Pengantar:
Ceknricek.com--Tanggal 22 Juli adalah kelahiran kolumnis terbesar Indonesia, Mahbub Djunaidi. Ia lahir pada 1933. Pria Betawi ini lahir dan besar di Jakarta. Namun ia memilih Bandung sebagai tempat untuk menikmati hari tuanya. Pada 1 Oktober 1995, penulis satire humor ini meninggal dunia. Tulisannya yang jenaka dan tajam masih bisa dinikmati dari tiga buku kumpulan tulisannya. Pada 22 Juli 2021 ini, jatuh pada hari Kamis, tepat 88 tahun kelahirannya. Untuk mengenang Mahbub, saya menulis catatan yang lumayan panjang. Selamat menikmati.
****
Aktivis
Mahbub bukanlah penulis biasa. Ia berangkat sebagai seorang aktivis. Apalagi ia dibesarkan di masa pergolakan revolusi mempertahankan kemerdekaan. Mahbub lahir di Jakarta pada 22 Juli 1933 dan meninggal di Bandung pada 1 Oktober 1995. Ibunya bernama Muchsinati dan ayahnya bernama KH Muhammad Djunaidi, seorang tokoh NU yang terpilih menjadi anggota DPR pada pemilu 1955. Ia anak pertama dari 13 bersaudara. Mertuanya pun seorang kiai, KH Asymawi. Kesadaran kritis dan bakat menulisnya justru terpantik ketika ia dan keluarganya hijrah ke Solo akibat agresi Belanda pada 1947. Di sini ia dikenalkan pada karya-karya sastra dunia dan Indonesia. Namun ketika agresi Belanda masuk ke Solo pada 1948, keluarga Djunaidi kembali ke Jakarta. Saat sekolah menengah, di SMA Negeri Boedi Oetomo, bakat menulis Mahbub mulai kelihatan. Tulisan-tulisan fiksinya sudah bertebaran di media-media sastra bergengsi saat itu seperti Kisah, Siasat, Star Weekly, Mimbar Indonesia, dan Cinta. Bahkan sejak SMP (tamat 1952) cerpennya yang berjudul Tanah Mati sudah dimuat majalah Kisah, yang diasuh HB Jassin. Paus sastra itu bahkan membuat komentar atas cerpen itu. Peristiwa ini tak terlupakan oleh Mahbub. Di masa SMA ia juga mendirikan majalah sekolah, Siswa. Mahbub menjadi pemimpin redaksinya.
Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tidak tamat), ia aktif di HMI. Namun sebagai keluarga NU, ia kemudian mendirikan PMII. Apalagi saat SMA ia telah aktif di organisasi pelajar NU, IPNU. Di PMII ini ia terpilih sebagai ketua umum pertama. Ia menjabat tiga periode sejak 1960 hingga 1967. Setelah itu ia ikut GP Ansor, menjadi salah satu ketua tapi kemudian tak banyak aktif. Mahbub lah yang menciptakan lirik lagu mars PMII dan mars Ansor.
Sebagai wartawan, bapak tujuh anak ini tak hanya menjadi wartawan profesional, yang melakukan reportase dan menuliskan laporan serta pendapatnya. Mahbub juga aktif di organisasi pers, Persatuan Wartawan Indonesia. Di masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, Mahbub adalah ketua umum PWI Pusat pertama di era Soeharto. Rezim ini membersihkan organisasi pers dari unsur pro Orde Lama. Melalui Kongres ke-12 pada 4-7 Novemver 1965, dua bulan setelah tragedi G30S/PKI, Mahbub menjadi ketua umum PWI Pusat hingga tahun 1970. Sebelumnya, sejak 1963 ia menjadi wakil ketua umum PWI Pusat, mendampingi Karim DP. Saat memimpin PWI, ia berduet dengan Jakob Oetama dari Kompas yang menjadi sekjen. Setelah itu Mahbub menjadi ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat. Lembaga ini adalah lembaga terhormat di PWI. Lembaga ini bertugas menjaga moral dan sikap profesional wartawan, dan yang utama adalah menjaga kode etik jurnalistik.
Sebagai seorang wartawan di masa itu, Mahbub juga memiliki afiliasi politik. Saat itu tiap partai memiliki media masing-masing. Duta Masyarakat adalah koran milik Partai NU. Di sini ia meniti karier mulai dari reporter pada 1958. Hingga kemudian ia menjadi pemimpin redaksinya pada 1960-1970. Kendati begitu, Mahbub mengelola Duta Masyarakat secara profesional. Setelah tak lagi memimpin PWI, Mahbub menjadi wakil sekjen NU pada 1970-1979. Ia juga menjadi anggota DPR RI pada 1977-1982 mewakili PPP. Setelah NU kembali ke Khittah 1926, Mahbub menjadi wakil ketua umum, mendampingi Gus Dur. Walau sama-sama sependapat agar NU kembali ke Khittah 1926, Mahbub ada perbedaan dengan Gus Dur. Mahbub menghendaki khittah plus, yaitu tetap memiliki sikap politik.
Aktivitas politik Mahbub mengantarkan dirinya ke parlemen. Sejak 1960 ia menjadi anggota DPR GR/MPRS, di masa Demokrasi Terpimpin. Ini artinya ia merangkap dengan jabatannya sebagai pemimpin redaksi Duta Masyarakat. Keanggotaannya di DPR ia manfaatkan untuk memperjuangkan pers. Atas inisiatifnya, dan menjadi satu-satunya undang-undang atas inisiatif DPR masa itu, ia mengusulkan lahirnya UU tentang Ketentuan Pokok Pers. Ia kemudian ditunjuk menjadi ketua pansusnya. Sedangkan sekretarisnya adalah M Said Budairy, yang juga wakil pemimpin redaksi di Duta Masyarakat. Mahbub memang selalu diiringi Budairy. Di PMII, Mahbub ketua umum, Budairy sekjen yang pertama. Saat Mahbub menjadi ketua umum PWI Pusat, Budairy menjadi wakil sekjen lalu menjadi bendahara.
Di politik, Mahbub pernah menjadi wakil ketua umum DPP PPP dan wakil ketua MPP PPP. Di NU ia pernah menjadi wakil sekjen PBNU (1970-1979) dan wakil ketua umum PBNU (1984-1989). Selain aktif menulis, Mahbub juga aktif berceramah dan menjadi pembicara seminar di kampus dan di manapun. Pada 1977-1978, politik memanas. Mahasiswa bergolak dan berdemonstrasi. Sejumlah pers juga mengalami pembredelan pada 1977 dan 1978 tersebut. Isu pergantian presiden sempat muncul. Mahbub pun menjadi korbannya. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tanpa melalui proses pengadilan dan tak jelas apa kesalahannya. Mahbub di penjara di rumah tahanan era kolonial Nirbaya, di Pinang Ranti, Pondok Gede, Jakarta Timur (sekarang rumah tahanan ini sudah tidak ada, dekat TMII. Di sinilah para pembangkang Orde Baru pernah ditahan seperti Mochtar Lubis, Bung Tomo, Hariman Siregar, dan Adnan Buyung Nasution). Karena sakit, ia kemudian dipindahkan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Sejak penahanan itulah Mahbub tak pernah sehat sepenuhnya, hingga meninggalnya pada 1995.
Mahbub memiliki perhatian terhadap ketidakadilan. Saat HMI hendak dibubarkan atas desakan PKI, ia menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor. Ia meminta agar HMI jangan dibubarkan. Duta Masyarakat, koran yang ia pimpin, juga melakukan pembelaan terhadap Buya Hamka yang mengalami persekusi dari kelompok Lekra yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer dan berafiliasi ke PKI. Yang menjadi titik masuknya adalah novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, novel yang terbit pada 1930an. Hamka dituduh plagiat. Namun HB Jassin dan Mahbub membelanya. Tapi Hamka tetap dipenjara, tanpa proses pengadilan. Saat itu PKI terus merontokkan lawan-lawan politiknya satu per satu, target pertama adalah kekuatan Islam. Di masa Orde Baru, Mahbub juga melakukan pembelaan terhadap Pramoedya Ananta Toer dengan tetralogi Pulau Buru-nya. Saat itu, pemerintah Orde Baru melarang novel-novel karya Pram.
Mahbub dua kali menulis artikel untuk membela Pram dan menolak pelarangan novel-novel tersebut. Tapi tak ada media yang berani menurunkan semua tulisan itu. Mahbub tak kehilangan akal, melalui pintu bahasa, ia menemui Mendikbud saat itu Fuad Hasan. Mahbub berpendapat Pram adalah orang dengan kecakapan berbahasa Indonesia yang terbaik. Atas pembelaannya itu, Pram sangat menghormati Mahbub. Kisah ini bisa dibaca pada buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali. Pram juga datang khusus menemui Mahbub di rumahnya di Bandung. Pram yang jarang bicara memberikan testimoni justru menyorongkan diri untuk bicara memuji Mahbub, dan ia datang ke kuburan Mahbub untuk memberikan penghormatan terakhir (Bersambung).
Baca Juga : Mahbub Djunaidi Si Nakal Jenaka (3)
Editor: Ariful Hakim