Lola Amaria Curhat Soal Filmnya, dan Mempertanyakan Fungsi BPI | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Lola Amaria Curhat Soal Filmnya, dan Mempertanyakan Fungsi BPI

Ceknricek.com -- Berawal dari niat untuk mencari duduk persoalan apa yang dialami dengan filmnya 6.9 Detik yang sempat ramai diberitakan, karena Lola merasa mendapat perlakuan kurang adil dari jaringan bioskop XXI, pada 26 September 2019 lalu, Lola meminta kami datang ke kantornya.

Selasa (8/10) sore saya dan seorang rekan wartawan lain, datang ke kantor Lola Amaria di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, untuk mendengarkan curhatan Lola atas apa yang ia alami dengan filmnya.

Curhat Lola

Saya di industri film itu kan udah lama, film pertama yang masuk bioskop tahun 2010. Setiap tahun itu pasti ada film. Begitu kata sutradara kelahiran Jakarta, 30 Juli 1977 itu, yang filmnya 6.9 Detik hanya mendapat sekitar 10 ribu penonton!

Dan setiap tahun masalahnya selalu sama. Layar sedikit, diputus sepihak, kita tidak pernah tahu di mana aja. Walau pun dikasih daftar di mana, tapi hari H-nya doang baru tahu.

Sebenarnya saya enggak mau ribut. Saya ikutin sistem yang ada, karena toh akhirnya saya ke situ-situ juga. Karena ada bioskop lain jaringannya enggak sekuat itu.

Foto: Istimewa

Saya sadar banget film saya, sidestream, mungkin enggak komersial, enggak laku dan enggak banyak yang nonton. Dikasih layar berapa pun ya saya terima. Waktu lima lebih parah. Saya udah berantem sama sensor masa mau berantem lagi. Entar sangkanya cari berantem lagi.

Baca Juga: Mencari Titik Inspirasi Dari Film “6.9 Detik”

Pas kasus ini (6.9 Detik) enggak ada masalah sebenarnya. Saya juga tahu ini kecil dibandingkan film-film lain yang ada. Saya sudah sadar, kalau  enggak salah dapat 83 layar. Ya sudah gak apa-apa. masalahnya di Jakarta itu (Lola memperlihatkan catatan) saya dikasih layar di Jakarta Timur, wich is, daerah yang enggak kita pilih.

Nah, terus saya kirim surat, kirim email, boleh enggak yang ini ditukar. Paling enggak saya mau ada tiga nih. Di Kemvil (Kemang Village), Gading dan Metropole. Gading itu untuk Utara, Metropole untuk Pusat, dan Kemvil itu untuk Selatan.

Karena Selatan cuma dapat Senayan, Pondok Indah (PIM) sama Blok M. Kan jauh-jauh ya. Nah, kebanyakan milihnya Kemvil untuk nobar-nobar. Sponsor udah minta di situ. Dan saya berusaha dong untuk mengikuti klien dan sponsor. Karena enggak ada (di Kemvil) saya kirim surat dong. Pak Naryo (pejabat di XXI) bisa enggak bioskop dipenuhi, karena ini ada agenda nobar. Enggak ada jawaban. Baru besoknya dijawab, “oke diusahakan!”.

Foto: Istimewa

Terus semua nanyain saya, “gimana La, Metropole udah ada penonton sekian nih sampe hari Sabtu! Di Kelapa Gading dan Kemvil juga! Saya bilang kayaknya bisa deh! Karena saya juga belum dapat kabar sampe jam Sembilan malam (25/9/2016), saya tetap minta. Saya masih berharap. Saya WA lagi, “Pak mengingatkan kembali ya untuk tiga lokasi tersebut”.

Terus saya tidur kan. Besok kita tugas mengatur nobar. Tugas saya di Kemang Village karena dekat kantor. Tiba-tiba bangun jam delapan, enggak ada di tiga lokasi itu. Mampus kan!  Akhirnya yang di Megaria oper ke Plaza Senayan, yang di Kelapa Gading oper ke Basura, sebagian yang di Megaria oper ke Basura, yang di Kemang Village pindah ke PIM.

Baca Juga: Lola Amaria Garap Perjuangan Atlet Aries Susanti Dalam Film 6,9 Detik 

Tapi kan ngatur segitu banyak orang kan susah ya. Enggak semua orang mau. Sebagian mau, sebagian enggak. Kan rugi! Lantas saya curhat nih sama wartawan (menyebut nama seorang wartawan). Dia tanya bagaimana hasil pertama. Saya ceritain masalahnya. Saya telepon juga salah seorang teman wartawan.

Teman wartawan itu menganjurkan saya menelepon ke Parwez (Ketua BPI Ir. Chand Parwez Servia). Aduh gimana ya, saya takut ditolak atau dapat jawaban enggak enak. Akhirnya dia yang nelepon ke Parwez dan Catherine Keng (Corporate Secretary XXI), dapat jawaban yang ada di wawancara itu.

