ENCORE: Drama 4 Babak Kepolisian RI | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

ENCORE: Drama 4 Babak Kepolisian RI

Ceknricek.com--Tak ada yang membayangkan. Urusan pembunuhan Brigadir J di kediaman komandannya -- Inspektur Jenderal Ferdy Sambo -- bakal berkepanjangan dan melebar ke mana-mana seperti sekarang. Walaupun keterkaitan satu kejadian dengan yang lain, belum terbukti. Tapi kasus-kasus susulan pasca kebejatan yang sedang ditersangkakan pada mantan Kadiv Propam Polri itu -- dia terduga otak sekaligus pelaku pembunuhan Brigadir J yang sehari-hari menjadi ajudan istrinya -- seakan ingin membuktikan satu hal. Bahwa institusi penegak hukum Kepolisian RI yang mestinya melayani dan melindungi masyarakat itu, tak seperti kesan dan pesan yang selama ini 'mereka rekayasa' ke benak publik.

Oknum yang berprilaku lancung dan amat sangat keterlaluan nyatanya bukan dari kalangan berpangkat rendah saja. Tapi juga perwira-perwira tingginya. Malah yang terpilih memimpin divisi penegakan profesi dan pengamanan internal mereka. Terbunuhnya Birgadir J menguak kotak pandora yang sebelumnya menjadi dengung sindiran dan bisik-bisik kencang publik luas. Bahwa dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, mereka kerap 'tajam ke bawah tumpul ke atas'. Hal yang membuat jeri banyak masyarakat ketika perlu berurusan dengan mereka. Walau dalam rangka upaya untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan yang menjadi hak konstitusinya.

Sikap dan prilaku lancung di kalangan jenderalnya yang kini sedang mengemuka, teramat sulit diterima akal sehat. Terutama setelah rezim kekuasaan sebelumnya yang ramai-ramai kita tuding otoriter -- Soeharto dan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun -- perlu dan harus digulingkan.

Apa yang terpampang di depan mata kita sekarang, dapat disimpulkan sebagai fenomena yang tak jauh berbeda. Bahkan kemungkinan besar lebih runyam dan menyedihkan. Setidaknya -- dengan pola kekuasaan terpusat era kepemimpinan Soeharto dulu -- upaya menutupi kebobrokan dan kelancungan dilakukan lebih terstruktur dan sistematis. Tak demikian telanjang seperti akhir-akhir ini sehingga menyebabkan kebingungan bagi mayoritas kalangan awam yang sudah tunggang-langgang menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Hal yang menyebabkan rentan dipecah-belah. Seperti lewat perpolitikan identitas yang pasca reformasi 1998 justru subur berkembang. 

Alih-alih menutupi, kekacauan moral dan disiplin oknum Bhayangkara, hal yang terkuak malah semakin parah dan sangat memalukan. Bahkan menjijikkan. Apalagi jika disanding dengan kesadaran para pembayar pajak di negeri ini. Hal yang semakin meluas setelah berbagai upaya penertiban pemungutannya diselenggarakan pemerintah untuk membiayai tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan pada pundaknya. Termasuk program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang ternyata berlangsung berjilid-jilid. Padahal, saat digulirkan di awal periode pertama pemerintahan Jokowi dulu (2016/2017), sudah disertai dengan 'gertakan' tegas. Bahwa setelah masa pengampunan berakhir, 'tak ada lagi ampun' terhadap wajib pajak yang tak mengindahkan ketentuan.

Pemerintahan kita hari ini seperti tak menyia-nyiakan 'keuntungan' yang disuguhkan peradaban teknologi digital dan informasi. Memanfaatkan fenomena kesederhanaan cara berfikir dan ingatan pendek masyarakat awam yang sehari-hari bergulat memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka dengan mudah dan tak malu-malu mereka kerap 'menjilat ludahnya' sendiri. Seperti penyelenggaraan Tax Amnesty II yang kemarin berlangsung.

+++

Setelah kematian janggal Brigadir J, setidaknya ada 3 masalah besar yang berkelindan di tubuh institusi penegak hukum itu. Pertama soal dugaan penanganan serampangan aparatnya terhadap suporter. Usai berlangsungnya pertandingan sepakbola di stadion Kanjuruhan, Malang, beberapa waktu lalu. Ratusan pendukung kesebelasan tuan rumah tewas pada peristiwa itu.

Kemudian muncul kasus kedua. Kali ini terkait penyalahgunaan barang sitaan narkoba. Diduga melibatkan salah seorang jenderalnya yang saat kasus terungkap, sudah ditetapkan sebagai pengganti Kapolda Jawa Timur yang dicopot menyusul peristiwa Kanjuruhan tadi. Perilaku biadab yang disangkakan padanya, berlangsung saat masih menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat. Terkait penjualan sitaan barang bukti narkoba di sana yang puluhan tahun menjadi momok bangsa.

Kasus terakhir yang sedang hangat dibicarakan masyarakat luas saat ini, terkait aktivitas penambangan ilegal di Kalimantan Timur. Mantan anggota mereka yang sudah mengundurkan diri dan menjadi 'pengusaha' di sana, sempat mengoceh. Bahwa dirinya rutin menyetor miliaran rupiah kepada sejumlah pejabat tinggi. Termasuk beberapa jenderal yang menguasai teritorial tempat kegiatan penambangan ilegal yang 'dikelolanya' berlangsung. Juga kepada perwira-perwira yang menduduki kekuasaan di Markas Besar, Jakarta. Nama Kabareskrim Komisaris Jenderal Agus Andrianto yang memimpin penyidikan Irjen Ferdy Sambo pun terseret-seret.

+++ 

Jabatan yang disandangkan kepada kalangan perwira tentulah bersifat strategis. Harapan yang dilimpahkan, sebagaimana sepak terjang yang mereka lakukan, amat sangat mewarnai institusinya.Bagaimana mungkin 'keblingeran' masif, terstruktur, dan sistematis yang terungkap lewat 'Drama 4 Babak' mereka akhir-akhir ini, diperlakukan sebatas deviasi semata?

Jika deviasi bermakna sebagai nilai penyimpangan dari kewajaran rata-rata yang semestinya, apakah kekisruhan perilaku Irjen Ferdy Sambo yang diduga demikian brutal membunuh anak buahnya secara beramai-ramai hingga menyeret sejumlah perwira lain di institusi kepolisian mereka, masih dalam batas-batas yang dapat ditoleransi?

Walau pun proses penyidikannya masih berlangsung, apakah penanganan suporter di Kanjuruhan yang jelas-jelas di luar prosedur kelaziman sebagaimana protokol FIFA sehingga Kapolda Jatim perlu dicopot, masih tergolong wajar dan kekhilafan belaka?

Lalu soal penelikungan barang bukti narkoba yang disangkakan kepada Irjen Teddy Minahasa saat masih menjabat Kapolda Sumbar meski dia sudah ditetapkan mengganti Irjen Nico Afinta sebagai Kapolda Jatim. Apakah hanya kebetulan belaka dan semata karena profesionalisme aparat sejawatnya yang sedang menyelidiki perkara?

Kemudian soal pengakuan mantan anggota mereka yang terakhir hanya berpangkat Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) -- sebelum jadi sosok 'pedagang penting' di pusaran penambangan batubara ilegal di Kalimantan Timur -- sehingga mengaku rutin menyetor miliaran rupiah kepada jenderal-jenderal kepolisian, termasuk Kabreskrim Komjen Agus Andrianto, cuma soal kelalaian prosedur semata?

+++

Reformasi menyeluruh institusi kepolisian di Republik Indonesia untuk mengembalikan mereka pada tugas pokok dan fungsi melayani dan melindungi masyarakat yang sebenarnya, tak boleh juga tak bisa ditawar lagi. Termasuk melucuti kegamangan posisi mereka agar tak mudah disalahgunakan dan dimanfaatkan sebagai perangkat kekuasaan.

Keberadaan dan sistem pengelolaan instusi penegak hukum tersebut sehingga proses 'check and balance' dan penegakan akuntabilitas publiknya dapat terselenggara, harus menjadi dasar pertimbangan utama reformasi yang dilakukan. Semua perkembangan mengecewakan di institusi tersebut sejak dipisahkan dari ABRI pasca Reformasi 1998, membuktikan satu hal.

Membiarkannya menjadi institusi tunggal yang berada di bawah kewenangan Presiden dan berkedudukan setara dengan TNI, adalah kekeliruan yang amat mendasar. Mengembalikan mereka agar lebih dekat kepada masyarakat dengan cara menempatkannya sebagai salah satu organisasi perangkat daerah, adalah keniscayaan. Tugas pokok dan fungsi yang perlu dipusatkan di bawah kendali Presiden, cukup pada hal-hal yang bersifat strategis saja. Seperti terorisme, narkoba, kejahatan lintas daerah maupun internasional, dan seterusnya.

+++

Keleluasaan akibat kekuasaan dan jejaring konektivitas korps kepolisian hari ini, memang telah menempatkan mereka pada posisi 'istimewa'. Jelas tak mudah untuk membenahinya. Kita masih ingat peristiwa munculnya '2 matahari di markas Trunojoyo' pada era kepemimpinan Gus Dur dulu. Ketika dia mengangkat Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri sementara DPR tetap mempertahankan Bimantoro. Padahal kerumitan tali-menali kepentingan yang terjalin antara lembaga itu dengan pusat-pusat kekuasaan republik ini -- baik yang terselubung maupun secara terang-terangan -- belum serunyam sekarang.

Salah satu yang bisa diharapkan melakukannya adalah pada pemimpin tertinggi Negara ini. Hal yang jelas tak mudah dan sangat beresiko. Sesuatu yang terbukti tak mampu dilakoni Joko Widodo yang dalam sejumlah hal malah bersikap sebaliknya.

Wajah 'buruk' institusi kepolisian yang coreng-moreng dan kusut masai hari ini -- di hadapan masyarakat pemilih yang terpapar 4 babak drama kebobrokan mereka sekarang -- adalah peluang sekaligus ancaman bagi setiap calon presiden Indonesia 2024.

Peluang karena republik ini sedang berada di titik terendah pendulum yang mengayun deras ke bawah. Kesulitan ekonomi yang pelan tapi mesti akan menjeratnya. Menuntut perubahan masif, terstruktur, dan sistematis. Tak cukup sekedar 'panadol'.

Tapi memang tak mudah bahkan 'mengancam' kenyamanan setiap calon yang sedang mematut diri. Amplifikasi 'kekuasaan terselubung tapi kentara' jaring-jaring kepentingan institusi itu terhadap hitam-putih republik hari ini, begitu hebat dan kuatnya. Bukan seperti Kuat Ma'ruf yang diduga berkomplot dengan Ferdy Sambo menghabisi nyawa Brigadir J Hutabarat. 

Tapi jabatan Presiden yang menjadi pemimpin tertinggi bangsa majemuk permasalahan ini, adalah sebuah panggilan patriotik. Bila perlu nyawa menjadi taruhannya. Kita tunggu siapa yang bernyali. Jika ada mungkin bolehlah berharap matahari besok masih tetap terbit di timur.

Mardhani, Jilal -- 6 Desember 2022


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait