Pengantar:
Ceknricek.com--Tanggal 22 Juli adalah kelahiran kolumnis terbesar Indonesia, Mahbub Djunaidi. Ia lahir pada 1933. Pria Betawi ini lahir dan besar di Jakarta. Namun ia memilih Bandung sebagai tempat untuk menikmati hari tuanya. Pada 1 Oktober 1995, penulis satire humor ini meninggal dunia. Tulisannya yang jenaka dan tajam masih bisa dinikmati dari tiga buku kumpulan tulisannya. Pada 22 Juli 2021 ini, jatuh pada hari Kamis, tepat 88 tahun kelahirannya. Untuk mengenang Mahbub, saya menulis catatan yang lumayan panjang. Selamat menikmati.
***
Saya tak mengenal H Mahbub Djunaidi secara langsung. Interaksinya justru ketika kolumnis kawakan itu terbujur menjadi jenazah. Pria Betawi itu tinggal dan meninggal di Bandung, di kompleks perumahan wartawan. Saat itu saya sebagai kepala Biro Republika Bandung. Saya datang bertakziyah serta ikut tahlil di hari pertama. Pertama, beliau adalah kolumnis yang saya kagumi. Kedua, beliau adalah wartawan sangat senior, dan saya wartawan baru, sehingga patut untuk memberi penghormatan. Ketiga, saya sekalian melakukan liputan. Saya bertanya kepada salah satu anaknya yang pria, apakah almarhum sedang menulis sesuatu? Ternyata Mahbub sedang menulis untuk kolom Asal-Usul di Kompas Minggu. Judulnya: Cartagena. Tulisan itu belum selesai.
Selebihnya saya mengenalnya lewat tulisannya di kolom Asal-Usul. Kali pertama saya mendengar namanya saat saya SMA. Saat itu sedang ada pesantren kilat di Palimanan, Kabupaten Cirebon. Bulan Ramadhan. Beliau menjadi salah satu pembicaranya, bersama Fachry Ali. Tapi tak banyak yang bisa saya ingat dari kejadian itu. Saya mulai mengaguminya saat saya kuliah. Saya menikmati kolomnya di Asal-Usul. Nakal dan jenaka. Ringan dan tajam. Lucu dan serius. Semua tersaji bersama, dalam satu tulisan singkat. Pujian untuk itu hanya singkat saja: Tak tertandingi! Dua hal yang saya ingat adalah ketika Mahbub menulis tentang Titiek Puspa dan Muhammad Yamin. Sayang dua tulisan itu tak saya kliping. Padahal dari tulisan itu bisa sedikit tergambar tentang Titiek Puspa dan Muhammad Yamin.
Sepertinya, dua tulisan itu tak dimuat dalam buku kumpulan kolomnya di Kompas tersebut. Judul bukunya sama dengan judul rubriknya: Asal-Usul. Buku ini kali pertama terbit pada 1996, diterbitkan Gramedia. Buku ini diterbitkan kembali pada 2018 oleh penerbit Ircisod, Yogyakarta. Rupanya ada kerinduan publik terhadap tulisan-tulisan Mahbub. Kumpulan tulisannya di berbagai media massa juga sudah diterbitkan menjadi buku dengan judul Humor Jurnalistik. Buku ini terbit pada 1986 oleh penerbit Indera Aksara. Kesuksesan menerbitkan Asal-Usul membuat Ircisod juga menerbitkan ulang buku Humor Jurnalistik pada 2018. Pada tahun yang sama, Ircissod juga telah menerbitkan ulang kumpulan tulisan Mahbub di majalah Tempo. Judul kumpulan tulisan di majalah mingguan tersebut adalah Kolom Demi Kolom, awalnya diterbitkan pada 1986. Buku ini cetak ulang pada 1989. Kedua edisi itu diterbitkan penerbit Haji Masagung.
Sebelumnya, juga terbit novel terjemahan Mahbub berjudul Binatangisme karya George Orwell pada 2017 oleh penerbit Gading, Yogyakarta. Ini adalah terbitan ulang dari terbitan Iqra, Bandung, pada 1983. Karya terjemahan Mahbub yang lain yang diterbitkan ulang adalah buku karya Michael H Hart yang berjudul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Buku itu diterbitkan Pustaka Jaya pada 1982 dan terbit hingga belasan kali. Saking larisnya, buku ini terbit dengan dua versi, soft cover dan hard cover. Edisi Bahasa Inggris buku ini terbit pertama pada 1978, namun direvisi pada 1992. Edisi revisi itu kemudian diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada 2009 oleh penerbit Hikmah, dari grup Mizan, tapi bukan terjemahan Mahbub – Mahbub telah meninggal pada 1995. Revisi itu dilakukan berdasarkan masukan pada Hart sehingga ada nama-nama yang dikeluarkan dari daftar 100 tokoh dan ada nama-nama baru yang masuk. Selain itu juga ada perubahan peringkat. Toh, kendati sudah ada edisi revisi dan telah pula diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan penerjemah bukan Mahbub, namun masih ada penerbit yang bersedia menerbitkan buku 100 tokoh terjemahan Mahbub dengan daftar tokoh-tokoh yang belum direvisi. Buku ini diterbitkan lagi oleh penerbit Ircisod.
Kita tunggu, apakah akan ada penerbit lain yang akan menerbitkan ulang karya-karya Mahbub yang lain. Novel karya Jules Verne, penulis fiksi sains, pun pernah diterjemahkan Mahbub, 80 Hari Keliling Dunia, dan diterbitkan Iqra, Bandung. Penerbit Iqra juga menerbitkan buku terjemahan Mahbub yang berjudul Lawrence dari Arabia karya Philip Knightley. Buku karya Hassanein Heikal pun ia terjemahkan. Buku berjudul Di Kaki Langit Gurun Sinai berkisah tentang Palestina. Reportasenya sebagai wartawan tentang kaum Moro di Filipina Selatan pun telah terbit menjadi buku. Selain sebagai wartawan, Mahbub juga seorang sastrawan. Ia telah menulis novel berjudul Angin Musim dan Dari Hari ke Hari. Novel Dari Hari ke Hari semacam kisahnya sendiri saat Mahbub kecil diajak hijrah orangtuanya dari Jakarta ke Solo karena perang akibat agresi Belanda. Novel terbitan 1975 (Pustaka Jaya) ini terbit ulang pada 2014 oleh Majalah Surah dan Yayasan Saifuddin Zuhri – Mahbub memang tokoh NU. Aktivis HMI ini mendirikan PMII dan menjadi ketua umumnya selama tiga periode. Ia juga pernah menjadi wakil ketua umum PBNU dan wakil ketua umum PPP.
Mahbub juga menerjemahkan novel karya Art Buchwald yang berjudul Cakar-cakar Irving. Novel ini diterbitkan Iqra pada 1982. Novel ini justru penting bagi Mahbub. Karena Buchwald adalah penulis yang dikagumi Mahbub. Gaya jenaka dan satire Mahbub mirip kolumnis dan novelis asal Amerika Serikat tersebut. Sedangkan gaya metafora ia dapatkan dari Orwell. Mahbub juga mengagumi Karl May dan Mark Twain, dua novelis besar. Idrus, sastrawan Indonesia, juga memengaruhi gaya penulisan Mahbub.
Sebagai wartawan, Mahbub berkarier di Duta Masyarakat, koran milik NU. Di sini ia kemudian menjadi pemimpin redaksi. Ia juga pernah menjadi ketua umum PWI Pusat dan kemudian menjadi ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Aktivitas politik dan ceramah-ceramahnya membuat Mahbub pernah dipenjara oleh Orde Baru, tanpa proses pengadilan. Di penjara ia berhasil menulis novel Angin Musim dan menerjemahkan Road to Ramadhan karya Hassanein Heikal.
Selain pengaruh Buchwald, Orwell, Verne, Idrus, dan lain-lain, latar belakang Mahbub sebagai orang Betawi merupakan bekalnya yang sejati. Orang Betawi dikenal dengan gaya apa adanya, ceplas-ceplos, diksinya tak terduga, dan lucu. Kata lucu sebetulnya bisa dimaknai bagi orang dari luar subkultur yang lain, karena bagi orang Betawi justru sedang tidak melucu. Namun Mahbub menggunakannya secara sadar sebagai pemikat tulisan-tulisannya, termasuk tulisan terjemahannya. Betawi sebagai budaya melting pot bisa dilihat pada bahasa, ondel-ondel, lenong, pantun, dan lain-lain. (Bersambung)
Baca Juga : Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka (2)
Editor: Ariful Hakim