Ceknricek.com -- Hari itu, Kamis, 20 Oktober 2011, delapan tahun yang lalu menjadi hari terakhir bagi Muammar Khadafi menghirup udara segar. Pemimpin diktator dari Libya itu menemui ajal di tangan rakyatnya sendiri setelah berkuasa selama 42 tahun sejak 1969.
The Brother Leader ini sebenarnya menuai pujian dan apresiasi di awal pemerintahannya. Namun, di tengah perjalanan ia mulai anti kritik dan mengantar Libya ke arah otoritarianisme dengan menyikat tokoh-tokoh oposisi pemerintahan.
Kisah Awal Sang Kolonel
Muammar Mohammed Abu Minyar Gaddafi, atau lebih dikenal dengan nama Muammar Khadafi lahir pada tanggal 7 Juni 1942 di Sirte, Libya. Masa kecilnya ia lewati dalam tenda Badui di padang gurun Libya. Khadafi berasal dari keluarga suku al-Qadhafah. Saat kelahirannya, Libya masih menjadi koloni Italia.
Sumber: Telegraph.co.uk
Tumbuh saat dunia Arab sedang bergolak, Khadafi tampaknya menyerap semua konflik itu ke jagat kecilnya. Di Palestina, konflik berlarut-larut setelah Yahudi membentuk negara Israel pada 1948. Dia juga larut dalam gelora nasionalisme Arab, yang diteriakkan pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser, pada 1952.
Bersekolah di madrasah setempat, Khadafi kecil telah menaruh minat besar pada sejarah. Selesai menjalani pendidikan lanjut, Khadafi terjun ke dunia militer. Di Libya pada saat itu, menjadi tentara adalah peluang emas memperbaiki taraf hidup bagi keluarga kurang mampu. Itu sebabnya, masuk militer adalah pilihan bagi anak-anak muda miskin seperti Khadafi.
Tahun 1961, Khadafi masuk ke akademi militer. Dia lulus lima tahun kemudian dengan pangkat kolonel. Karena dianggap memiliki prospek cemerlang, Khadafi terpilih ikut pendidikan militer lanjutan selama beberapa bulan di Akademi Militer Inggris, Sandhurst.
Sebagai seorang perwira muda, darah Khadafi panas melihat negara Arab, yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, kalah perang dengan Israel di tiga front pada 1967 atau dikenal dengan Perang Enam Hari. Kegeraman itu semakin memuncak karena Raja Idris I dari Libya, hanya berpangku tangan melihat sesama bangsa Arab dipermalukan Israel dalam perang tersebut.
Baca Juga: Mengenang Anwar Sadat: Presiden Pemberani dari Mesir
Khadafi kemudian memberontak lewat sebuah pemberontakan di Benghazi yang dikenal dengan nama Gerakan 1 September 1969 terhadap Raja Idris I. Dari sinilah kemudian tampuk kekuasaan Khadafi bermula. Kebijakan-kebijakannya pun cukup diapresiasi masyarakat.
Sumber: Reddit.com
Dengan tegas ia kemudian mencabut izin markas militer AS dan Inggris di Libya, mendirikan Bank Sentral Libya, dan mengambil alih industri minyak mentah dengan mendirikan perusahaan minyak negara, National Oil Corporation (NOC). Tidak hanya itu, ia juga gemar menyambangi rakyatnya alias ‘blusukan’ tanpa pengawalan.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi
Pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan, dan infrastruktur lainnya juga dikebut di awal pemerintahannya. Namun ini tidak berlangsung lama. Tahun 1975 ia menerbitkan manifesto Buku Hijau, yang ringkasnya memuat filsafat politik kediktatorannya dengan mengecam sistem pemungutan suara di parlemen. Sejak saat itulah pemerintahan Khadafi dipandang telah menghancurkan kebebasan politik Libya dan mengantarnya ke arah otoritarianisme.
Pemberontakan & Hari-hari Akhir Khadafi
Pemberontakan besar-besaran pun terjadi di Libya. Hal ini juga dipicu dengan munculnya gelombang revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan nama “Arab Spring”. Pemerintahan diktator Ben Ali di Tunisia ditumbangkan rakyatnya sendiri, begitu pula Hosni Mubarak di Mesir.
Peristiwa ini memicu gerakan massa besar- besaran di Libya. Perang saudara pun pecah. Sementara itu beberapa menteri Khadafi mengundurkan diri dan membentuk National Transitional Council (NTC) untuk mendesak PBB mengambil sikap atas pemerintahan Khadafi.
Sumber: Istimewa
Hingga akhirnya pemberontak berhasil menguasai Ibu Kota Tripoli. Para loyalis Khadafi ditangkap pihak oposisi. Tentara sang diktator pun terpukul mundur dan terdesak di wilayah yang begitu sempit. Khadafi yang menjadi target utama penangkapan akhirnya ditemukan oleh tentara Transisi Nasional Libya (NTC) di kota kelahirannya, Sirte pada 20 Oktober 2011 pagi, sekitar pukul 08.30 waktu setempat.
Awalnya, pesawat North Atlantic Treaty Organization (NATO) memergoki dan menyerang iring-iringan Khadafi yang dikelilingi 15 truk bersenjata tengah menuju bagian barat Libya. Akibat serangan ini, seluruh truk pengawal hancur lebur dan tidak kurang 100 loyalis Khadafi tewas terkena serangan udara yang dilancarkan tentara Prancis.
Sementara itu, sang kolonel berhasil menyelamatkan diri bersama beberapa anak buahnya yang tersisa dengan bersembunyi pada pipa drainese. Tentara NTC dan NATO pada akhirnya berhasil menemukan dan membekuk Khadafi dan pengawalnya. Tentara oposisi, Saleem Baker menuturkan, salah satu pengawal Khadafi keluar dari persembunyian sambil melambaikan senapannya dan berteriak menyerah. Namun loyalis diktator itu kemudian melepaskan tembakan.
Baca Juga: In Memoriam Muhammad Mursi
“Jangan tembak!,” kata Khadafi saat tertangkap. Tentara NTC kemudian masuk ke dalam pipa dan menyeret Khadafi keluar. Saat ditemukan, sang diktator itu ternyata dalam kedaaan terluka. Ia segera dilarikan ke rumah sakit. Dalam perjalanan, tentara loyalis Khadafi menyerang. Baku tembak pun kembali terjadi.
Sumber: National Post
Saat itulah, penguasa negara Arab non-kerajaan terlama itu disebut terkena tembakan pada bagian kepala di tengah-tengah pasukan NTC yang mengamankannya. Ia kemudian mengembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan ke rumah sakit.
"Dokter forensik tak bisa mengungkap, apakah peluru berasal dari pasukan revolusioner atau tentara Khadafi," ujar Mahmoud Jibril, Perdana Menteri sementara Libya kepada Al-Jazeera. Hingga kini, misteri kematian Khadafi belum juga terpecahkan, apakah ia tertembak atau ditembak pengawalnya sendiri.
Sumber: Istimewa
Jenazah Khadafi beberapa hari kemudian dipamerkan di sebuah pasar di Sirte, hingga akhirnya dimakamkan pada 25 Oktober di padang gurun yang dirahasiakan. Para loyalis Khadafi meminta jasad Khadafi dikebumikan di tanah kelahirannya, Sirte. Tetapi pemerintah menolak karena tidak ingin makam sang diktator dijadikan semacam tempat pemujaan bagi pendukungnya. (Dari Berbagai Sumber)
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar