Menyoal Wewenang Regulatif Dewan Pers | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Menyoal Wewenang Regulatif Dewan Pers

Ceknricek.com -- Beberapa orang pribadi warga negara Indonesia telah mengajukan mendaftar Permohonan Uji Materi (“PUM”) terhadap Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”). PUM meminta agar Mahkamah Konstitusi (“MK”) menguji norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 5 ayat (5).

Pasal 15 ayat (2) huruf f mengatur fungsi Dewan pers (DP) untuk  memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; sedangkan Pasal 15 ayat (5) wewenang Presiden untuk menetapkan keanggotaan DP dengan Keputusan Presiden.

Pemohon meminta MK memberi tafsir konstitusional bersyarat (conditionally constitution)  terhadap Pasal 15 ayat (2) huruf f, dengan  memaknai norma “…dalam menyusun peraturan–peraturan bidang pers oleh masing-masing organisasi pers.”  Menurut Pasal 1 butir 5 UU Pers, organsiasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

Memangkas Wewenang DP

Meskipun tafsir konstitusional bersyarat yang diminta Pemohon hanya terbatas pada penambahan frase “oleh masing-masing organisasi pers” pada norma Pasal 15 ayat (2) huruf f, namun dalam dimensi  konstitusional yuridis  tafsir tersebut justru bersifat substansial. Oleh karena apabila tafsir konstitusional bersyarat yang dikehendaki oleh Pemohon tersebut dikabulkan MK, maka tafsir tersebut secara serta merta potensial dapat memangkas wewenang DP untuk membentuk Peraturan Dewan Pers sebagaimana praktik selama ini.

Padahal, dalam upaya meneguhkan eksistensinya  sebagai lembaga independen untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional, sejak didirikan DP telah membentuk cukup banyak Peraturan Dewan Pers (PDP), antara lain: PDP Nomor 10/Peraturan-DP/X/2009 tentang Keterangan Ahli Dewan Pers, PDP No.6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik dan PDP No.1 Tahun 2013 tentang Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan.

Distingsi Wewenang dan Fungsi DP

Dalam ranah hukum khususnya ilmu perundang-undangan (legislation science), memang dikenal beberapa terminologi tentang kekuasaan suatu lembaga, baik lembaga pemerintah, lembaga independen, atau lembaga non pemerintah, yaitu “Kekuasaan”, Wewenang, Kewajiban, atau  Fungsi. Celakanya, rangkaian terminologi tersebut seringkali digunakan secara asal-asalan atau serampangan  oleh pembentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Akibatnya, penggunaan terminologi tersebut bukan hanya rancu, lebih parah lagi dapat menyesatkan yang mengakibatkan  banyak norma legislasi yang keliru bahkan salah dipahami.

Dalam ranah ilmu perundang-undangan, kekuasaan bermakna kombinasi antara wewenang dan kewajiban suatu lembaga. Ketika suatu norma menggunakan istilah “Kekuasaan” artinya norma tersebut tidak membedakan atau mengombinasikan wewenang dan kewajiban suatu lembaga yang diaturnya. Termonologi “Wewenang” yang kadangkala dalam wujud abstrak disebut “Kewenangan”,  bermakna  kebolehan suatu lembaga untuk mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan tertentu. Sedangkan terminologi “Kewajiban” adalah sesuatu perintah yang wajib dilaksanakan oleh suatu lembaga.

Oleh karena itu, secara distingtif, wewenang memang berbeda dengan fungsi. Secara etimologis, kata  “Fungsi” bermakna pekerjaan atau jabatan. Sedangkan dalam dimensi norma perundang-undangan, terminology “Fungsi” bermakna rincian atau pemetaan pekerjaan. Dengan demikian, fungsi berbeda dengan wewenang suatu lembaga.

Secara  tekstual, Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers telah mengatur 2 pekerjaan DP, yaitu (1). Memfasilitasi  organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, (2). Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Kedua pekerjaan tersebut merupakan fungsi eksternal DP sebagai lembaga.

Pasal 15 ayat (2) huruf f tidak mengatur wewenang DP untuk membentuk Peraturan Dewan Pers yang bersifat mengatur, baik bersifat internal maupun eksternal., sebagaimana dilakukan DP selama ini dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai sebagai lembaga independen untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Dalam perspektif ilmu perundang-undangan, memang falasif dan aneh, ternyata UU Pers No.40 Tahun 1999 sama sekali tidak mengatur wewenang DP. UU Pers hanya mengatur lembaga dan fungsi DP sebagaimana termaktub dalam Pasal 15  ayat (1) sampai (7). Hal ini mestinya menjadi perhatian DP atau elemen pers nasional untuk merevisi dan menyempurnakan UU Pers.

Kevakuman norma yang mengatur wewenang DP dalam UU Pers bukan berarti DP tidak berwenang membentuk regulasi kelembagaan. Sebab, secara konstitusional yuridis, DP memiliki wewenang membentuk regulasi kelembagaan berdasarkan norma  Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dengan demikian, sejatinya uji materi terhadap Pasal 15 ayat (2) huruf f tidak menyoal wewenang Dewan Pers untuk membentuk Peraturan Dewan Pers sebagai regulasi kelembagaan dalam rangka melaksanakan kekuasaannya sebagai lembaga independen untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional, bahkan sebaliknya justru meneguhkan wewenang DP untuk membentuk peraturan kelembagaan.

#Bahrul Ilmi Yakup, Pengajar Ilmu Perundang-Undangan  dan Advokat


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait