Ceknricek.com--Saya kenal Prof. Dr. Marissa Haque sejak saya kecil. Siapa yang tidak mengenal beliau yang hampir setiap hari menghiasi TV nasional ketika itu? Beliau adalah seorang tokoh nasional di bidang seni, seorang artis senior, multi talented person, akademisi dan intelektual, bahkan seorang professor dan bahkan saya tidak ragu memanggil beliau Ustadzah.
Kami komunikasi dekat sejak dahulu hingga beberapa hari lalu dalam banyak hal. Tidak jarang kami berdua melalui media WA berdiskusi dengan beliau dalam banyak hal tentang perkembangan perpolitikan di tanah air. Pandangan politik kami banyak memiliki kesamaan dengan harapan yang sama. Untuk hadirnya perubahan bagi Indonesia demi masa depan yang lebih baik.
Awal kami komunikasi intens dengan almarhumah di saat beliau mengambil S2 di Athen, Ohio. Ketika itu beliau mengontak saya ingin mengikuti dan merekam (dalam video) beberapa kegiatan-kegiatan Dakwah saya, khususnya di bidang dialog antar agama. Maklum ketika itu Dakwah dan Dialog antar agama masih sesuatu yang langka dan rentan menimbulkan kesalahpahaman. Apalagi di saat-saat suasana Amerika pasca 9/11 yang masih mencekam.
Saya kurang ingat persisnya. Tapi ketika itu Presiden Indonesia adalah Ibu Megawati Sukarno Putrì. Ibu Hajjah, demikian saya memanggil almarhumah, hadir di kota New York dan menginap di kediaman kami di Astoria Queens beberapa hari. Tujuannya untuk mengikuti beberapa kegiatan Dakwah kami di kota New York. Termasuk hadir dan duduk menjadi peserta di kelas muallaf saya di Islamic Center New York. Almahumah juga mengikuti beberapa acara Dialog antar agama yang kami rintis bersama beberapa tokoh agama di kota New York.
Pada waktu yang sama di bulan September itu ada acara Sidang Umum PBB (UN General Assembly). Salah satu kepala negara yang hadir mewakili negara-negara anggota PBB adalah Presiden RI, Ibu Megawati Soekarno Putrì. Saya ketika itu masih staf di Perwakilan RI untuk PBB. Namun lebih dikenal sebagai salah seorang tokoh Komunitas Muslim di New York.
Salah satu acara sampingan Presiden RI di kota New York adalah pertemuan dengan masyarakat Indonesia di KJRI New York. Saya dalam kapasitas tokoh komunitas diundang untuk hadir di acara itu. Almarhumah Hajjah Marissa yang mendengar tentang acara itu meminta ke saya kiranya bisa diusahakan untuk ikut hadir dalam pertemuan dengan Ibu Megawati.
Kebetulan Konjen RI ketika itu dekat dengan kami. Maka ketika saya meminta nama Marissa Haque untuk diundang beliau langsung menginstruksikan ke staf untuk memasukkan nama beliau ke list para tamu. Tentu saja Ibu Hajjah sangat bergembira dan hadir bersama saya di acara itu.
Di sela-sela acara itulah almarhumah mengenalkan diri ke suami Ibu Megawati, Taufik Kiemas. Bahwa beliau adalah pelajar di Ohio dan sudah hampir selesai. Bersamaan pula di Indonesia ketika itu akan ada pemilihan anggota legislatif (DPR/DPD). Dengan serta merta Taufik Kiemas menawarkan ke almarhumah untuk maju sebagai calon DPR RI dari PDIP di daerah pemilihan Jawa Barat. Mba Icha tentu saja dengan senang menerima tawaran itu. Alhamdulillah kita ingat beliau pernah jadi anggota DPR RI dari PDIP.
Walaupun beliau sudah jadi anggota DPR kami tetap berkomunikasi dekat. Seringkali kami berdiskusi via online dalam berbagai permasalahan di tanah air. Entah kenapa beliau sering meminta pandangan saya, bahkan dalam bidang yang saya pasti bukan ahlinya, seni.
Karena kedekatan almarhumah dengan Taufik Kiemas, saya waktu itu meminta untuk menghubungkan beliau dengan saya untuk menagih janjinya. Kebetulan suami Presiden RI itu pernah berjanji untuk membantu pembangunan Masjid Indonesia di kota New York. Namun janji itu tak kunjung dipenuhi. Akhirnya saya meminta ke Ibu Hajjah untuk mengingatkannya. “Lagi dikumpulkan," kata beliau menyampaikan pesan Taufik Kiemas.
Komunikasi kami terus berlanjut. Bahkan dalam beberapa kesempatan beliau selalu meminta didoakan untuk bisa kembali berkunjung ke kota New York. “Saya nginap di rumah pak Ustadz aja ya," pinta beliau. “Iya Bu Hajjah dengan sangat senang. Sama Kang Ikang ya," jawab saya.
Beberapa tahun lalu kami bersama Dompet Dhuafa ketika hadir di Jakarta diundang ke kediaman beliau yang asri dan nyaman. Kami disambut dengan ragam kuliner laut. Dan Ikang tidak lupa menghibur kami dengan lagu-lagu rock terbarunya. Bahkan beliau memberikan beberapa CD lagunya.
Dalam tahun-tahun selanjutnya beliau sering mengkomunikasikan keluhan-keluhan politiknya. Terkhusus lagi ketika ada sedikit masalah dengan pimpinan Partai pengusungnya ketika itu. Entah Kenapa saya termasuk tempat beliau menyampaikan keluh kesah itu. “Sabar Bu Hajjah. Partai hanya kendaraan. Dan kalau kendaraan ngadat, dan tidak bisa direpair lagi ganti saja”, kata saya.
Seingat saya beliau pernah ke PPP. Lalu pernah pernah maju sebagai Cawagub Banteng dari PKS. Namun semua belum selancar sebagaimana dicita-citakan. Hingga suatu ketika beliau mengirim pesan: “Ustadz, I am giving up. Politic is not my way”.
Saya lalu tanya: “then what is the next Bu Hajjah?”. Beliau jawab: “saya mau sekolah lagi Ustadz”.
Ternyata benar. Beliau menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi Ph.D, bahkan meraih gelar professor (associate). Beliau adalah “mujahidah” yang tak mengenal kata “menyerah”. Bahkan di tengah terpaan badai sebagai figur publik beliau melangkah terus dengan hati lapang dan senyum dan tawanya yang khas.
Sekitar dua bulan lalu kami masih komunikasi. “I still owe you Ustadz," katanya.
Beliau maksudkan masih berhutang mengunjungi kami di Kota New York. Hal yang sejak bertahun-tahun lalu telah beliau sampaikan. Ingin ke kota New York bersama keluarga. Apa daya Allah lebih sayang beliau dan beliau dipanggil segera membersamai kasih sayangNya.
“Inna lillahi wa inna ilai rajiun”.
Selamat jalan Bu Hajjah. Kita tidak jadi ketemu di New York. InsyaAllah semoga kita sekeluarga ketemu di SyurgaNya Allah. Al-Fatihah!
Kami tuliskan ini diiringi doa terbaik untuk almarhumah dari Masjidil Haram, Makkah.
Mekah, 4 Oktober 2024
*a friend and a brother in faith in New York.
Editor: Ariful Hakim