Ceknricek.com -- Tepat pada tanggal hari ini, 96 tahun silam, 2 Oktober 1923, Sitor Situmorang lahir di Harianboho, sebuah lembah kecil di kaki Gunung Pusuk Buhit, di sebelah barat Danau Toba, Sumatera Utara.
Kelak, ia dikenal sebagai salah satu penyair "berbahaya" dan paling produktif dalam menuliskan karyanya, meskipun sempat mendekam dalam jeruji besi tanpa proses pengadilan.
Raja Usu dari Tanah Batak
Dalam Kesusastraan Indonesia, nama Sitor Situmorang dikenal sebagai angakatan 45. Ia satu angkatan dengan penyair-penyair kondang lainnya, seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani.
Penyair yang memulai kariernya sebagai koresponden Waspada (Harian di Medan, Sumatera Utara) ini memiliki nama kecil Raja Usu, yang diambil dari nama leluhurnya. Beberapa waktu kemudian , nama itu berubah menjadi "Sitor" meskipun pada saat Sekolah Rakyat, ia masih menyandang nama tersebut.
Sumber: Idwriters
Baca Juga: Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar
Ayah Sitor bernama Ompu Babiat, semantara ibunya berasal dari Marga Simbolon. Sebelum bertempat tinggal di Lembah Harianboho, ayahnya tinggal di Lintong. Ia seorang kepala adat marga, yaitu Marga Situmorang. Ibu Sitor adalah istri kedua dari Ompu Babiat.
Bakat sastrawi Sitor memang sudah terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia bahkan menguasai bahasa Jepang, Jerman, dan Perancis secara autodidak. Sitor masuk sekolah Rakyat (HIS) pada 1931 di Balige. Saat kelas 5 ia pindah ke Sibolga.
Sumber: Dok. Pribadi Sitor Situmorang
Setelah tamat Sekolah rakyat tahun 1938, Sitor masuk MULO di Tarutung dan tamat pada 1941. Setelah menamatkan MULO ia pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di AMS. Namun kedatangan Dai Nippon membuyarkan impian Sitor.
Tahun 1943, Sitor diberangkatkan ke Jepang untuk menimba ilmu. Sepulang dari Negeri Matahari Terbit itu, ia bekerja di Kantor Keuangan Jepang di Sibolga. Tatkala Jepang jatuh, Sitor bekerja sebagai Redaktur Surat Kabar Suara Nasional, dan di Harian Waspada pada 1947.
Berkelana ke Eropa
Tahun 1950 Sitor mendapat beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk pergi ke Eropa, selama 3 tahun. Setelah kembali ke Jakarta, ia mulai merasakan bahwa dirinya mampu menulis.
Saat itu Sitor sebenarnya sudah mulai terkenal dan terkemuka. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia (1980) menyatakan bahwa kunjungannya ke Eropa itu membuat Sitor terpengaruh sangat kuat oleh eksistensialisme yang dikenalnya begitu dekat selama ia berada di Paris.
Sumber: Tribunnews
Baca Juga: Mengenang Goethe: Sastrawan Terbesar Jerman
Sitor mendapat kesempatan untuk memperdalam pengetahuannya mengenai sinematografi di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat tahun 1956-1957. Dia kemudian bekerja di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Di samping itu, Sitor juga bekerja sebagai dosen Akademi Teater Nasional Indonesia. Dia pernah menjabat anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, dan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional tahun 1959-1965. Sejak tahun 2002 Sitor tercatat sebagai anggota Akademi Jakarta.
Tulisan awal Sitor banyak dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Surat Kertas Hidjau bertemakan percintaan dan pengembaraan. Sajak-sajaknya yang ditulis tahun 1953-1954 dimuat dalam buku yang berjudul Dalam Sadjak (1955) dan Wadjah Tak Bernama (1955).
Sumber: Konfrontasi.com
Menurut Maman S. Mahayana dalam Akar Melayu, ciri khas puisi-puisi Sitor adalah tema-tema yang menggambarkan keterasingan dirinya dalam memasuki kembali dunia masa lalunya.
“Sitor merasa keasingan dan kesepian yang mendalam, seperti bunga di atas batu/dibakar sepi (“Bunga”) atau sunyi terbagi/jadi percakapan seorang diri/antara mata (“Kawan”). Beberapa puisi pendeknya juga mengisyaratkan hal demikian,” tulis Maman.
Dipenjara Tanpa Pengadilan
Pada tahun 1959, Sitor mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional yang berafiliasi dengan Parta Nasional Indonesia (PNI), salah satu partai politik terua di Indonesia yang digawangi oleh Soekarno, dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Sejak saat itulah, Sitor terlibat dalam kancah perpolitikan nasional. Di masa Demokrasi Terpimpin, ia menjadi salah satu pendukung setia kebijakan Presiden Soekarno, khususnya di sektor kebudayaan.
Sumber: Dok. Pribadi Sitor Situmorang
Sikap politik ini juga cukup mempengaruhi beberapa karyanya yang terbit pada era 60-an, sebagaiamna terkumpul dalam Zaman Baru (1962). Kumpulan puisi ini diciptakan Sitor tatkala ia bersama Rivai Apin (tokoh Lekra) berkunjung ke Tiongkok. Setelah Zaman Baru muncul dua kumpulan puisinya yang lain, Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977).
Baca Juga: Menguak Takdir Asrul Sani
Pada tahun 1965, Gestok atau Gestapu pecah. Situasipun berubah dengan cepat. Kekuatan Soekarnois dan komunis terpukul oleh kekuatan baru bernama Orde Baru. Sitor yang merupakan salah satu pendukung Soekarno pun turut dijebloskan dalam penjara.
Salah satu penyebabnya adalah tulisan Sitor yang berjudul Esai Sastra Revolusioner yang kemudian membuatnya mendekam di penjara dari tahun 1967 sampai 1975. Selama masa itu ia tidak diizinkan membawa alat tulis dan kertas ke dalam tahanan.
Sumber: Pilihanrakyat
Usai dibebaskan Sitor kembali berkarya. Kumpulan Puisinya Dinding Waktu terbit pada 1976. Kumpulan sajaknya Peta Perjalanan (1977) pun mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.
Sejak 1984 Sitor bermukim di Belanda bersama istri keduanya Barbara Brouwer. Sesekali ia pun masih sempat pulang ke Indonesia.
Pada 21 Desember 2014, Sitor meninggal di Belanda pada usia 91 tahun. Seturut pesannya, ia kemudian dibumikan di tanah leluhurnya pada 1 Januari 2015 di Pemakaman Keluarga Harianboho, Sumatera Utara.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.