Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Antaranews.com

Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 2)

Ceknricek.com -- Sejak saat itulah saya mulai mengubur keinginan memfilmkan Bumi Manusia. Saya tinggalkan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Darsam, Khomers, Maghda Peters, si pengecut Suurhoff, si bangsat Herman dan Robert Mellema jauh dari imajinasi saya. Saya mulai berkelana dengan film-film saya sendiri, mengadopsi prinsip kreatif yang dikatakan Bung Pram. Karya saya adalah anak-anak rohani saya yang akan menghidupi saya dan keluarga saya.

Kira-kira 4 tahun berselang, saat saya mulai berkiprah di dunia serial televisi baik dengan TV swasta maupun rumah produksi yang memproduksi sinetron dan serial mini series yang mewarnai televisi Indonesia, Leo Sutanto (bos Sinemart pictures) menelepon saya, mengatakan, novel Bumi Manusia sudah dibeli Bersama Hatoek Soebroto (Bos PT Elang Perkasa Film ). Hati saya melonjak. Kebetulan saat itu saya selesai membuat film Jomblo produksi Sinemart dan film Brownies yang mampu menyabet penghargaan sutradara terbaik FFI 2005.

Alih-alih mengajak, Pak Leo saat itu malah bertanya ke saya, “menurut Hanung siapa sutradara yang pas untuk memfilmkan Bumi Manusia?”.

Hampir saja mulut saya mengatakan "Saya yang pantas, Pak Leo". Tetapi tiba-tiba saya menyadari kapasitas dan posisi saya saat itu di mata industri Film Indonesia. Akhirnya justru yang keluar dari mulut saya, "Riri Riza atau Garin Nugroho saja Pak. Hanya dua orang besar itu yang pantas untuk menyutradarai Bumi Manusia. Selain itu tidak ada."

Sumber: istimewa

Sejak saat itu saya hanya bisa berharap apa yang saya bayangkan ketika membaca Bumi Manusia bisa digambarkan dengan baik oleh guru dan senior saya.

Tahun 2008, saat Ayat-Ayat Cinta meledak di pasaran dan dianggap film drama dengan genre religi pertama yang mampu survive secara komersial di pasaran. Pak Hatoek Subroto (bos Elang Perkasa Film) menelpon saya, meminta bertemu saya. Kali ini Pak Hatoek Bersama seorang sineas senior Indonesia, seorang actor sekaligus produser dan sutradara: Bang Deddy Mizwar.

Baca Juga: Kenapa Film "Bumi Manusia" Harus Saya? (Bagian 1)

Mereka berdua bertemu saya untuk menawari saya menyutradarai Bumi Manusia. Di balik rasa senang saya, ada pertanyaan besar yang mengganjal kenapa novel ini akhirnya jatuh ke tangan saya? Bagaimana dengan Garin Nugroho? Riri Riza? Bukankah mereka yang seharusnya memfilmkan?

Tapi pertanyaan itu sampai hari ini tidak saya dapatkan.

Kepada Hatoek dan Dedy Mizwar saya sampaikan, untuk membuat Bumi Manusia membutuhkan bujet Rp20 miliar. Setelah itu tidak ada lagi kabar kelanjutan proses film Bumi Manusia. Padahal saya sudah membentuk tim riset untuk menunjang proses pembuatan skenario. Lama sekali saya menantikan kepastian pembuatan film itu, tapi kemudian pada saat saya sedang melakukan syuting film Sang Pencerah, saya secara tak sengaja bertemu dengan Mas Riri Riza yang saat itu rupanya sedang melakukan hunting film barunya. Ketika saya tanya sedang berencana membuat film apa? Dijawabnya bahwa saat ini dia sedang menyiapkan Bumi Manusia.

Saya kaget. Rupanya tanpa sepengetahuan saya, Bumi Manusia sudah dialihkan ke sutradara lain. Tapi saya tidak merasa kecewa sedikit pun. Toh sejak awal memang kalau bukan Garin Nugroho, ya, Riri Riza yang pantas. Akhirnya, saya kembali mengikhlaskan novel tersebut.

Sumber: tribunnews

Karena itu, ketika bertahun-tahun kemudian saya mendengar berita Falcon Pictures yang digawangi produser bertangan dingin HB Naveen memperoleh hak memfilmkan Bumi Manusia, saya tidak punya harapan apapun. Saya sudah ikhlas. Saya sudah dengan sepenuh hati merelakan pergi jauh dari angan-angan saya. Bahkan ketika Pak Naveen menelepon saya untuk menawari beberapa proyek film Jomblo Rebooth, Benyamin Biang Kerok, Remake Film Korea Miracle On The Cell No.7, dan Harimau-Harimau karya novel Mochtar Loebis, tak sekalipun saya bertanya tentang Bumi Manusia. Saya sudah ikhlas.

Tapi, justru di saat saya sudah tidak memikirkan lagi Bumi Manusia. Pak Naveen menelepon saya dan memberikan novel Bumi Manusia kepada saya. Saya hanya bisa menatap Novel yang sudah berganti rupa itu. Kali ini lebih tebal karena dicetak lebih kecil dari ukuran versi Hasta Mitra. Cover perpaduan warna hijau dan kuning lengkap dengan tulisan bergaya kekinian, Bumi Manusia.

"Mas Hanung bersedia menyutradarai Novel ini?," tanya Pak Naveen.

"Kenapa Novel ini ada di tangan bapak sekarang. Apakah bapak memintanya ke keluarga Pak Pram? Karena saya dengar novel ini jadi rebutan banyak PH?," tanya saya.

Sumber: Istimewa

"Saya tidak menyangka Bu Astuti (Putri Pramoedya) memberikannya kepada saya. Awalnya. Kami datang hendak membeli novel Perburuan dan Gadis Pantai untuk Sutradara Richard Oh. Tapi Bu Astuti memberikan kepada saya. Saya anggap ini sebuah anugerah. Saya tidak mau menyia-nyiakan".

"Anda mau apa dengan Bumi Manusia, Pak?"

"Saya mau novel seindah dan sepenting ini dinikmati oleh anak-anak muda zaman sekarang. Agar mereka tidak lupa ada sosok sepenting Pramoedya yang pernah dimiliki negeri ini."

Ingatan saya terlempar ke masa dimana saya pertama kali mengenal nama Pramoedya Ananta Toer. Ketika saya masih remaja. Masih ABG yang penasaran dengan pertanyaan 'kenapa novel ini dilarang?', kemudian anak muda yang penasaran ini tiba-tiba tersadar saat usai mengakhiri halaman terakhir, penindasan itu rupanya nyata. Dekat. Sedekat kita berada di rumah bersama saudara kita. Kawan kita. Sekolah kita. Bahkan hingga sekarang, hari ini, di era milenial dimana kekuasaan kolonial sudah tidak lagi menyoal Belanda maupun pribumi. Tetapi penindasan antar manusia, antar ras, antar suku, agama kenapa masih saja terjadi dalam wujud dan bentuk yang berbeda.

Tanpa pikir panjang saya menjawab tawaran pak HB Naveen, "Iya, saya bersedia". (Bersambung)

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait