Ironi Ekonomi Papua | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: kementrian pupr

Ironi Ekonomi Papua

Ceknricek.com -- Ketegangan di wilayah Papua sudah pasti memukul perekonomian dua provinsi di wilayah paling timur Indonesia itu. Unjuk rasa yang kerap dibarengi dengan kerusuhan telah membuat dunia usaha terganggu. Banyak pihak memilih untuk menutup kantornya lebih awal atau membatalkan kunjungan mereka di sana.

Hal yang paling terasa sudah dialami industri pariwisata. Restoran dan perhotelan di sana sepi pengunjung. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Badan Pimpinan Daerah (PHRI BPD) Papua menyebut, okupansi hotel turun hingga menjadi 40% lantaran banyak tamu yang membatalkan kunjungan bisnis mereka. Biasanya tingkat okupansi hotel masih terbilang lumayan, antara 70-80%. “Sebagian kegiatan kunjungan bisnis jadi dibatalkan,” kata Syahrir Hasan, Ketua Umum PHRI BPD Papua seperti dikutip CNN Indonesia, Jumat (30/8).

Melambat

Sebelum kerusuhan meledak, perekonomian Papua dan Barat memang sudah dilanda kelesuan akibat shut down di sektor pertambangan. Maklum saja, ekonomi Papua lebih banyak disokong sektor pertambangan. Sektor pertambangan menyokong 37%. Sektor pertanian dan perdagangan kurang begitu menonjol. 

Foto: Ashar/Ceknrcek.com

Papua ditopang oleh Freeport, perusahaan tambang terbesar di Indonesia.  Ketika produksi tambang perusahaan itu turun maka turun pula perekonomian Papua. Tahun ini produksi mineral yang dikelola PT Freeport Indonesia (PTFI) turun sekitar 50%. Penyebabnya, ada transisi kegiatan operasional tambang terbuka (open pit) ke tambang bawah tanah (underground) pada akhir 2019. "Produksinya 40-50% berkurangnya," kata Tony Wenas, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia belum lama ini.

Baca Juga: Rusuh Papua, Belajarlah dari Timor Timur

Sumber: Tribunnews

Hal serupa juga menimpa Papua Barat. Naek Tigor Sinaga, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di provinsi itu juga melambat pada tahun ini. BI memprediksi laju ekonomi Papua Barat di kisaran 4%, jauh lebih rendah dibanding tahun tahun lalu yang sebesar 6,24%. 

Perlambatan ini akibat penurunan pendapatan pada sektor pengolahan terutama gas alam cair atau LNG Tangguh di Teluk Bintuni. Peran LNG Tangguh sangat besar terhadap perekonomian Papua Barat secara umum. Makanya, ketika LNG Tangguh mengalami kontraksi, dipastikan pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut ikut terkoreksi. 

Tren perlambatan ekonomi di Papua dan Barat sudah dimulai sejak kuartal II tahun ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, realisasi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05% pada kuartal II-2019. Secara spasial, Maluku dan Papua mengalami pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi 13,12%.

Angka tersebut lebih besar dibandingkan kuartal I-2019. Wilayah tersebut mengalami pertumbuhan negatif 10,44%. BPS memaparkan, pertumbuhan negatif wilayah tersebut diakibatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua dan Papua Barat yang mengalami kontraksi. "Pulau Maluku dan Papua mengalami pertumbuhan yang negatif, karena ada dua provinsi yang tumbuh negatif yakni Papua Barat dan Papua," kata Kepala BPS Suhariyanto belum lama ini. 

Baik Papua dan Papua Barat, pertumbuhan ekonominya memang ditopang oleh sektor yang berasal dari sumber daya alam. Makanya ketika sektor-sektor yang terkait itu mengalami gangguan, maka akan berpengaruh pula kepada pertumbuhan kedua provinsi itu. Kalau harga komoditas naik, maka ekonominya naik sekali, sebaliknya demikian. “Kalau turun, turunnya tajam,” kata Bhima Yudhistira, ekonom Indef.

Baca Juga: Menyoal 10% Saham Papua di Freeport

Infrastruktur

Pemerintah belakangan ini menggencarkan pembangunan infrastruktur di Papua untuk mendongkrak sektor-sektor penopang ekonomi lainnya, seperti perdagangan, pariwisata, dan industri.  

Sumber: Bisnis

Jalan Trans Papua, misalnya, diyakini akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian di pulau itu. Pada tahun depan pemerintah menargetkan jalan sepanjang 4.330 km ini dapat tembus semuanya.  Sampai tahun lalu capaian pembangunan jalan Trans Papua mencapai 908,8 km, terdiri dari 761,57 km di Provinsi Papua dan 147,23 km di Provinsi Papua Barat.

Di Papua Barat jalan ini sudah tembus seluruhnya dengan panjang 1.071 km. Sedangkan Trans Papua di Provinsi Papua yang sudah tersambung mencapai 2.907 km dari total panjang 3.259 km hingga akhir 2017. Proyeksi jalan Trans Papua di Provinsi Papua yang dibangun dalam rentang 2015-2019 sepanjang 865 km.

Baca Juga: Papua Masih Dilanda Demo Massa

Sarana transportasi yang menghubungkan daerah-daerah di Papua dan Barat itu akan memicu aktivitas perekonomian. Mulai dari berdirinya rumah-rumah di sepanjang Trans Papua, hingga pergerakan perdagangan.

Sumber: Kompas

Komitmen pembangunan Papua dan Barat di tahun depan sudah tertuang dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Dalam RAPBN pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp13,05 triliun untuk Papua dan Barat dalam bentuk dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus.

Dalam Buku II Nota Keuangan besarta RAPBN 2020, total dana otonomi khusus yang dialokasikan tahun depan mencapai Rp21,4 triliun, naik tipis dibandingkan tahun ini Rp21 triliun. Dari total alokasi tersebut, dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat ditetapkan sebesar Rp8,4 triliun, sama dengan tahun ini. Rinciannya, Papua sebesar Rp5,86 triliun, sedangkan Papua Barat Rp2,51 triliun.

Komitmen pemerintah terhadap pembangunan Papua tampaknya tak cukup dengan itu. Sejauh ini Papua masih menjadi daerah tertinggal dibanding wilayah lain Indonesia. Pulau kaya ini masih banyak dihuni penduduk miskin dengan tingkat SDM yang tertinggal.

BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, BeritaTerkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait