Ceknricek.com -- Konflik Papua mengapungkan kembali ingatan publik tentang masalah laten kesejahteraan dan kesenjangan antara Papua dengan daerah lain di Indonesia. Papua adalah daerah kaya yang dihuni rakyat miskin dan tertinggal. Konflik di daerah ini menjadi hidangan sehari-hari. Parahnya, di antara mereka sendiri pun tak akur. Salah satu contoh adalah masalah pembagian saham 10% Pemda Papua di PT Freeport Indonesia (PTFI).
Pada akhir tahun lalu, holding industri pertambangan PT Inalum (Persero) resmi membeli sebagian saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Dengan begitu, kepemilikan saham Indonesia atas PTFI meningkat dari 9,36% menjadi 51,2%. Dari sini, untuk pertama kalinya pemerintah daerah Papua mendapatkan alokasi saham.
Dari 100% saham PTFI, Pemda Papua akan memiliki 10%, Inalum 41,2%, dan Freeport McMoRan 48,8%. Gabungan kepemilikan saham antara Inalum dan Pemda Papua menjadikan entitas Indonesia pemilik mayoritas PTFI.
Sumber: Viraltainment
Baca Juga: Freeport Butuh US$3 Miliar Bangun Smelter di Gresik
Menurut hitung-hitungan, dengan memiliki saham sebesar itu, Pemda Papua akan mendapatkan dividen setidaknya sebesar US$100 juta atau Rp1,45 triliun per tahun. Deviden sebanyak itu bisa dinikmati setelah 2022, yakni pada saat operasional PTFI berjalan secara normal setelah masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah.
Sekadar mengingatkan, sejak 1973, PT Freeport Indonesia mengeduk emas di tambang Grasberg. Pada tahun ini masa tambang Grasberg berakhir, karena kandungan tembaga dan emasnya sudah habis. Freeport beralih ke tambang bawah tanah.
Menurut Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas, pada 2018 Freeport memproduksi 6.065 ton konsentrat per hari. Konsentrat ini adalah pasir olahan dari batuan tambang (ore), yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
Tony Wenas. Sumber: Kumparan
Freeport menyebut, dalam setiap ton konsentrat 26,5% adalah tembaga, 39,34 gram emas, 70,37 gram perak. "Jadi kami produksi 240 kg lebih emas per hari dari Papua," kata Tony belum lama ini. Emas ini berada dalam konsentrat, atau pasir hasil olah batu tambang.
Tambang bawah tanah milik Freeport bisa menghasilkan 3 juta ton konsentrat per tahun. Cadangan ini akan terus ada hingga kontrak Freeport berakhir pada 2041. Bahkan masih ada cadangan tembaga dan emas di bawahnya lagi sekitar 2 miliar ton, yang bisa terus digali hingga 2052, bila kontrak Freeport diperpanjang pemerintah Indonesia.
Investasi yang bakal digelontorkan oleh Freeport di tambang Papua mulai 2019-2024 atau hingga kontrak habis, mencapai US$15,2 miliar atau Rp212 triliun. Investasi ini di luar pembangunan smelter yang nilainya US$3 miliar atau Rp42 triliun.
Rebutan
Kembali soal saham. Dalam kesepakatan awal, telah diatur dari 10% saham Pemda Papua tersebut dibagi menjadi 7% untuk Kabupaten Mimika termasuk di dalamnya untuk hak ulayat, dan 3% untuk Provinsi Papua.
Sumber: Liputan6
Baca Juga: Menteri Jonan Harap Putra-Putri Papua Bisa Pimpin PT Freeport Indonesia
Selain saham, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37/2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral, pemerintah daerah juga akan mendapatkan 6% dari laba bersih PTFI. Nantinya, 6% tersebut akan dibagi menjadi 2,5% untuk Kabupaten Mimika, 2,5% untuk Kabupaten di luar Mimika, dan 1% untuk Provinsi Papua.
Seluruh manfaat tersebut di luar bantuan CSR dan community development serta pendapatan pajak daerah dan royalti.
Pemda Papua tak perlu mengganggu APBDnya untuk membeli saham yang 10% itu. Inalum akan memberikan pinjaman kepada BUMD sebesar US$819 juta yang dijaminkan dengan saham tersebut. Cicilan pinjaman akan dibayarkan dengan sebagian deviden PTFI yang bakal diperoleh tiap tahun.
"Cicilan dari pembelian saham akan dibayarkan melalui deviden PTFI dan tidak semuanya dipakai untuk bayar cicilan. Akan ada uang tunai yang akan didapatkan oleh Pemda setiap tahunnya,” jelas Rendi A. Witular, Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum suatu ketika.
Sumber: Liputan6
Saham Pemda Papua tersebut nantinya akan dimasukkan ke perusahaan khusus bernama PT Indonesia Papua Metal dan Mineral, yang 60% dimiliki oleh Inalum dan 40% dimiliki oleh Pemda melalui BUMD.
“Struktur kepemilikan pemerintah daerah tersebut adalah struktur yang lazim dan sudah mempertimbangkan semua aspek termasuk aspek perpajakan yang lebih efisien bagi semua pemegang saham,” terang Rendi.
Jadi komposisinya menjadi sebanyak 26,24% saham Freeport dimiliki oleh Inalum, 25% dimiliki oleh PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM), yang merupakan perusahan milik Inalum, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kabupaten Mimika. Sementara sisa saham Freeport Indonesia, atau 48,76% dimiliki oleh Freeport McMoran. Masalahnya, sampai kini komposisi ini tidak ada titik temu. Persoalannya justru terjadi pada yang 10% bagian Pemda Papua itu. Pemerintah provinsi ingin memiliki lebih dibanding Pemerintah Kabupaten Mimika.
Direktur Utama PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin menjelaskan hingga saat ini, kerangka acuan diskusinya masih mengacu kepada perjanjian induk yang ditandatangani pada 12 Januari 2018. Porsi saham pada perjanjian awal, yakni 70% untuk Pemkab Mimika dan 30% untuk Pemprov Papua.
Sumber: Katadata
Baca Juga: Jokowi Harap Agar Divestasi PT Freeport Tuntas Akhir Tahun
Belakangan pihak Pemprov Papua justru menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perseroan Terbatas Papua Divestasi Mandiri. Perda tersebut diprotes oleh Pemkab Mimika karena mengubah porsi saham secara signifikan. Ada poin dalam Perda tersebut yang tak sesuai dengan perjanjian induk. Alhasil, porsi saham yang diperoleh Pemkab Mimika tak sesuai perjanjian awal.
Perda itu menyebut bahwa Pemprov Papua memegang mayoritas saham PT Papua Divestasi Mandiri, yakni sebanyak 51%. Kemudian, pemerintah kabupaten sekitar areal operasi Freeport memegang saham sebesar 20%. Alhasil, Pemkab Mimika hanya memegang saham sebesar 29%.
Pemkab Mimika telah melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo meminta perubahan dua poin dalam perjanjian induk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi. Perubahan yang diinginkan yakni pembentukan BUMD sendiri yang terpisah dari PT Papua Divestasi Mandiri. Selain itu, penegasan tentang porsi saham 7% yang dimilikinya.
Sampai kini sengkarut itu belum juga bisa diurai. Itu sebabnya, sampai kini Inalum masih menanti pembentukan BUMD oleh Pemda setempat. Menurut Budi, sudah ada pertemuan yang dilakukan bersama pihak Pemkab Mimika dan Pemprov Papua. Menurutnya, terjadi diskusi yang positif. "Kita mungkin perlu satu dua kali meeting lagi untuk finalisasi," katanya.
Budi Gunadi Sadikin. Sumber: Liputan6
Saat ini, baik Pemerintah Provinsi Papua maupun Pemerintah Kabupaten Mimika masing-masing telah memiliki BUMD. Hanya saja, mereka perlu memilih BUMD mana yang akan dipakai. “Harus satu saja," ujar Budi.
Budi mengaku, pihaknya tidak bisa berperan lebih banyak dalam masalah itu. Akan tetapi akan terus memberikan fasilitas jika kedua pihak ingin melakukan diskusi. "Diskusi harus tetap dilakukan. Kita tetap fasilitasi kalau butuh tempat untuk negosiasi," tuturnya.
Bos Inalum boleh saja berkata begitu: tidak bisa berperan lebih banyak. Namun pemerintah pusat, bagaimanapun perlu turun tangan memediasi kedua belah pihak. Sengkarut di Papua ini akan makin rumit jika tak segera ditangani dengan seadil-adilnya.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.