Motinggo Busye, Si "Anak Ajaib" Bianglala Sastra Indonesia | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi: Alfiardy/Ceknricek.com

Motinggo Busye, Si "Anak Ajaib" Bianglala Sastra Indonesia

Ceknricek.com -- Tahun 1970-an, sebelum maraknya peredaran CD porno dan masifnya akses internet tersedia di Indonesia, para remaja yang ingin menikmati adegan-adegan panas harus mengembara ke dalam imajinasi mereka dengan membaca stensilan.

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa nama penulis stensilan yang kemudian menjadi legenda, sebut saja Enny Arrow, Fredy S, Teguh Esha, Abdullah Harahap, yang kemudian cukup membuat anak-anak di generasi itu berahi menikmati cerita-cerita erotis.

Namun, selain nama-nama tersebut, ada juga sastrawan yang pernah berkecimpung di dunia bacaan pembangkit syahwat, ia adalah Motinggo Busye. Penulis itu lahir hari ini 82 tahun yang lalu, tepatnya pada 21 November 1937.

Kiprah Motinggo Busye

Motinggo Busye sebenarnya adalah nama samaran, ia lahir dengan nama Bustami Dating di Kupangkota, Telukbetung, Bandar Lampung dari pasangan Djalid Sutan Rajo Alam dan Rabi’ah Jakub.

Ibu Bustami berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab. 

Sumber: Istimewa

Kedua orangtua Bustami meninggal saat Ia berusia 12 tahun. Dia lalu diasuh oleh neneknya di Bukittinggi, Sumatera Barat hingga menamatkan SMA di sana lalu melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, meski tidak selesai. 

Dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007), Agus Sri Danardana dan Puji Santoso menjelaskan, nama Motinggo Busye dipakai sejak 1953 saat puisinya dimuat di sebuah majalah. Dikutip dari Badan Bahasa, menurut Taufik Ismail, nama Motinggo berasal dari kata bahasa Minang, mantiko yang artinya bengal, eksentrik, suka menggaduh, ada kocaknya, dan tak tahu malu. 

Namun, hal itu disanggah oleh Motinggo Busye bahwa mantiko bungo artinya seperti bunga yang harum mewangi dan bukannya berkonotasi jelek. Mantiko Bungo atau disingkat menjadi MB sama dengan Motinggo Boesje bila disingkat.

Baca Juga: Mengenang Penyair Seribu Tahun, Chairil Anwar

Pada waktu itu, Taufik Ismail bahkan berpendapat bahwa Motinggo adalah anak ajaib di pentas sastra  Indonesia, sebab pada usia yang masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H. B. Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia.

Pada tahun 1958, Motinggo menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.

Sunardiyan Wirodono, dalam blognya menulis karya-karya Motinggo Busye pada era 1960-1970 mengajak penikmatnya untuk membebaskan pikiran dan imajinasi mereka (dengan) membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan. 

Novel-novelnya yang bergenre erotis itu, antara lain terlihat dari judul-judulnya seperti; Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Kutemui Dia (1970).

Sumber: Istimewa

Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tuliskan dalam novel Kutemui Dia tahun 1970.

"Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit."

Era sekarang, cerita yang ditulis Motinggo Busye mungkin terasa hambar dan tidak memantik hasrat seksual bagi generasi yang sudah terpapar adegan-adegan riil dalam bentuk visual. Namun pada masa ketika akses audio dan visual masih langka, rangkaian kalimat yang Ia susun dapat membuat jantung berdegup  kencang dan kepala menghangat.

Pada masa itu banyak kritikus sastra yang mengamati perkembangan karya Busye yang dianggap mengambil tema-tema vulgar.

Baca Juga: Mengenang Bastian Tito: Sosok Di Balik Cersil Pendekar Kapak Maut 212

"Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes," ujar Busye seperti diikuti dari Harian Terbit, 17 September 1994.

Penulis Multitalenta

Selain dikenal luas sebagai novelis, Motinggo Busye  juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis. Kepiawaiannya dalam melukis ini pernah dipamerkan dalam sebuah pameran di Padang pada tahun 1954. 

Kontribusi Motinggo Busye sebagai sutradara dapat dilihat dari film-film garapannya seperti, Cintaku Jauh di Pulau, Putri Seorang Jenderal, dan Si Rano. Dalam film Si Rano (1973) Motinggo mempertemukan aktor legendaris Indonesia Benyamin Suaeb dengan Rano Karno yang saat itu masih remaja.

Dalam jagat sastra Indonesia Motinggo Busye terbilang  penulis yang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi. Karya-karya tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. 

Sumber: Istimewa

Jiwa kepengaran Motinggo ia akui dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Ketika ia menulis cerita pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupassant. Dalam menampilkan watak tokoh cerita, Motinggo secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia, Anton P. Chekov dan John Steinbeck. Sementara itu, penulis Indonesia yang ia kagumi adalah Pramoedya Ananta Toer.

Sekitar tahun 1984-199, Busye mengubah pandangannya dalam berkarya. Pertama karena lesunya dunia perfilman nasional. Kedua, kritik keras dari anaknya yang disekolahkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Sumber: Istimewa

Oleh sang anak dari hasil pernikahannya dengan Laksmi Bachtiar, Ia diingatkan untuk tidak membuat karya sastra atau film yang lebih banyak menonjolkan seksualitas. Dari sinilah Busye membuat novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984, kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985). 

Novel tersebut menjadi penanda perubahan pandangan Motinggo dari hal-hal yang berbau seksualitas dan erotisme ke hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual imajinatif, serta absurditas.Terlebih setelah ia menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 1994.

Baca Juga: Nyanyi Sunyi Penyair Amir Hamzah

Lembar-lembar kalimat yang Ia tuangkan dalam karya seni akhirnya kembali membuahkan hasil. Busye mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 melalui cerpennya berjudul Bangku Batu

Tidak hanya itu, cerpennya berjudul Lonceng juga masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000. Karya lainnya, cerpen berjudul Dua Tengkorak Kepala juga ditahbiskan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 1999.

Sumber: Goodreads

"Perkembangannya sangat menarik.Semakin Ia mendalami agama, semakin Ia terbuka mendengarkan pendapat orang lain," ungkap Remy Sylado mengutip arsip Gatra.

Motinggo Busye tutup usia pada 18 Juni 999 pada usia 62 tahun di Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes. Anak ajaib itu dibumikan di pemakaman umum Penggilingan, Rawamangun, Jakarta Timur. Obituari Lian Tanjung dalam majalah Gatra menuliskan bahwa Motinggo Busye adalah Master Tanpa Mahkota. 

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.


Editor: Thomas Rizal


Berita Terkait