Banyak yang nanya ke saya, kenapa kok Pak Parwez komennya seperti Jubir XXI!

Ini masalahnya bukan OR (Occupancy Rate/jumlah minimal penonton dalam setiap pertunjukan). Masalahnya mereka enggak ngasih layar yang saya minta! Bagaimana mau ngomong OR kalau penonton yang kita tahu banyak itu enggak dikasih layar!

Enggak apa-apa deh dikurangi tiga di Jakarta Timur, karena banyak banget di Jaktim! Utara enggak ada! Pusat enggak ada! Jadi saya agak bingung ya, sementara banyak komunitas panjat tebing di Utara. Fans-fansnya Puji Lestari kan di sana! Pas tahu di Gading enggak ada, mereka jadi batal nonton. Alasannya malas ke Timur karena terlalu jauh.

Pas berita itu naik, besoknya ada di tiga lokasi itu (Gading, Metropole dan Kemang Village) tanpa ngomong-ngomong ke saya juga! Langsung saya blast ke grup, saya minta mereka nonton. Ya udah langsung normal lagi ketika itu.

Yang saya bingung kenapa sih mereka enggak ngasih (dari awal) kalau akhirnya bisa ngasih. Kenapa harus ribut dulu? Terus aturannya enggak ada. Kenapa saya dapat pinggiran Jakarta, saya enggak bisa milih!

Mayoritas Jakarta Timur! Pusat di mana? Utara di mana? Enggak ada! Sementara saya cuma minta tiga. Hilangin deh tiga yang di deretan bawah (Jakarta Timur) diganti tiga yang saya minta itu!

Ini gimana ya saya cuma dapat layar sisa doang. Kalau dulu katanya produser bisa memilih, gimana mau memilih, daftarnya udah dikasih begitu. Kalau misalnya ada 50 layar, kita disuruh milih 15, bolehlah. Ini kan cuma 22 tapi salah satu. Jadi sebelas, dan kebanyakan di Jakarta Timur!

Ini yang jadi masalah. Ini masalahnya orang sudah beli tiket, mau datang, mau nonton. Tapi tempatnya enggak ada! Kalau pun kemudian dikasih, kan enggak gampang juga orang ngatur waktu. Jadi ada beberapa yang sudah bayar akhirnya kecewa. Dan saya kan enggak terbiasa mengecewakan orang. Orang udah effort mau nonton hari pertama supaya memenuhi OR itu. Paling enggak jam pertama di hari pertama yang nonton 50 lebihlah. Masuk hitungan OR, kalau dia mau ngomong OR! 

Karena hari Kamis itu hari kerja, kan susah ngumpulin orang. Kecuali weekend ya, orang pada libur! Udah gitu hari Kamis jam 15.00 WIB, jam 17.00 WIB, dan jam 19.00 WIB, kita harus ngisi, kalau besoknya enggak mau diturunin gara-gara OR-nya kurang!

Mempertanyakan BPI

Dalam peremuan kemarin Lola juga memperlihatkan posting-an seseorang di Facebook dan beberapa komentar yang menurutnya dari orang-orang yang duduk di BPI.

Foto: Istimewa

Saya enggak menyalahkan, saya mempertanyakan, dalam hal ini BPI sebagai induk film apa nih? Bukan malah saling menyalahkan.

Kenapa komen-koment orang BPI kok lebih membela XXI! Harusnya kalau mereka paham, saya orang film lho! Kalau saya ngadu ya ke BPI, Badan Perfilman Indonesia! Yang mengatur Tata Edar harusnya mereka!

Undang-Undang No.33 tahun 2009 yang dibuat di zaman Bu Marie Pangestu (Menteri Parekraf ketika itu), harusnya orang-orang film itu turut membuat peraturan, ikut mendesak Menteri untuk segara disahkan, supaya aturannya jelas. Kalau sekarang saya mau mengadu ke siapa?

Kalau saya bilang XXI enggak adil, mereka bilang adil kok, adil menurut mereka; enggak berpihak ke film nasional, dia bilang lu dikasih layar kok! Cuma jumlah berapa, suka-suka saya! Karena enggak ada aturannya! Enggak ada UU-nya, enggak ada sanksinya.

Foto: Istimewa

Tata edar aturannya yang jelas, mau dapat berapa layar, di mana aja…mau film besar, film box office, film art, semua dapat hak yang sama! Misalnya minggu pertama full 5 jam penayangan. Mulai minggu kedua kalau film yang enggak terlalu rame bisa dikurangi berbagi jam tayang, minimal dua kali weekend. Dapat dua kali kesempatan. Kalau dua kali weekend masih rame, bisa diperpanjang. Jadi fair begitu!

Kalau sekarang kan, kita aja enggak tahu, besok masih ada enggak ya. "Oh udah enggak ada, tinggal jam segini," semua deg-degan karena apa, karena enggak ada aturan!  Dan kita mau nyalahin XXI? Enggak bisa!

BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait