Ceknricek.com -- Nikel menjadi masalah dunia, menyusul keputusan Indonesia menyetop ekspor komoditas ini mulai awal 2020. Jepang merayu Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, untuk membatalkan larangan ekspor. Uni Eropa (UE) lebih keras. Benua Biru membawa masalah ini di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Nikel adalah unsur kimia metalik dalam tabel periodik yang memiliki simbol Ni dan nomor atom 28. Nikel mempunyai sifat tahan karat. Dalam keadaan murni, logam ini bersifat lembek. Tetapi jika dipadukan dengan besi, krom, dan logam lainnya, dapat membentuk baja tahan karat yang keras. Perpaduan nikel, krom dan besi menghasilkan baja tahan karat atau stainless steel.
Sumber: Kompas
Indonesia menguasai 27% pasokan nikel dunia. Hasil tambang ini salah satu dari tiga komoditas yang sangat strategis yang dikuasai Indonesia di pasar global. Dua komoditas lainnya adalah batubara thermal dan timah.
Sebelum dilarang, Indonesia merupakan eksportir nikel nomor 6 dari 10 negara produsen nikel terbesar di dunia. Potensi cadangan nikel RI menguasai 23,7% cadangan dunia, dengan total cadangan sebanyak +9 miliar metric ton. Potensi cadangan nikel paling banyak ditemukan di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Foto: Istimewa
Walaupun penjualan bijih nikel menurun sejak ekspor dilarang, total nilai ekonomi industri nikel Indonesia naik hingga 4-5 kali lipat di sektor hilir. Harga nikel juga mengalami kenaikan cukup tinggi di pasar global.
Baca Juga: Keputusan Radikal Bahlil: Menutup Keran Ekspor Nikel
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan terbukti nikel Indonesia sebesar 698 juta ton, dan hanya dapat menjamin pasokan bijih nikel bagi fasilitas pemurnian selama 7-8 tahun.
Sumber: Tribun
Cadangan sebesar itu belum dapat memenuhi umur keekonomian fasilitas pemurnian atau smelter yang ada. Nah, inilah yang membuat pemerintah melarang ekspor bijih nikel kadar rendah. Larangan ini dimulai awal tahun depan.
Nikel yang ada untuk memenuhi kebutuhan pabrik peleburan di dalam negeri. Sampai tahun 2022, berdasar rencana pendirian pabrik, total eksisting smelter nikel Indonesia akan mencapai 31 perusahaan. Dari 31 pabrik smelter tersebut, konsumsi bijih nikel diperkirakan bisa mencapai 72 juta wet metric ton.
Tuntutan Uni Eropa
Kebijakan percepatan larangan ekspor bijih nikel memang terkesan tiba-tiba diambil oleh pemerintah. Hal itu menimbulkan pertanyaan bagi negara lain yang selama ini menjadi konsumen bijih nikel Tanah Air.
Baca Juga: Ekspor Nikel: Luhut Mau Mengacak-acak UU?
Reuters melaporkan, UE telah melayangkan gugatannya kepada Indonesia ke WTO terkait percepatan penyetopan ekspor bijih nikel pada Jumat (22/11) waktu setempat. Komisi Eropa menilai, langkah Indonesia tersebut merupakan pembatasan yang tidak adil terhadap produsen baja di UE.
Foto: Istimewa
Komisioner Perdagangan UE, Cecilia Malmstrom, mengatakan kebijakan Indonesia tersebut menekan industri baja di UE yang telah menghadapi banyak guncangan dalam beberapa tahun terakhir. Dia juga mengeluhkan kebijakan Indonesia yang memberikan fasilitas perpajakan untuk pembangunan pabrik pengolahan baja dan nikel baru. Hal itu ditudingnya sebagai bentuk subsidi ilegal yang diberikan pemerintah Indonesia.
Indonesia beranggapan sebagai negara dan anggota WTO, RI punya hak untuk mengatur produk apa saja yang diekspor ke negara lain. Tidak ada kewajiban internasional yang mewajibkan RI mengekspor produk tertentu termasuk bijih nikel, hanya karena negara mitranya membutuhkan produk tersebut.
UE juga sah-sah saja menggugat Indonesia ke WTO. Itu hak mereka. WTO hanya mengatur, sedapat mungkin pembatasan ekspor ditiadakan untuk memperlancar perdagangan dunia. Namun, WTO juga memberi hak ke tiap negara untuk melakukan larangan ekspor dengan alasan tertentu.
Alasan tertentu terkait dengan pembatasan ekspor-impor yang dimaksudnya a.l. apabila komoditas terkait, ekspor atau impornya mengganggu keamanan nasional, membahayakan bagi pasar dalam negeri, atau mengganggu kestabilan ekonomi nasional. Indonesia dalam hal ini bisa mengklaim haknya tersebut sewaktu-waktu, terutama ketika mendapatkan gugatan dari UE.
Itu sebabnya, kita tunggu saja bagaimana pemerintah bersikap. Pemerintah harus mampu memberikan argumen ke WTO bahwa kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel ini sesuai dengan hak Indonesia di WTO dan tidak menyalahi kesepakatan dagang internasional.
Jika Indonesia tidak dapat menjelaskan alasan penyetopan ekspor dengan baik, maka akan kalah gugatan di WTO dan mendapatkan tindakan retaliasi dari UE.
Hubungannya dengan Baja
Gugatan UE ini memang terasa aneh. Soalnya, selama ini Indonesia tidak mengekspor nikel ke UE. Ekspor bijih nikel Indonesia mayoritas ke China, Korea Selatan, dan Jepang.
Berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia terakhir kali mengekspor bijih nikel dengan kode harmonized system (HS) 2604 ke UE pada 2014. Kala itu ekspor RI ke blok negara Eropa tersebut mencapai 38.335 ton. Namun sejak 2015-2018 Indonesia tidak lagi mengekspor bijih nikel ke UE.
Baca Juga: China Pengganggu Baja, Semen, dan Tekstil Kita
Sumber: Istimewa
Rupanya, UE melakukan hal itu merupakan salah satu respons akibat tertekannya industri baja mereka akibat gempuran baja murah dari China. Boleh jadi, langkah UE tersebut merupakan bentuk kekhawatiran atas hadirnya produsen baja baru yang memiliki ongkos produksi lebih kompetitif, yakni Indonesia akibat keputusan percepatan penyetopan ekspor bijih nikel.
Ya, Indonesia berpotensi menjadi jawara baru produsen baja dunia. Sebab negeri ini memiliki bahan baku nikel di dalam negeri yang melimpah. Hanya saja, dengan kondisi industri baja kita yang belakangan sudah terseok-seok bersaing dengan China dan Vietnam di pasar dalam negeri, rasanya kekhawatiran seperti itu juga berlebihan.
BACA JUGA: Cek BREAKING NEWS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini