Gagal Faham Makna Kompetensi, Menkes Tebar Kebohongan Publik, Merendahkan Sains Medis, dan Melecehkan Profesi Dokter dan Dokter Gigi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Gagal Faham Makna Kompetensi, Menkes Tebar Kebohongan Publik, Merendahkan Sains Medis, dan Melecehkan Profesi Dokter dan Dokter Gigi

Ceknricek.com--Baru saja sebuah berita di media online berjudul ‘Menkes malu kasus sakit gigi jadi temuan terbanyak di Cek Kesehatan Gratis (CKG)’ (https://www.detik.com/jateng/berita/d-7864777/menkes-malu-kasus-sakit-gigi-jadi-temuan-terbanyak-di-cek-kesehatan-gratis). Menkes mengungkapkan “Aku malu gigi (banyak terdeteksi). Saya baru sadar kalau di puskesmas ternyata 50% nggak ada dokter gigi. Makanya banyak masyarakat punya problem di gigi”.

Mari kita telaah pernyataan menkes di atas, selaku Pejabat Publik tertinggi yang paling bertanggung-jawab terhadap semua program kesehatan rakyat. Dalam sebuah rubrik Opini di Harian Kompas, 25 Juni 2023 (https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/25/rapor-kesehatan-kita), tertulis jelas pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI (Senin, 5 Juni 2023), bahwa 9 dari 10 target Pembangunan Jangka Menengah Bidang Kesehatan terancam tidak tercapai alias gagal (Katadata.co.id 5/6 2023).

Sebagai kepanjangan tangan negara, kewajiban menkes memenuhi tugas konstitusi untuk menyediakan fasilitas layanan kesehatan yang layak, ternyata gagal terpenuhi. Puskesmas terakreditasi hanya mencapai angka 56,4% dari target 100%, dan pemenuhan tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai standar yang hanya mencapai 56,07% dari target sebanyak 83% puskesmas (Katadata.co.id 5/6 2023). Terkait hal ini, dari total 10.292 ada 3285 (31,6%) yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id). Padahal tersedia 2500 lulusan dokter gigi baru setiap tahun, dan dari total 42.000 dokter gigi umum, dan baru sekitar 30% saja yang bekerja di fasyankes milik pemerintah (https://pdgi.or.id). Jelas terlihat di sini adanya mismatch dan persoalan sebenarnya lebih pada distribusi SDM dokter, dokter gigi, dan Nakes lainnya, bukan pada produksinya semata.

Jadi jauh sebelum ada program CKG ini, semua orang sudah tahu bahwa banyak puskesmas yang tidak punya dokter gigi, dan penyebabnya lebih pada persoalan distribusi serta sebab lain akibat tidak adanya kolaborasi yang setara antara kemenkes dengan Organisasi Profesi, dan kemenkes dengan Pemda. Pernyataan menkes ‘baru sadar bahwa 50% puskesmas tanpa dokter gigi’ adalah sebuah Kebohongan Publik yang nyata, dan upaya untuk menutupi kegagalan dalam menuntaskan tanggung-jawabnya terkait RPJMN 2020-2024 sebagaimana dilaporkan Menteri PPN/ Ketua Bappenas.  

Setiap persoalan solusinya reaktif, spontanitas, dan hanya berdasarkan Pikiran Sesat (Logical Fallacy)

Tentang jumlah dokter gigi yang minim, menkes menyatakan “Saya lagi mgomong sama kedokteran gigi. Ternyata dokter gigi ini sekolahnya mahal, sekolahnya susah. Maka kami lobi supaya lebih banyak lagi, kalau nggak mendidik tukang gigi agar bisa ditingkatkan skill-nya”. Tergambar jelas landasan berfikir sesat (Logical Fallacy) terkait kompetensi medis, alias menkes gagal faham tentang makna sebuah kompetensi. Pikiran sesat yang sama juga melandasi anjuran menkes kepada dokter spesialis kebidanan (Ob-Gin) untuk mengajarkan kompetensi operasi Persalinan (Operasi Sesar) kepada dokter umum, dan kepada Spesialis Bedah agar mengajarkan kompetensi Operasi Usus Buntu kepada dokter Umum.

Pikiran Sesat bahwa semua penyakit bisa diketahui dengan pemeriksaan Canggih, dengan MRI dan Data Genomik, telah menegasikan peran penting Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik yang selama ratusan tahun diajarkan dalam pendidikan dokter. Pikiran sesat ini berbahaya karena menghasilkan kebijakan yang salah, antara lain Permenkes 6/2023 tentang pendayagunaan Tenaga Kesehatan WNA yang tidak mengharuskan TK-WNA tersebut untuk bisa berbahasa Indonesia sebelum mulai bekerja (Pasal 10, Ayat 4).

Terkait Kompetensi, saat seorang dokter meresepkan obat untuk pasiennya, selain harus faham kegunaan (indikasi) obat tersebut, dokter juga mesti tahu kondisi seperti apa yang tidak boleh diberikan (kontra indikasi) obat tersebut. Selain itu efek samping/ komplikasi yang bisa timbul dari pemakaian obat itu, serta bagaimana mencegah dan bagaimana mengatasi bila terjadi efek samping/ komplikasi. Seluruh pengetahuan terkait tindakan meresepkan obat tersebut terangkum dalam ‘body of knowledge’ yang harus melandasi setiap kompetensi medis.

Semua tindakan medis, mulai dari meresepkan obat, menolong persalinan, sampai tindakan Bedah Saraf Mikro yang kompleks, bukan tanpa resiko. Tanpa penguasaan atas ‘body of knowledge’ yang melandasi setiap kompetensi, alias tanpa dilandasi pengetahuan terkait indikasi, kontraindikasi, risiko dan komplikasi setiap tindakan medik, dan bagaimana mencegah dan mengatasinya, maka masyarakat penerima layanan-lah yang pasti akan menjadi korban sia-sia/ konyol.

Sekali lagi, kompetensi bukan sekedar bisa melakukan, pernah melakukan, bahkan berpengalaman melakukan sebuah tindakan medis. Misalkan dirjen yankes yang dokter saya ajak ikut operasi pasien perdarahan otak tiga kali seminggu selama 6 bulan, tentu dia akan bisa bahkan trampil melakukan tindakan operasi itu. Apakah ketrampilan ini bisa disebut sebagai kompetensi? Jawabnya ‘tentu saja bisa’, bila pasiennya hanya sebuah boneka atau manekin, sebagaimana pelatihan montir untuk bongkar pasang mesin mobil di sebuah Balai Latihan Kerja.

Pendidikan dasar bagi seorang dokter/ dokter gigi mencakup pemahaman tentang struktur terkecil yang menyusun tubuh manusia yaitu sel, mulai dari Anatomi dan Fisiologi Sel, Jaringan, sampai Organ dan Sistem yang berinteraksi secara kompleks. Selanjutnya diperlukan ilmu tentang patofisiologi dan mekanisme terjadinya penyakit. Ilmu-ilmu dasar tersebut tentu saja tidak dimiliki dan tidak mungkin dikuasai oleh menkes yang bukan dokter, sebagaimana juga oleh para ‘Tukang Gigi’ yang ketrampilannya hanya sebuah vokasi, bukan kompetensi medis.

Pernyataan menkes untuk menutup kekurangan jumlah dokter gigi dengan meningkatkan ketrampilan para ‘Tukang Gigi’ adalah sebuah bentuk pelecehan terhadap ilmu yang terus diulang-ulang, sebagaimana pernyataan menkes tentang stetoskop yang ‘tidak ilmiah’ (https://kumparan.com/kumparannews/menkes-bicara-teknologi-ai-akan-ubah-sektor-kesehatan-secara-besar-besaran-22sjtKnXulN). “Sebelumnya dokter deteksi penyakit jantung menggunakan stetoskop, mendengarkan detak jantungnya, lalu didiagnosa menderita jantung. Menurut saya (menkes) ini tidak ilmiah, bagaimana mungkin dokter tahu kalau itu penyakit jantung hanya dari suaranya," tanya menkes.

Pernyataan tersebut juga merendahkan profesi dokter dan dokter gigi, padahal jelas tergambar siapa yang sebenarnya dungu, bebal dan gagal faham, yang menyamakan kompetensi medis dengan ketrampilan vokasi. Pernyataan ini menjadi berbahaya karena diucapkan oleh seorang pejabat kesehatan yang berpotensi untuk dipercaya dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat yang kurang berpendidikan. Jangan-jangan karena pendidikan dokter mahal dan lama, tidak lama lagi akan lahir kebijakan untuk meningkatkan ‘skill’ para Thabib (yang lama pendidikannya cuma 1 tahun) untuk bisa menggantikan peran dokter.

Semuanya Program Pencitraan, muncul Spontan dan Reaktif, tanpa dasar studi epidemiologi dan tanpa Kolaborasi dengan Kelompok Ilmuwan terkait

Semua program yang dilakukan oleh menkes bisa jadi adalah sekedar program pencitraan yang muncul secara spontan, tanpa ada landasan studi epidemiologi tentang penyakit terkait, dan yang pasti tanpa kolaborasi dengan para dokter bidang ilmu yang terkait. Contoh nyata yang pertama adalah pengadaan dan distribusi alat USG ke seluruh puskesmas, guna menurunkan angka balita stunting.

Sesuai RPJMN Kesehatan 2020-2024, angka Balita Stunting masih 21,6% (padahal target capaian di 2024 adalah turun jadi 14%). Guna mengejar kegagalan pencapaian ini digelontorkan program pengadaan 10.000 Unit alat USG untuk 10.000 Faskes Primer. Ternyata program ini hanya bisa menurunkan angka stunting dari 21,6% menjadi 21,5%, cuma turun 0,1% (https://dinkes.papua.go.id). Yang patut dipertanyakan adalah ‘leadership’ macam apa yang ada di kemenkes? Yang pasti, program ini dibuat tanpa kolaborasi dengan asosiasi dokter yang terkait dengan stunting dan juga terkait kompetensi dalam pemanfaatan alat USG (Ob-Gin, Kesehatan Anak, dan Radiologi.

Berikutnya adalah pengadaan Cath-Lab untuk 514 RSUD Kabupaten/ Kota, berdasarkan narasi angka kematian 250.000 orang Indonesia setiap tahun akibat serangan jantung. Menurut menkes, kematian ini hanya bisa dicegah dengan pemasangan ‘Stent’ atau Ring jantung dalam waktu kurang dari 4 jam. Panel Ahli dari PAPDI (Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia), di awal 2023, menjawab narasi menkes dengan pernyataan bahwa: Penyebab utama sakit jantung adalah DM dan Hipertensi yang bisa dikelola di Puskesmas dan dengan edukasi pola hidup sehat oleh nakes dan kader kesehatan.

Untuk 9,4 juta kasus jantung, tersedia 169 ribu dokter umum, 5380 dokter spesialis Penyakit Dalam, dan 1500 dokter spesialis/ subspesialis Jantung, dengan kompetensi penuh menangani penyakit jantung sesuai tingkatannya (berdasarkan SKDI 2012).

Berikutnya, update data dari American Heart Association (AHA) tahun 2022, menyebutkan jelas bahwa angka rata-rata kematian penyakit jantung adalah 239,8/ 100 ribu, atau hampir 240 ribu per 100 juta populasi, tertinggi di Eropa Timur dan Asia Tengah (https://www.heart.org>media). Jadi kalau untuk Indonesia yang populasinya hampir 280 juta, angka 250 ribu kematian akibat jantung ini jelas angka yang amat rendah, kurang dari separoh dari angka dunia. Masih dari AHA, dari total kejadian serangan jantung, 25% Ringan, 50% Sedang, dan 25% Berat. Tindakan intervensi/ pasang ‘stent’ jantung segera, diperlukan untuk 25% kasus yang Berat. Bila tidak tersedia Cath-Lab, bisa dilakukan stabilisasi dengan terapi Fibrinolitik via infus, dan bisa dipertahankan paling lama 24 jam sebelum dirujuk ke fasilitas Cath-Lab. Jadi, waktu kurang dari 4 jam untuk sampai ke Cath-Lab bukanlah sebuah ketentuan yang mutlak.

Atas dasar bukti sains dan pendapat Panel Ahli tersebut diatas, tampak jelas narasi menkes terkait serangan jantung dan tata-kelolanya adalah narasi yang terlalu dangkal, cenderung tidak benar alias bohong, tanpa dukungan data dan fakta, serta sekali lagi menegasikan pendapat ilmuwan/ kelompok ahli terkait (PAPDI, PERKI, dan PIKI). Narasi yang cenderung fiktif tersebut sengaja dibangun untuk mendukung program pengadaan alat-alat mahal yang bersifat reaktif.

Terkait dengan pengadaan 21 alat super mahal, PET scan, kita coba telaah unggahan menkes di ( https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7171798/menkes-curhat-sengkarut-polemik-pasien-kanker-di-ri-antreannya-bisa-3-bulan ). Menkes menyatakan bahwa salah satu masalah terbesar penanganan kanker di Indonesia adalah skrining kanker yang masih tergolong rendah, sehingga banyak pasien yang diketahui mengidap kanker setelah stadium lanjut. Pernyataan ini 100% benar dan tidak salah. Yang tidak nyambung adalah ketika menkes tiba-tiba loncat membicarakan ketersediaan alat PET (Positron Emission Tomography) scan sebagai alat deteksi kanker yang hanya ada 3 dan semuanya di Jakarta. Kelanjutan dari pembicaraan ini sudah bisa ditebak, yaitu rencana pengadaan 13 alat PET scan dalam 2-3 tahun, dan ke depannya akan ada 21 Unit PET scan di Indonesia.

Peran PET Scan yang nantinya hanya tersedia di RS Rujukan Tersier, alias RS Kemenkes bukan untuk deteksi dini tapi lebih pada menilai perluasan dari kanker nya (staging dan grading), yaitu mendeteksi penyebaran sel kanker untuk penentuan stadium dan bentuk terapi yang dibutuhkan. Jadi jelas sekali bahwa PET Scan bukan alat untuk skrining, dan menkes benar-benar terlihat bodoh dan memalukan saat menkaitkan deteksi dini kanker dengan pemeriksaan PET scan yang berbiaya setidaknya 15 juta rupiah dan tidak ditanggung oleh BPJS.

Studi pada pasien kanker yang dirujuk ke Poli Rawat Jalan Departemen Onkologi Radiasi RSCM membuktikan bahwa 86% pasien kanker mengalami keterlambatan penanganan, dan sebagian besar keterlambatan terjadi di RS Rujukan. Keterlambatan tersering adalah dalam memastikan diagnosa jenis kanker, antara lain disebabkan oleh waktu tunggu untuk di foto (X ray, CT, dan MRI, bukan PET Scan), waktu tunggu untuk tindakan biopsi (pengambilan sampel jaringan tumor), dan waktu tunggu untuk memperoleh hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) (Treatment Delay of Cancer Patient in Indonesia: A Reflection from a National Referral Hospital; S Gondhowihardjo dkk.; Med J.Indonesia, 2021; 30: 129-137).

Dalam kapasitas sebagai penentu kebijakan, tampak bahwa menkes samasekali tidak kompeten dalam memahami kompleksitas masalah, logika berfikirnya terlalu dangkal, hasilnya adalah sebuah ‘Stupid Leadership’ di Kementerian Kesehatan, dan hal ini jelas berbahaya dan tidak bisa diterima karena pasti berujung pada potensi kerugian dan penghamburan keuangan negara.

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis dan Guru Besar Universitas Diponegoro


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait