Langsung Melayat | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Langsung Melayat

Sketsa Serba-Serbi Salat Subuh  (9)

Ceknricek.com--Dalam dua alinea terakhir puisi karya hamba  berjudul “Matiku Matimu, ” yang hamba buat November 2017, dan telah diterbitkan sebagai salah satu puisi di buku karya tunggal  hamba, “Mata Burung Gagak Gitaris Rock,” tertulis:

Mengapa kau masih meminta  hidup seribu tahun lagi walau kau tahu wafat tua atau muda tak beda.

KAPAN urusan nyawa kita dipanggil oleh Pencipta sekaligus Pemiliknya, tak ada yang tahu tepat. Kita tidak paham kapan bakal mengembuskan nafas terakhir, dimana dan sedang  apa. Usia bukanlah isyarat kematian. Tua belum  tentu lebih cepat meninggal. Sebaliknya, muda bukanlah jaminan bakal hidup panjang. Banyak yang masih anak, belia, atau  muda sudah meninggal. Sebaliknya tak  sedikit yang sudah sepuh dan sakit-sakitan pula, tetapi masih terus hidup.

Setiap saat,  tua atau muda, dapat berpisah dengan dunia fana, dengan berjuta alasan. Kapan kita meninggal  tetap menjadi misteri. Sama dengan dimana dan dalam keadaan bagaimana kita meninggal, tak dapat ditebak. Bisa saja kita meninggal secara di luar dugaan kita. Maka sesungguhnya salat subuh di masjid bukanlah hanya untuk orang tua saja.

Selama ini, dalam pengamatan hamba ini, umumnya jamaah salat di masjid orang-orang “yang sudah meninggalkan dunia hitam,” alias rambut, kumis atau jenggot sudah tidak hitam lagi. Hampir semuanya sudah memutih alias sudah sepuh. Para jamaah yang rutin salat di masjid itu, dalam taksiran saya 80% memang para orang tua. Selebihnya baru yang lebih muda dan anak muda. Biasanya cuma tiga shaf saja, paling banter 4 shaf.  Dari jumlah itu yang muda dapat dihitung dengan jari tangan.

Kenapa kaum muda jarang yang hadir rutin salat subuh? Tentu  banyak jawabannya. Mungkin mereka memang jika pagi hari lebih banyak kegiatan ketimbang yang tua-tua, apalagi yang pensiunan. Dengan berbagai kesibukannya, tidak sempatlah  jika kaum muda salat subuh di masjid.   Waktu mereka terbatas. Kalau salat subuh di masjid jadwal mereka bakal terganggu. Jadilah mereka memilih salat subuh di rumah saja.

Boleh jadi juga memang selama ini kita belum memiliki “tradisi “ atau “budaya” salat subuh di masjid. Jadi, salat subuh di masjid belum internalized  atau belum mendarah daging dalam tradisi atau kebudayaan Indonesia. Walhasil, salat subuh di masjid memang belum menjadi prioritas masyarakat kita. Jangankan  salat subuh di masjid, salat subuh  di rumah saja jangan-jangan juga jarang. Maka tak begitu mengherankan yang datang salat subuh di masjid sangat minim, itu pun sebagian besar sudah sepuh.

Kemungkinan lain, sebagian masih beranggapan salat subuh di masjid memang lebih cocok untuk mereka yang sudah tua. Alasannya, anak muda kan secara teoritis umurnya masih panjang. Masih banyak kesempatan untuk hidup lebih lama  lagi. Lebih banyak memperoleh kesempatan melakukan aktivitas keduniawian. Mungkin nanti setelah menjadi tua dan meninggalkan “dunia hitam,” mereka baru gabung ke jamaah masjid subuh. Sebaliknya para orang tua dipandang lebih banyak waktu senggang sehingga salat  subuh di masjid tak akan mengganggu aktivitas mereka. Apalagi teoritis orang-orang tua kan sering disebut “sudah bau tanah” alias mendekati ajal. Kematian telah mengintip mereka. Wajarlah kalau  dipandang lebih bertaqwa dan mendekatkan diri ke Allah.

“Apakah ada generasi mileneal yang salat subuh di mesjid?” tanya seorang rekan dari Surabaya yang kebetulan selalu mengikuti tulisan “Sketsa Serba-Serbi Salat Subuh.” Hamba jawab, sekali dua kali ada, tapi yang rutin tidak ada.

“Waduh!” jawabnya seraya menerangkan dia khawatir generasi jamaah salat subuh di masjid yang akan datang bakalan lebih sulit lagi ada generasi mudanya.

Setelah salat subuh   di masjid  prakteknya kami sering mendengar pengumuman dari pengurus masjid, adanya warga yang wafat pada tadi malam atau pada jelang subuh. Pengumuman dilantangkan  melalui pengeras suara masjid. Kalau yang meninggal masih tetangga  sekitar lingkungan kami, biasanya setelah salat subuh di masjid, tanpa dikomando, kami para jamaah langsung melayat ke rumah duka. “Kebiasaan” ini   menguntungkan bagi kami yang masih memiliki banyak kegiatan. Kalau tak melayat setelah salat subuh, mungkin kami tak sempat melayat.   

Pengalaman sebagai jamaah salat subuh, yang meninggal tidak selalu orang yang sudah tua. Bisa juga yang masih muda yang belum pernah salat subuh di masjid. Fakta ini membuktikan salat  subuh di masjid bukan cuma buat para orang tua, tapi juga semua lelaki dewasa. Salat subuh di Masjid tak ada hubungan dengan tua atau muda. Inilah yang membuat saya November 2017 menulis puisi  yang mengabarkan keadaan itu sebagai berikut:

Salat Subuh di Masjid 

Salat subuh berjamaah

di masjid Jakarta

tiga shaf  tak sampai

berjajar  rambut beruban dan raut wajah keriput.

Sementara generasi milenial masih nyenyak tidur

nanti bangun memakai  wangi parfum

berpikir jauh dari bau tanah.

Siang hari setelah  salat dzuhur

pengeras suara dari masjid mengumumkan

Innailahi wainailaihi rojiun

telah wafat si fulan berusia 21 tahun

subuh tadi.

T a b i k *

Bersambung……

Wina Armada Sukardi, wartawan dan advokat senior serta  Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi dan tidak mewakili organisasi.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait