Masa Depan Suram BPR | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Masa Depan Suram BPR

Ceknricek.com -- Prospek bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR) makin suram saja. Banyak aturan main yang membuat bisnis simpan pinjam ini agak berat. Persaingan juga kian sengit. Kebijakan kredit usaha rakyat atau KUR sampai bisnis simpan pinjam daring menggencet bisnis ini.

Di depan mata, persaingan bisnis BPR akan bertambah sengit. Aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan minimum modal inti bank sebesar Rp3 triliun diperkirakan akan banyak melahirkan BPR baru. Soalnya, bank yang tidak mampu memenuhi aturan ini bakal diturunkan kastanya menjadi BPR.

Menengok data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Oktober 2019, terdapat 13 bank umum yang masuk kategori bank BUKU II dengan modal kurang dari Rp1 triliun dan total memiliki kantor 382 unit. Bank-bank inilah yang berpotensi besar berubah status menjadi BPR. 

Masa Depan Suram BPR
Sumber: Perbankan

BPR merupakan bank dengan layanan terbatas. Bank jenis ini hanya bisa memberikan layanan simpanan tabungan dan deposito. Wilayah operasinya pun lebih terbatas dari bank umum, yakni hanya di lingkup kabupaten/kota. 

Baca jugaTurun Kelas Karena Modal Cekak

Di sisi lain, ada juga aturan dari OJK yang ditujukan untuk BPR, yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat. Dalam aturan ini, disebutkan bahwa kewajiban penyertaan modal minimum dan pemenuhan modal inti BPR Rp3 miliar paling lambat 31 Desember 2019. Sementara, BPR yang modal intinya antara Rp3 miliar hingga kurang dari Rp6 miliar wajib memiliki modal inti Rp6 miliar paling lambat 31 Desember 2024. 

Masa Depan Suram BPR
Sumber: Jurnalasia

Aturan ini jelas dibenci para pemilik BPR. Pasalnya, hingga kini banyak di antara mereka yang belum bisa memenuhi ketentuan dalam PJOK tersebut. Mereka yang bermodal cekak ini ada sekitar 700 BPR.

Mereka harus bersusah payah memenuhi kewajiban modal inti minimum itu. Ada pemilik BPR mencari tambahan modal dengan cara menjual aset pribadinya (di luar BPR), ada pula yang mencari investor untuk menyuntikkan dana segar. Bahkan, ada yang terpaksa menjual BPR kepada pihak ketiga.

Kredit Usaha Rakyat

Badai yang harus dihadapi oleh BPR bukan hanya datang dari OJK, tetapi juga kebijakan pemerintah yang makin getol menyalurkan KUR. Pada tahun ini, pemerintah kembali memangkas suku bunga pinjaman KUR dari sebelumnya 7% menjadi hanya 6%. Tak hanya menurunkan suku bunga, target realisasi KUR pun didongkrak sebesar 36% menjadi Rp190 triliun. Plafon pinjaman debitur juga ditingkatkan dari Rp25 juta menjadi Rp50 juta. Ini menjadi masalah. Soalnya, nasabah yang disasar oleh KUR, sama dengan nasabah BPR. 

Makin mengecilnya suku bunga dan plafon KUR yang makin besar jelas mengganggu penyaluran kredit BPR. Inilah yang membuat tantangan BPR makin berat. Apalagi, suku bunga yang ditawarkan BPR bisa empat kali lipat di kisaran 23%-25% dibandingkan suku bunga KUR. Pangsa pasar BPR pun makin tergerus. Di sisi lain, kondisi BPR juga masih belum mampu bersaing dengan bank umum jika dinilai dari sisi suku bunga, SDM dan teknologi. 

Masa Depan Suram BPR
Sumber: Istimewa

Baca juga: Tiga Pilihan Bagi Bank Gurem

Masalah lainnya yang cukup memberatkan kinerja BPR adalah kredit macet. Hingga Agustus 2019, OJK mencatat dari total kredit yang disalurkan 1.579 BPR di Tanah Air senilai Rp106,09 triliun, nilai kredit macet bersihnya (NPL net) mencapai Rp7,81 triliun atau setara 7,36%.

Angka 2019 ini memberi gambaran bahwa masalah kredit macet adalah masalah klasik bagi BPR. Tercatat NPL gros BPR pada 2015 sebesar 5,37%, 2016 sebesar 5,83%, 2017 sebesar 6,15%, dan 2018 sebesar 6,37%.

Tekfin 

Tantangan lainnya yang cukup berat dihadapi BPR adalah persaingan dengan pinjaman daring alias teknologi finansial (tekfin) peer to peer lending. Layanan tekfin ini mampu melesat dan tumbuh mencapai 121,76% pada 2019. Bandingkan dengan pertumbuhan kredit perbankan yang hanya tumbuh 6% sepanjang 2019. 

OJK sendiri menyadari berbagai kebijakan yang kurang berpihak kepada BPR. Alhasil, suka tidak suka, jumlah BPR kian menyusut, baik karena merger, akuisisi, maupun tutup dengan sendirinya. 

Masa Depan Suram BPR
Sumber: Istimewa

Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK, Ayahandayani, memperkirakan bahwa dengan adanya kebijakan ini, dari jumlah BPR pada 2018 sebanyak 1.597 bisa hanya tersisa 1.000 BPR.

Sebenarnya, secara alamiah, populasi BPR memang terus menyusut. Pada 2011, berdasarkan data OJK, masih ada 1.669 BPR. Pada akhir 2018, tinggal sebanyak 1.597 saja.

Melihat fakta ini perlulah kiranya pemerintah menerbitkan regulasi yang berpihak kepada pelaku bisnis BPR. Sebut saja contohnya BPR bisa listed di bursa dengan menjadi perusahaan terbuka. Pemegang sahamnya pun sebaiknya tidak dibatasi hanya WNI. Usul ini sempat diajukan sejumlah BPR dengan dilandasi bahwa perusahaan tekfin juga bisa mencari dan mendapatkan modal asing. Tekfin juga sudah ada yang listed di bursa.

BACA JUGA: Cek EKONOMI & BISNIS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait