Yang paling menyedihkan terkait peristiwa ini bukanlah soal pemecatan tsb. tapi komentar sang menteri yang selalu mengumbar janji untuk memperbaiki kesejahteraan tenaga kesehatan. “Ini merupakan kewenangan daerah terkait pengangkatan nakes karena tergantung kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran,“ demikian kata kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes.
Awal Januari tahun lalu, RSUD Chasan Boesoirie di Ternate, Maluku Utara tidak bisa memenuhi hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 Nakes ASN, 200 Nakes Non-ASN, serta 20 dokter kontrak (https://indotimur.com/kesehatan/). Awal Juli 2023 lalu, Dokter Spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Pulau Buru menyatakan mogok kerja karena TPP nya tidak dibayarkan selama 11 bulan (https://trans7/official/redaksi). Tidak berapa lama kemudian menyusul demo para dokter spesialis RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan RSJ Abepura terkait penerimaan TPP yang tidak sesuai dengan Pergub (https://www.kompas.tv/regional/438591).
Persoalan tentang nakes yang dipaksa bekerja rodi, dengan hak kesejahteraan yang cenderung diabaikan adalah sebuah ‘Fenomena Gunung Es’. Dengan otonomi daerah, Kesehatan termasuk bidang yang diotonomikan, seharusnya Pemerintah Daerah juga secara tanggung-renteng punya tanggung-jawab terkait Kesejahteraan dan karir Nakes di daerah. Tapi fakta yang terjadi adalah menkes tidak pernah sekalipun melibatkan Pemda dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan, pembahasan, bahkan sampai pengesahan UU 17/2023 (kesaksian dari Melki Laka Lena, wakil Ketua Komisi IX, dalam sidang Uji Formil UU 17/2023 di Mahkamah Konstitusi, 11/1/2024). Artinya, terkait Nasib, Kesejahteraan, dan Jenjang Karir Dokter dan Nakes di daerah, menkes harus bertanggung-jawab sepenuhnya dan tidak bisa mengelak apalagi menyalahkan Pemerintah Daerah.Karut Marut
Distribusi Dokter dan Nakes, Bukti Kegagalan Menkes dan Kemenkes
Persoalan kronik dan krusial terkait layanan kesehatan di negeri ini adalah maladistribusi dokter, rasio dokter di DKI saat ini 1:680 tetapi di Sulawesi Barat rasionya 1: 10.417, jadi diskrepansinya lebih dari 15 kali lipat. Untuk dokter spesialis rasionya 52/ 100.000 di DKI dan 7/100.000 di Papua dan Maluku, diskrepansinya lebih dari 8 kali lipat. Secara keseluruhan, 30 dari 38 propinsi masih kekurangan dokter spesialis. Bahkan saat ini dari 514 RSUD kabupaten/ Kota, ada 34% yang belum terpenuhi keharusan memiliki 7 Spesialis Dasar dan Penunjang, padahal program ini sudah berjalan lebih dari 20 tahun.
Ini semua adalah tanggung jawab Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bukan organisasi profesi. Sebagai solusi mengatasi maladistribusi ini, dari pertemuan di Solo akhir 2022, AIPKI sudah meminta pemerintah agar FK baru dibuka di daerah yang belum memiliki FK, Kemkes mesti duduk bersama Kemendikti-Ristek dan kepala daerah/ Gubernur, serta telah berupaya mengingatkan menkes terkait kesejahteraan dokter. Tapi lagi-lagi, dari 19 FK baru, 65% ada di Jawa, dan hanya 3 (15%) yang betul-betul di daerah yang membutuhkan, yaitu Univ. Bangka-Belitung, Univ. Maritim raja Ali Haji di Riau Kepulauan, dan Univ. Borneo Tarakan. Jadi jangan pernah berharap para lulusan dari FK Baru yang ada di Jawa akan mau mengisi kekurangan dokter di daerah Luar Jawa, apalagi mereka semuanya sekolah dokter dengan biaya sendiri, bukan dibiayai kemenkes.
Narasi Asal Bunyi (Asbun) para petinggi kemenkes, akibat dari Stupid Leadership
Jadi bisa disimpulkan, Pemda tidak boleh disalahkan terkait persoalan distribusi dan kesejahteraan dokter dan nakes di daerah, karena tidak satupun pasal atau ayat dalam UU 17/2023 mengatur perubahan otonomi daerah tentang kesejahteraan dan jenjang karir dokter dan nakes di daerah. Menkes adalah orang yang paling bertanggung-jawab terkait kegagalan distribusi dokter, dokter gigi, dan nakes di pelbagai daerah di negeri ini. Jawaban menkes lewat Ka Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik terkait kasus pemecatan 300 Nakes di Manggarai, menggambarkan sebuah Stupid Leadership di Kemenkes yang dalam Budaya Jawa layak disebut sebagai ‘Tinggal Glanggang Colong Playu’, lawan kata dari Sikap Ksatria.
Pernyataan menkes bahwa Pemerintah tidak memiliki kewenangan dalam mendistribusikan dokter adalah sebuah kebohongan yang nyata dan bertujuan untuk mendiskreditkan organisasi Profesi Dokter dan Nakes. Berdasarkan UU No. 36/2014, pasal 13 dan pasal 25 menyatakan bahwa “Distribusi Dokter dan Nakes berada di tangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah”, bukan Organisasi Profesi atau IDI. Bahkan dalam Raker dengan Komisi IX DPR RI, Selasa 24 Jan.2023, menkes jelas-jelas menuduh dan menyalahkan IDI sebagai ‘Biang Kerok’ kurangnya produksi dokter dan kegagalan distribusi dokter (DetikHealth, Minggu 29 Jan.2023). Bagi kita yang memahami masalah, ini adalah cermin dari kegagalan menkes dan kemenkes dalam membuat perencanaan dan pemetaan tentang kebutuhan dokter di Indonesia. Tuduhan menkes pada Organisasi Profesi Dokter dan Nakes ibarat ‘Menepuk Air di Dulang, Terpercik Muka Sendiri’.
Pada kesempatan lain, dirjen nakes drg. Ariyanti Anaya saat memberikan sambutan di Kampus UMY, Kasihan, Bantul, tg.20-8-2024 (https://www.detik.com) menyatakan bahwa karena jumlah dokter yang hanya 0,4: 1000, padahal menurut WHO idealnya 1: 1000 , “karena dokternya sedikit, maka dokternya menjadi Arogan”. Ini jelas merupakan tuduhan tanpa bukti alias fitnah dan sebuah stigmatisasi buruk yang berbahaya terhadap profesi dokter, sebagaimana juga fitnah lain dari menkes terkait pemerasan dalam IDI, tentang stetoskop yang tidak ilmiah, dan masih banyak lagi. Kelanjutan dari fitnah tersebut di atas “Karena kurang tenaga dokter, setiap tahun lebih dari 2 juta penduduk Indonesia berobat ke luar negeri”. Pernyataan ini jelas ngawur dan kekanak-kanakan, bak seorang pasien dengan Flight of Idea, yang kekurangan tenaga dokter jelas bukan di kota-kota besar, sedangkan yang berobat ke luar negeri jelas berasal dari perkotaan, bukan berasal dari daerah yang kekurangan dokter.
Semua program yang bertujuan baik bagi negeri ini tidak akan bisa terwujud tanpa adanya kolaborasi berbagai pihak yang saling terkait. Sayangnya, kolaborasi yang egaliter ini menjadi ranah yang selama ini dijauhi oleh menkes dan jajarannya, setidaknya sejak hadirnya UU 17/2023. Yang sering terjadi adalah instruksi atasan kepada bawahan lewat berbagai Surat Edaran (SE), bahkan kepada institusi external yang setara-pun yang diperlihatkan adalah sikap arogansi kekuasaan. Contoh terakhir adalah surat dirjen yankes No. TK.02.02/D/45687/2024 tentang Perjanjian Kerjasama (PKS) RS Pendidikan. Meski seolah ditujukan kepada Dirut RS Vertikal (RSV), tapi terbaca jelas pesan bernada mengancam untuk memutus hubungan kerjasama dengan Rektor/ Dekan pemilik FK yang tidak segera menyelesaikan PKS dengan RSV tsb.
Dekan FKUI merespon surat dirjen yankes tsb. dengan Nota Dinas Nomor ND-7827/UN.FI.D/ PDP.01/2024 yang isinya mengajak semua Ketua Program Studi Spesialis dan Subspesialis untuk lebih memanfaatkan RSUI (sebagai pengganti RSCM) sebagai lahan praktek mahasiswa PPDS. Semua orang tahu bahwa selama lebih dari 100 tahun, UI dan RSCM telah bersama-sama mendidik dokter Indonesia, bahkan sebelum negeri ini berdiri. Surat dirjen yankes bernada ancaman tersebut selain tidak menghargai Sejarah Kebangsaan, juga mewakili sifat dan sikap para petinggi kemenkes yang sombong, arogan, sok kuasa, dan tidak punya Nurani.
Pernyataan dari para petinggi kemenkes yang ngawur, menuduh tanpa berbasis bukti, bahkan cenderung menjadi sebuah fitnah keji, bernada arogan dan sombong, sok berkuasa, semuanya ditujukan untuk meruntuhkan muruah dan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada profesi Dokter dan Institusi Pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia. Sikap menkes dan para petinggi nya yang anti kolaborasi, tidak menghargai peran dan bahkan cenderung merendahkan pihak lain yang berbeda pendapat, semuanya adalah cerminan dari Stupid Leadership.
#Zainal Muttaqin, Praktisi Medis Bedah Saraf, Guru Besar FK Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim